Oleh : Hendri F. Isnaeni (Penulis di Historia.id)
Nederlandsche Zendingsvereeniging (NZV) mengirim tiga zending pertama ke Jawa Barat pada 1863, yaitu C. Albers, D.J. van der Linden, dan G.J. Grashuis. Albers dan Linden untuk menyebarkan agama, sedangkan Grashuis untuk mempelajari bahasa Sunda.
NZV didirikan pada 2 Desember 1858 oleh orang-orang yang meninggalkan NZG (Nederlandsche Zendelinggenootschap), lembaga pekabaran Injil terpenting di Belanda, karena menganggap NZG telah dipengaruhi teologi modern. Menurut pandangan mereka, modernisme juga telah menular ke Nederlandsch Bijbelgenootschap (NBG). Mereka khawatir terjemahan Alkitab oleh Lembaga Alkitab Belanda itu akan terjangkit oleh rasionalisme.
“Karena itu, NZV segera mengutus seorang ahli bahasa (G.J. Grashuis) dengan tugas mengerjakan Alkitab ke dalam bahasa Sunda kendati Pengurus Pusat (NZV) tahu bahwa NBG pun sedang melakukan persiapan untuk tujuan yang sama,” tulis Th. van den End dalam Sumber-sumber Zending tentang Sejarah Gereja di Jawa Barat, 1858-1963.
Proses penerjemahan Alkitab ke bahasa Sunda mendapat dukungan dari lembaga berpengalaman, British and Foreign Bible Society di London, yang memberi dukungan keuangan.
Menurut Michael Laffan dalam Sejarah Islam di Nusantara, sebagai persiapan menerjemahkan Injil ke bahasa Sunda dan menunggu izin dari pemerintah Hindia Belanda untuk memulai kegiatan misi, Grashuis belajar kepada K.F. Holle –pemilik perkebunan teh yang tertarik pada kebudayaan Sunda dengan menerbitkan naskah-naskah wawacan untuk pendidikan dan penyuluhan pertanian.
Injil Lukas dalam bahasa Sunda terjemahan Grashuis diterbitkan di Batavia (1854) dan Belanda (1866).
Namun, Van den End menyebut upaya NZV itu gagal karena terjemahan Injil Lukas karya Grashuis banyak kesalahan, sehingga dia mundur. Pada saat yang sama utusan NBG meninggal dunia. Sementara itu, beberapa utusan Injil, khususnya Geerdink dan Albers, menerjemahkan sendiri bagian-bagian Alkitab untuk dipakai dalam penginjilan dan ibadah
“Dia (Grashuis) mengeluh bahwa usaha-usahanya (seperti terjemahannya atas Injil Lukas) tidak dihargai secara layak oleh atasanya,” tulis Laffan. Selain itu, “setelah menanti dua tahun dan gagal mendapatkan izin, sang misionaris frustrasi dan berlayar ke Belanda pada akhir 1865.”
Pada 1873, Grashuis mengajar bahasa Sunda di Institut Negeri Leiden. Empat tahun kemudian, dia pindah ke Universitas Leiden. Selama periode ini, dia menerbitkan serangkaian tulisan mengenai bahasa Sunda dan Melayu dengan mengulangi artikel-artikelnya dari tahun 1864 serta menerjemahkan contoh teks-teks Islam untuk digunakan para calon pejabat.
Sama-sama gagal, menurut Van den End, NZV dan NBG kemudian kerja sama. NZV memberikan utusannya, Sierk Coolsma (1840–1926) untuk menerjemahkan Alkitab ke bahasa Sunda pada 1872. Sedangkan NBG membayar gajinya dan menyediakan biaya cetak Alkitab hasil terjemahannya.
Atas permintaan Pendeta E.W. King, pengabar Injil awal di Jawa Barat yang mendirikan jemaat Rehoboth di Jatinegara, Coolsma menerjemahkan Injil Matius dan Injil Lukas ke bahasa Sunda. Terjemahannya dinilai positif oleh Dr. Herman Neubronner van der Tuuk, yang pada masa itu masih menjadi utusan NBG. Maka, NBG pun memberi tugas Coolsma untuk menerjemahkan Perjanjian Baru (terbit 1877), Perjanjian Lama (terbit 1882), dan seluruh Alkitab (terbit 1891).
Pada 1924, Konferensi para Zendeling memutuskan agar terjemahan Coolsma direvisi ringan. Lima tahun kemudian terbit Perjanjian Baru yang sudah direvisi.
“Edisi baru PB (Perjanjian Baru) bahasa Sunda dikerjakan bersama-sama oleh NBG (H. Kraemer) dan NZV (Konferensi para Zendeling). NBG juga mendukung upaya menerbitkan kitab bacaan dari Alkitab dalam bahasa Sunda dan kegiatan menyebarkan Alkitab di Jawa Barat,” tulis Van den End.
Selain menerjemahkan Alkitab ke bahasa Sunda, Coolsma juga menerbitkan nyanyian untuk sekolah dan gereja (1872), menerbitkan tata bahasa Sunda (1873), menggubah mazmur dan nyanyian rohani (1893), dan menerjemahkan buku tanya jawab tentang teologi.
Dr. De Mol van Otterloo, anggota Pengurus Pusat NZV, yang mengunjungi Jawa Barat pada 1939, melaporkan bahwa para utusan Injil di sana tidak biasa menekuni bahasa Sunda. Sesudah Coolsma tidak seorang pun di antara mereka yang sungguh-sungguh mempelajari bahasa Sunda. Coolsma telah meletakkan dasar pengetahuan bahasa Sunda. Seluruh pengetahuan angkatan sesudah dia berdasarkan karyanya itu. Para guru Zending pun disebut lebih “berbahasa Coolsma” daripada berbahasa Sunda.
“Maksud saya semenjak Coolsma menyusun kamusnya dan menerjemahkan Alkitab, bahasa Sunda berkembang terus, diperkaya, mengalami perubahan dari berbagai segi,” kata Otterloo dikutip Van den End. “Banyak istilah yang dipergunakan Coolsma ketika dia menerjemahkan Alkitab sudah tidak lagi memadai, bahkan tidak lazim lagi. Di Jawa Barat orang telah menyadari kenyataan itu.”
Artikel ini pertama kali terbit di historia.id dengan judul “Sejarah Penerjemahan Alkitab ke Bahasa Sunda“