Nurfadillah (Dosen Universitas Sawerigading Makassar)
Fenomena berhaji sudah tentu menjadi keinginan bagi setiap umat muslim untuk menunaikan Rukun Islam yang kelima, khususnya bagi orang yang mampu baik lahir maupun batin. Menariknya ada satu fenomena yang langka di masyarakat Bugis tepatnya di Kecamatan Segeri Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan, yakni ketika waria bertalenta sakti berhaji. Ia disebut dengan bissu, salah satu dari lima identitas gender yang ada di Sulawesi Selatan.
Bissu adalah sebutan transpuan dimana masyarakat Bugis lazim menyebutnya dengan istilah calabai yaitu secara fisik ia adalah laki-laki, tetapi jiwa dan perasaannya adalah perempuan. Singkatnya bissu adalah calabai tetapi tidak semua calabai adalah Bissu.
Dalam sejarah masa lalu kerajaan Bugis, bissu memiliki kedudukan terhormat di dalam kerajaan hingga masyarakat. Ia adalah wakil raja yang mengurusi semua kebutuhan raja, ia juga adalah penyambung lidah masyarakat dengan raja, dan sebagai perantara manusia dengan Dewata dan manusia dengan alam sebagai bagian dari hubungan spiritual.
Peran sentral bissu dalam ranah ritual dan spiritual membuat mereka sering dianggap sebagai waria bertalenta sakti. Ia mampu berkomunikasi dengan Dewata menggunakan Bahasa Torilangi (orang Langit) dan juga bisa berkomunikasi dengan alam sebagai tempat untuk mengadu keluh kesah yang ada di dunia tengah atau muka bumi.
Transformasi Bissu Menjelang Naik Haji
Masyarakat Bugis Sulawesi Selatan, memang selalu memiliki fenomena yang unik ketika berhaji. Berhaji tidak hanya dianggap sebagai ibadah yang sakral dan perintah agama, tetapi mereka juga meyakini bahwa berhaji adalah were nennia pammase, yang dimaknai sebagai rezeki dan berkat yang datangnya dari Tuhan dan sebagai bentuk assenu-senungeng, dalam bahasa arab dikenal dengan istilah tafa’ul yang bermakna harapan baik.
Selain itu masyarakat Bugis juga melakukan ritual sebelum berangkat haji, seperti mengadakan ritual assalama-mammanasik yaitu ritual memohon keselamatan dan memohon keberkahan atas ibadah haji yang dilakukan yang dirangkaikan dengan manasik haji, kemudian barzanji, mallise tase yaitu memasukkan barang ke dalam tas menjelang keberangkatan, biasanya dilakukan oleh orang tua terutama yang telah berhaji atau tokoh agama yang dipercayakan, serta berbagai ritual lainnya.
Hal serupa dilakukan oleh Bissu Eka, tanggal 3 bulan Juni 2023 lalu, ia menggelar acara Manasik Haji sekaligus syukuran di kediamannya tepatnya di Segeri Kabupaten Pangkep. Tentu acara ini menjadi acara yang sangat ditunggu-tunggu oleh Bissu Eka setelah 13 tahun menunggu. Acara dimulai pukul 10.00 Wita yang diawali dengan ceramah seputar manasik haji yang dibawakan oleh Ketua Baznas Kabupaten Pangkep. Bissu Eka tampil dengan memakai pakaian gamis berwarna putih dan kopiah putih dengan hiasan manik-manik yang ia rajut sendiri.
Bissu Eka mengalami transformasi ekpresi gender menjelang naik haji, yang semula bissu Eka berambut panjang, memakai riasan wajah meski tak mencolok, dan sesekali berpakaian feminin. Menjelang naik haji ia pun memotong rambutnya, wajahnya pun tak lagi dipoles dengan bedak, bibir yang dulunya merona karena sentuhan gincu, kini wajahnya dibiarkan tampak senatural mungkin.
Karena dalam administrasi pendaftaran haji hanya dikenal dua jenis kelamin, maka bissu Eka yang secara biologis adalah laki-laki dimasukkan dalam kelompok yang berjenis kelamin laki-laki. Sehingga mulai awal pendaftaran hingga pelaksanaan haji, bissu maupun transpuan berpenampilan maskulin. Begitupun dalam foto-foto untuk kepentingan administrasi haji.
Ia juga mulai perlahan-lahan meninggalakan ritual kebissuan untuk sementara waktu karena ingin fokus untuk beribadah lebih di waktu senggang. Menurut salah satu bissu jika ingin berhaji atau beribadah semua atribut magis, terutama paddissengeng (ilmu magis) harus ditanggalkan terlebih dahulu. Tentunya kita sebagai hamba tidak boleh menonjolkan sesuatu yang kita miliki dihadapan Tuhan.
