Siapa yang peduli menjaga, merawat, melestarikan, memperjuangkan, atau bahkan mengembangkan warisan khazanah kultural, intelektual, dan spirititual serta nilai-nilai luhur leluhur Nusantara kita? Siapa yang peduli memperkenalkan kekayaan khazanah kebudayaan Nusantara ke masyarakat luas, lebih-lebih dunia internasional atau mancanegara?
Pertanyaan ini gampang tapi tak mudah untuk menjawabnya. Apalagi dewasa ini, alih-alih merawat dan mengembangkan kebudayaan Nusantara, banyak pihak yang justru cuek dan mengabaikannya. Bukan hanya itu saja, ada bahkan kelompok sosial-keagamaan yang malah mendiskreditkan, melecehkan, mengharamkan, dan mengtabukan tradisi dan budaya lokal Nusantara dengan alasan bertentangan dengan syariat dan aqidah Islam.
Setidaknya ada dua kelompok kontra Nusantara yang jika tidak diantisipasi dengan baik bisa berpotensi menghilangkan tradisi dan kebudayaan Nusantara di masa mendatang. Kedua kelompok itu bisa ada di dalam struktur pemerintah maupun diluar pemerintah (state and society).
Pertama adalah kelompok “ultramodernis” yang tergila-gila dengan modernitas (kemodernan atau kekinian) dan kemajuan. Karena terlalu terobsesi dengan kemajuan dan gemerlap dunia modern, mereka mengabaikan hal-ihwal yang berbau lokal karena dianggap tradisional, kuno, kolot, old-fashion, tidak fashionable, atau bahkan “ndeso” dan “kampungan”.
Biasanya kelompok ini tergila-gila dengan masyarakat yang mereka bayangkkan atau imajinasikan sebagai “masyarakat maju” dalam hal pendidikan, pengetahuan, sains dan teknologi, perabadan, dan seterusnya. Karena Barat (khususnya Amerika Serikat atau Eropa Barat) kebetulan saat ini yang dipersepsikan sebagai simbol kemodernan dan kemajuan itu, maka banyak masyarakat Indonesia dewasa ini, tua-muda, laki-perempuan, yang berbondong-bondong meniru “gaya Barat”, baik dalam hal tata-busana, bahasa (percakapan) maupun pergaulan sehari-hari. Dulu, pada zaman kolonial Belanda, sekelompok elit “pribumi” juga tergila-gila dengan “kompeni” yang karena dianggap sebagai representasi dari kemodernan dan kemajuan tadi.
Kedua adalah kelompok “superagamis”, khususnya “kelompok Islamis” (dan juga “kelompok Syar’i”) tetapi juga sebagian kecil kelompok Kristen puritan-reformis yang juga kontra terhadap tradisi dan budaya lokal Nusantara. Yang dimaksud dengan kelompok “superagamis” disini (baik Muslim maupun non-Muslim) adalah kelompok fanatikus agama atau kelompok yang mengidap penyakit “hiperfanatisme” terhadap agama tertentu seperti kaum reformis-puritan yang mengidealkan kemurnian dan kesempurnaan praktik doktrin dan ajaran agama yang bersih dan murni serta bebas dari unsur-unsur lokal.
Bagi kelompok “superagamis” ini, mempraktikkan elemen-elemen tradisi dan budaya lokal dianggap sebagai perbuatan syirik atau tindakan bid’ah (atau bidat) yang bisa mengganggu dan menodai otentisitas, kesucian, dan kemurnian doktrin dan ajaran agama mereka. Oleh mereka, aneka adat, tradisi, budaya, dan praktik ritual-keagamaan lokal itu dianggap perbuatan syirik atau tidak relijius (tidak Islami, tidak Kristiani dan seterusnya), dan karena itu harus dijauhi dan ditolak karena bertentangan dengan Kitab Suci, teologi atau aqidah, praktik kenabian, serta doktrin dan ajaran normatif agama mereka.
Bukan hanya itu saja. Atas nama pemurnian ajaran agama, mereka juga menyerang berbagai aset kultural, nilai-nilai luhur leluhur, dan khazanah keilmuan nenek moyang Nusantara karena dianggap bid’ah atau bidat (tidak dipraktikkan oleh Nabi Muhammad dan generasi awal Islam atau oleh Yesus Kristus dan rasul mula-mula) dituduh tidak agamis, dianggap tidak Kristiani, dicap tidak syar’i, atau dipandang tidak sesuai dengan ajaran normatif keagamaan tertentu, seraya memperkenalkan (dan dalam banyak hal memaksakan) doktrin, wacana, gagasan, pandangan, dan ideologi keagamaan eksklusif-puritan dan aneka ragam budaya luar kepada masyarakat Indonesia.
