Daftar Nama Peraih Nusantara Academic Writing Award (NAWA) 2023 & Abstrak Tesis/Disertasi

Nusantara Academic Writing Award (NAWA) adalah penghargaan dalam bentuk grant (bantuan finansial) untuk penulisan tesis/disertasi bagi mahasiswa master atau doktor di perguruan tinggi Indonesia. Program ini diadakan setiap tahun melalui kompetisi nasional. Di antara syarat utama NAWA adalah (1) mahasiswa sudah menyelesaikan tahap penelitian, (2) sedang dalam proses menulis/menyelesaikan tesis/disertasi, dan (3) tema tesis/disertasi harus sesuai dengan visi, misi, dan platform Nusantara Institute. Program ini diadakan oleh Nusantara Institute bekerja sama dengan PT Bank Central Asia, Tbk.

Pande Putu Yogi Arista Pratama

Pande Putu Yogi Arista Pratama (Universitas Negeri Semarang)

Judul Disertasi: Nilai Didaktis Pewarisan Tari Baris Sakral di Desa Adat Batur Bali

Abstrak

Tari Baris Sakral dalam konteks kepercayaan masyarakat Hindu Bali difungsikan sebagai sarana penolak bala yang mewabah di suatu wilayah. Terdapat seperangkat sistem nilai yang berpengaruh kuat dalam kehidupan masyarakat sehingga pertunjukan tari Baris Sakral sampai saat ini masih dapat ditemui keberadaannya. Proses penanaman nilai-nilai adiluhung yang lebih dikenal dengan istilah didaktis ini sekiranya perlu untuk dikaji lebih mendalam. Hal ini karena proses didaktis yang terefleksi pada pertunjukan tari Baris Sakral terbukti mampu membangun pola pikir dan perilaku masyarakat untuk menjaga, merawat, serta melestarikan khazanah kebudayaan Nusantara. Tujuan dari penelitian disertasi ini adalah untuk (1) menggali dan mengeksplorasi faktor penyebab transmisi nilai-nilai didaktis pertunjukan tari Baris Sakral di Desa Adat Batur; (2) menjabarkan bentuk pertunjukan tari Baris Sakral di Desa Adat Batur; serta (3) menganalisis implikasi proses didaktis tari Baris Sakral di Desa Adat Batur. Rsiet ini merupakan penelitian kualitatif dengan sumber data diperoleh dari para penari, pemain gamelan, tokoh masyarakat, dan dokumen pendukung (misalnya literatur). Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dokumentasi, dan diskusi kelompok terarah. Temuan baru penelitian ini terletak pada korelasi antara nilai didaktis yang tersaji dalam pertunjukan tari Baris Sakral dengan pewarisan tari tradisi yang terdapat di Pulau Bali.

Frengki Nur Fariya Pratama

Frengki Nur Fariya Pratama (Universitas Diponegoro)

Judul Tesis: Kuasa Prabu Kelana Sewandana: Vernakularisasi dan Perang Narasi Reyog Ponorogo

Abstrak

Keberadaan dua bentuk pertunjukan reyog, yakni Reyog Obyog dan Reyog Festival, menuai perdebatan terkait pijakan historis keberadaan kesenian Reyog Ponorogo. Perbedaan itu terlihat dari keberadaan tokoh Kelana Sewandana dan alur pertunjukan Reyog Ponorogo. Sehingga, lokutor narasi versi Bantarangin, sebutan narasi pertunjukan Reyog Ponorogo dengan tokoh utama Prabu Kelana Sewandana, diakui sebagai narasi historis asal-muasal kesenian Reyog Ponorogo. Pemahaman tersebut memunculkan polarisasi anggapan bahwa Reyog Obyog sebagai kesenian tidak pakem sementara Reyog Festival sebagai Reyog pakem. Hal tersebut cenderung memunculkan paham kerajaan Bantarangin sebagai fakta narasi terkait historisitas Reyog Ponorogo. Seolah kedua polarisasi tak memiliki titik temu narasi di masa lalu. Bahkan interpretasi keduanya narasi cenderung melihat kesenian Reyog Ponorogo tanpa memperbandingkannya dengan nama kesenian serupa di daerah lain.

Kajian ini bertujuan untuk menganalisa retakan dari adanya tegangan oposisi biner, proses pembentukan narasi, hipogram narasi, dan keberadaan politik identitas dari keberadaan sosok Kelana Sewandana dalam kesenian Reyog Ponorogo. Berlandaskan prinsip circuit of cultutre kontradiksi representasi tersebut ditelaah memakai paradigma arkeologi pengetahuan Michel Foucault. Berdasarkan hasil kajian diperoleh kesimpulan bahwa landasaan narasi pertunjukan Reyog Obyog dan Reyog Festival merupakan reproduksi representasi dari narasi masa lalu yakni narasi cerita Panji seperti dalam catatan manuskrip Jawa Titingalan Reyog Panaraga. Selain itu, berdasarkan catatan Majalah Sasadara tahun 1902 M, cerita Kelana Sewandana dan Bantarangin dapat dikatakan sebagai vernakularisasi (pelokalan) cerita pertunjukan kesenian Topeng Dalang yang diadopsi dalam narasi pertunjukan Reyog Ponorogo.

