Oleh : Dhianita Kusuma Pertiwi (Alumnus Magister Program Studi Ilmu Susastra, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia)
Hubungan intertekstualitas antara lakon wayang kulit dengan wiracarita Mahābhārata yang masih dipertahankan sampai saat ini oleh dalang selaku seniman wayang dan penulis lakon tidak dapat dipisahkan dari fenomena Indianisasi yang berlangsung semenjak abad pertama masehi. Penyebaran kebudayaan India di Nusantara, termasuk di tanah Jawa, melibatkan penerimaan dan penyesuaian nilai-nilai kebudayaan India dengan falsafah lokal.
Lakon wayang menunjukkan akulturasi budaya tersebut salah satunya melalui transformasi pada perwatakan tokoh-tokoh penting yang terdapat dalam epos Mahabharata, seperti Pandawa. Artikel ini mengkaji implikasi transformasi ideologis yang direpresentasikan melalui transformasi penokohan Yudhistira dalam adaptasi Sabha-parva, kitab kedua Mahabharata, ke lakon wayang kulit purwa Sesaji Raja Suya.
Ideologi yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah konsep kekuasaan India Kuno dan Jawa yang direpresentasikan pada kedua teks tersebut. Masing-masing korpus penelitian diposisikan dalam artikel ini sebagai hipoteks atau teks asal dan hiperteks atau teks turunan.
Kajian tekstual membuktikan penggunaan tiga teknik transformasi dalam hiperteks, yakni pengeditan, pengurangan, dan pengembangan untuk merekonstruksi perwatakan Yudhistira dari seorang ksatria yang memiliki keahlian perang menjadi seorang pemimpin yang berwatak alus, bijaksana, dan berbudi. Transformasi tekstual tersebut merepresentasikan pergeseran pada aspekaspek konsep kekuasaan seperti tanda kekuasaan, strategi pemertahanan kekuasaan, dan gagasan pemimpin ideal.
Citraan baru Yudhistira dalam hiperteks, yakni pemimpin yang memiliki sifat anteng, meneng, sembada, wiratama, serta mewakili gagasan sabda pandhita ratu tan kena wola-wali yang dibentuk melalui transformasi penokohan merepresentasikan konstruksi pemimpin ideal dalam konsep kekuasaan Jawa.