Jika kelompok “ultramodernis” diatas mengabaikan tradisi dan budaya lokal lebih karena alasan-alasan yang bersifat profan-sekuler-duniawi, maka kelompok “super agamis” menolak adat, tradisi, dan kebudayaan lokal karena alasan teologi-keagamaan yang bersifat sakral-relijius-ukhrawi. Kemudian, berbeda dengan kelompok “ultramodernis”, kelompok “superagamis” ini sangat agresif dalam menyerang hal-ihwal yang berbau lokal. Mereka bukan hanya sekedar mengabaikan dan tak mempraktikkan tradisi dan budaya lokal tetapi juga mengadvokasi untuk memusnahkannya.
Meskipun kelompok “ultramodernis”, dalam batas tertentu, juga menyerang tradisi dan budaya lokal Nusantara tetapi mereka tidak seekstrim seperti yang dilakukan oleh kelompok “superagamis” yang mengampanyekan atau bahkan mempropagandakan penghancuran tradisi, budaya dan nilai-nilai luhur leluhur Nusantara.
Dilatarbelakangi oleh keprihatinan mendalam atas maraknya sejumlah gerakan, kelompok, paham dan ajaran (baik lokal maupun asing) yang kontratradisi dan budaya Nusantara maupun atas maraknya tradisi dan budaya luar (asing) yang dewasa ini masuk dan “menyerbu” secara masif-intensif di Indonesia, maka saya membentuk Nusantara Institute, yang merupakan lembaga semi-otonom dari Yayasan Nusantara Kita, sebuah yayasan yang saya inisiasi dan dirikan bersama Ida Widyastuti dan Muhammad Haris Setiawan, dua orang pebisnis dan spiritualis yang memiliki idealisme dan komitmen tinggi terhadap spiritualitas dan budaya Nusantara.
Kami menyadari bahwa perkembangan aneka gerakan, kelompok, paham, ajaran, tradisi, dan budaya yang anti-Nusantara ini telah membuat generasi muda Bangsa Indonesia melupakan paham, ajaran, tradisi, dan budayanya sendiri serta nilai-nilai luhur para leluhur bangsa. Jika fenomena ini dibiarkan, maka pelan tapi pasti, kelak bangsa Indonesia akan kehilangan jati diri mereka sebagai sebuah bangsa, menjadi bangsa yang asing dengan paham, ajaran, tradisi, dan budayanya sendiri.
Jelasnya, pendirian Nusantara Institute dan Yayasan Nusantara Kita ini merupakan respons atas maraknya aneka gerakan anti-Nusantara, baik yang dilakukan oleh individu maupun kelompok sosial-keagamaan, yang berkembang marak belakangan ini, terutama sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru. Aneka gerakan kontra-Nusantara itu bukan hanya terbatas pada “gerakan pemikiran” saja tetapi juga bahkan “gerakan politik”.
Visi lembaga kami adalah menjamin terpeliharanya aset-aset kultural, nilai-nilai luhur leluhur, dan kekayaan khazanah keilmuan Nusantara warisan nenek moyang, baik yang terdokumentasi melalui tulisan, prasasti, maupun tradisi lisan, termasuk agama dan kepercayaan (beliefs); kerajaan; tradisi, adat, dan kebudayaan, baik budaya material maupun imaterial; nilai-nilai spiritual; warisan intelektual para pujangga; local wisdom; dan sebagainya.
Kami akan berusaha sekuat tenaga untuk ikut andil dalam merawat, menjaga, melestarikan, dan bahkan memperkenalkan dan mengembangkan aset-aset kultural, nilai-nilai luhur, dan kekayaan khazanah keilmuan Nusantara itu baik di tingkat nasional maupun global melalui berbagai program dan aktivitas agar eksistensi mereka tidak pudar sekaligus diakui oleh publik masyarakat yang lebih luas.
Ke depan, perlu ada semakin banyak kelompok sosial, lembaga swadaya masyarakat, atau komunitas yang peduli dengan aset-aset kultural, spiritual, dan intelektual warisan para leluhur Nusantara, apalagi di saat bangsa Indonesia kini sedang diserbu oleh berbagai gerakan dan grup yang anti terhadap spirit nasionalisme dan ke-Nusantara-an.
Jika tidak diantisipasi dengan cerdas, cermat, bijak, dan seksama, bukan hal yang mustahil jika pada tahun-tahun mendatang, nilai-nilai luhur Nusantara kita hanya tinggal kenangan saja. Semoga saja hal ini tidak terjadi dan Nusantara kita tetap jaya sepanjang masa.
Sumanto Al Qurtuby, PhD
Direktur Nusantara Institute
Pendiri Yayasan Budaya Nusantara Indonesia