Ahmad Saefudin

Ahmad Saefudin (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Judul Disertasi: Pendidikan Islam Kaum Minoritas: Resiliensi, Identitas, dan Multikulturalisme Pesantren Syiah di Jepara

Abstrak

Lazimnya kelompok minoritas yang kerap terpinggirkan, pesantren Syiah semestinya tidak mampu bertahan lama di tengah mayoritas kaum Sunni. Tapi berbeda dengan Pesantren Darut Taqrib, Krapyak, Jepara. Tidak hanya berkembang, justru pesantren ini mampu melanjutkan eksistensinya sebagai tempat kaderisasi kaum Syi’i pada level nasional. Riset ini ingin menjelaskan identitas Pesantren Darut Taqrib sebagai lembaga pendidikan Islam minoritas Syiah di Jepara. Pula, untuk mengeksplorasi strategi resiliensi dan menguraikan nilai multikulturalisme yang telah dipraktikkan oleh lembaga tersebut. Riset kualitatif ini menggunakan pendekatan historis-sosiologis. Pendekatan historis dipakai untuk melihat data-data masa lampau yang dialami dan dihidupi oleh penganut Syiah di tengah kultur masyarakat Sunni di Jepara. Sementara perspektif sosiologis dijadikan sebagai bingkai untuk membaca fenomena sosial yang berkaitan dengan pengalaman individu maupun kelompok Syiah dalam berinteraksi dengan komunitas lain di luar pesantren. Hasilnya, Pesantren Darut Taqrib mengembangkan strategi resiliensi untuk mempertahankan eksistensi mereka dalam lingkungan mayoritas Sunni. Mereka menggabungkan aspek ajaran Syiah dengan elemen tradisi lokal untuk menciptakan identitas yang kuat. Pesantren ini juga mengedepankan paradigma multikulturalisme dalam pendidikan untuk mengakomodasi perbedaan keyakinan dan mempromosikan nilai keragaman.

Shienny Megawati Sutanto (Institut Seni Indonesia Denpasar)

Judul Disertasi: Tradisi Cap Go Meh di Kelenteng Hok An Kiong Surabaya dalam Perancangan  Ilustrasi dan Narasi Novel Fiksi Fantasi

Abstrak

Etnis Tionghoa sudah mendiami bumi Nusantara sejak 2000 tahun yang lalu dan telah berakulturasi dengan budaya lokal. Akan tetapi sejak pelarangan ekspresi budaya Tionghoa di era Orde Baru, banyak tradisi dan budaya Tionghoa yang akhirnya ditinggalkan dan dilupakan. Sejak era Reformasi, kesempatan untuk merayakan budaya Tionghoa terbuka lebar, namun banyak generasi muda Tionghoa yang sudah tidak lagi memahami asal usul dan sejarah dari tradisi tersebut. Di kalangan masyarakat umum, budaya Tionghoa sering kali dianggap budaya asing dan bukan bagian dari budaya Indonesia.

Oleh karena itu, perlu upaya memperkenalkan kembali budaya Tionghoa pada generasi muda Indonesia demi mendorong penerimaan keberagaman dalam wujud karya populer. Riset disertasi ini bertujuan untuk mengidentifikasi nilai filosofis budaya Tionghoa di Indonesia, khususnya Lontong Cap Go Meh dan Kelenteng Hok An Kiong Surabaya, sebagai dasar penciptaan karya populer berupa ilustrasi dan narasi novel fiksi fantasi. Penelitian dan penciptaan ini akan menggunakan metode riset berbasis design thinking yang meliputi pengambilan data primer khalayak sasaran, studi literatur, penciptaan prorotype, dan uji coba prototype desain melalui FGD dan wawancara dengan narasumber ahli. Hasil akhir karya cipta berupa narasi dan Ilustrasi novel fiksi fantasi berbasis nilai filosofis budaya Tionghoa di Indonesia, khususnya Lontong Cap Go Meh dan Kelenteng Hok An Kiong.

Ida Bagus Gede Surya Peradantha

Ida Bagus Gede Surya Peradantha (Institut Seni Indonesia Surakarta)

Judul Disertasi: Sosio-Artistik Isolo Suku Sentani, Papua

Abstrak

Penelitian ini mengeksplorasi representasi simbolik dalam Isolo, tarian dan nyanyian tradisional Suku Sentani di Papua, untuk memahami bentuk artistik, makna artistik, dan peran ekspresi artistik dalam membentuk identitas kultural serta menjaga keharmonisan sosial masyarakat. Analisis representasi simbolik dalam Isolo dilakukan untuk mengungkapkan signifikansi simbol-simbol tersebut dalam konteks sosial dan budaya. Kurangnya pemahaman terhadap simbol-simbol ini dapat mengakibatkan penurunan pemeliharaan tradisi, hilangnya identitas budaya, dan melemahnya keharmonisan sosial. Menggunakan pendekatan Sosio-Artistik dan metode hermeneutika, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman mendalam tentang fenomena artistik yang terkait. Penelitian awal menunjukkan bahwa Isolo bukan hanya sekadar tradisi, tetapi juga merupakan ekspresi artistik yang penting dalam kebudayaan Suku Sentani. Sejak diperkenalkan pada Festival Danau Sentani pada tahun 2007, Isolo telah mendapatkan posisi sentral dalam kehidupan budaya Suku Sentani. Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi dalam memperkuat identitas budaya dan meningkatkan kesadaran akan warisan budaya tradisional. Implikasi penelitian ini dapat membantu merumuskan strategi budaya yang berkelanjutan, kebijakan pendidikan yang relevan, dan upaya pemeliharaan tradisi yang efektif bagi masyarakat Suku Sentani.

Ayu Kristina

Ayu Kristina (CRCS, Universitas Gadjah Mada

Judul Tesis: Kristen Mennonite dan Dialog Antaragama di Indonesia

ABSTRAK

Dialog antaragama dipandang sebagai strategi penting dalam menciptakan kehidupan beragama yang inklusif. Meski begitu, dialog antaragama sering kali gagal menjangkau partisipan yang luas dan memiliki dampak sosial yang kecil. Hal ini karena mereka cenderung terjadi di ruang gaung agama progresif yang banyak diasosiasikan dengan pertemuan elit atau acara-acara seremonial-formal. Mereka secara berkala berkumpul hanya dalam upaya untuk menahan diri agar tidak menonjolkan identitas masing-masing. Tim Miller dan David Roman menyebut fenomena ini sebagai “preaching to the converted.” Akibatnya, upaya membangun perdamaian tidak sampai pada tingkat akar rumput sebagai korban kekerasan struktural maupun komunal. Kelompok akar rumput jarang dilibatkan dalam dialog antaragama. Atas dasar keyakinan bahwa perdamaian harus terjadi di semua level masyarakat, Kristen Mennonite terlibat dalam dialog antaragama dengan lintas komunitas di Solo, Jawa Tengah, dan juga berbagai daerah lain di Indonesia. Sejarah mencatat bahwa Solo dikenal sebagai tempat tumbuh subur bagi kelompok konservatif, militan, dan intoleran. Tesis ini mengkaji sejarah dan kiprah sosial Mennonite Indonesia serta model-model dialog antaragama yang mereka kembangkan, khususnya GKMI Solo, beserta tantangan dan kendala yang mereka hadapi dalam membangun dialog dan perdamaian. Sumber data tesis diperoleh dari wawancara mendalam dengan sejumlah informan kompeten, observasi partisipan, dan studi pustaka yang dilakukan dari berbagai sumber.

Uun Triya Tribuce (Universitas Brawijaya)

Judul Tesis: Konstruksi Sosial Masyarakat Buddha Theravāda Indonesia Terhadap Sekularisasi Candi Borobudur

 ABSTRAK

Candi Borobudur merupakan candi dengan bangunan tunggal terbesar yang berlandaskan pada ajaran Buddha.  Selain menjadi tempat yang sakral bagi masyarakat Buddha, Candi Borobudur juga dikelola sebagai tempat pariwisata. Dualitas fungsi Candi Borobudur sebagai tempat sakral dan tempat puja memunculkan beragam permasalahan terutama yang berkaitan dengan pengelolaannya. Dominasi pengelolaan candi yang lebih bersifat sekuler memunculkan pandangan pada masyarakat Buddha Theravāda Indonesia bahwa telah terjadi fenomena sekularisasi di Candi Borobudur. Pemahaman munculnya fenomena sekularisasi dipahami masyarakat Buddha melalui proses konstruksi sosial. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik wawancara mendalam dan observasi yang kemudian diolah menggunakan teknik analisis data fenomenologi. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan teori Konstruksi Sosial. Hasil penelitian menjelaskan bahwa telah terjadi perubahan sosial di Candi Borobudur. Candi yang awalnya digunakan sebagai tempat puja telah bergeser fungsinya sebagai tempat pariwisata. Hal ini disebabkan oleh faktor ekonomi, sosial, politik, dan kebutuhan konservasi candi. Perubahan candi yang menjadi lebih sekuler juga dipahami oleh masyarakat Buddha Theravāda Indonesia melalui tiga proses konstruksi yaitu obyektivasi berupa proses pelembagaan candi sebagai cagar budaya, internalisasi melalui proses sosialisasi dari orang tua dan lingkungan, eksternalisasi dengan adanya negosiasi antara lembaga Agama Buddha dan pengelola Candi Borobudur.