Dalam cerita bissu yang lain, mantan Puang Matowa (gelar pemimpin Bissu) puluhan tahun yang lalu juga sempat melakukan perjalanan haji. Ia pun menanggalkan atribut kebissuannya dan mengubah penampilannya. Bahkan sepulang dari tanah suci ia tidak lagi ma’bissu (melakukan ritual bissu) tetapi ia tetap mewariskan ilmu kebissuannya kepada penerusnya dan calon bissu. Begitu juga di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan, pemimpin bissu disana adalah seorang haji dengan berpenampilan sehari-hari memakai kopiah dan sarung, namun sesekali masih melakukan aktivitas kebissuan jika dibutuhkan.
Fenomena Naik Haji sebagai Ibadah dan Privilege
Melihat dari proses naik haji dan tata cara yang dilakukan oleh transpuan dan bissu, tentu tidak ada bedanya dengan laki-laki yang naik haji. Selain karena niat ibadah hal ini rupanya menjadi jalan alternatif agar transpuan maupun bissu bisa diterima di masyarakat muslim terutama dari kalangan muslim mainstream. Juga menepis stigma negatif yang seringkali disematkan kepada kepercayaan bissu sebagai sinkretisme dan trasnpuan yang identitas gendernya selalu dianggap ambivalen dan bagian dari LGBTQ.
Di satu sisi fenomena naik haji pada masyarakat Bugis Makassar bukan hanya dilihat sebagai bagian dari ibadah, tetapi naik haji juga bisa menaikkan stratifikasi sosial seseorang di dalam masyarakat. Kebanyakan masyarakat Bugis Makassar menabung sedikit demi sedikit bahkan rela menjual sawah, tanah atau aset lainnya demi naik haji. Karena gelar haji menjadi privilege tersendiri bagi masyarakat Bugis Makassar.
Hal tersebut nampak ketika prosesi manasik haji dan syukuran di kediaman Bissu Eka, banyak orang yang berbondong-bondong berziarah ke rumah Bissu Eka mulai dari kerabat, tetangga, tokoh agama, tokoh pemerintah, dan tamu undangan yang datang dari seluruh penjuru mata angin. Deretan karangan bunga memenuhi gerbang dan halaman Bissu Eka dengan ucapan selamat dan doa sebagai bentuk rasa syukur. Para tamu yang hadir juga memberikan selamat dan doa serta memberikan ampau, hal ini pun menjadi kebiasaan masyarakat Bugis Makassar jika ada orang yang ingin pergi ke tanah suci.
Begitupun ketika kembali ke tanah air, ia disambut hangat oleh keluarga dan masyarakat setempat. Tidak berhenti disitu, penghormatan ketika menjadi haji juga akan lebih meningkat dibanding sebelum berhaji. Nama yang berganti menjadi “Puang Aji” dan segala aktivitas sosial tentu akan lebih mengutamakan orang yang telah berhaji.
Hal itu pun dialami oleh Bissu Eka, Masyarakat Segeri memperlakukan Bissu Eka dengan sangat baik tanpa melihat status gendernya. Ia tetap dilihat sebagai Bissu yang memiliki peran sentral di masyarakat adat. Bissu eka juga memiliki profesi sebagai indo’ botting (perias pengantin) sehingga hajat hidup masyarakat masih bergantung pada Bissu Eka. Terlebih ketika ia telah berhaji maka status dan keberadaanya akan sangat layak diterima di semua elemen masyarakat.
Penutup
Identitas dan ekspresi gender bukanlah penghalang untuk beribadah kepada Tuhan, semua itu bisa ditanggalkan terlebih dahulu. Meskipun demikian masih saja ada yang menganggapnya ambivalen karena menjalankan Islam dengan bercabang dua. Karena kelompok Islam mainstream melihat bahwa transpuan yang berhaji memang sudah berpenampilan seperti laki-laki tulen, tetapi setelah kembali ada beberapa diantaranya masih menggunakan pakaian perempuan, bersolek, bahkan banyak menggunakan turban dan perhiasan emas memenuhi sebagian tubuhnya.
Lalu bagaimana dengan perilaku dan aktivitas kebissuan seorang haji bissu? Menurut Bissu Eka, dia tidak akan meninggalkan kebissuannya secara menyeluruh, karena menurutnya antara kebissuan dan keislaman itu bisa senafas. Ia tetap bisa melaksanakan salat, puasa dan ibadah lainnya tanpa mencampuradukkan aktivitas kebissuannya.
Begitupun dengan hal berbusana, setelah pulang dari berhaji, dalam kehidupan sehari-hari lebih sering tampil dengan busana laki-laki. Memakai baju muslim, kopiah haji atau menggunakan sorban. Tetapi jika dibutuhkan untuk ritual atau pertunjukan bissu, dia akan kembali berdandan seperti perempuan dan memakai baju kebesarannya.Â
Bissu Eka juga tidak akan meninggalkan profesinya sebagai indo’ botting, karena itu merupakan sumber penghasilan utama. Selain itu hasil dari profesinya tersebutlah yang membuat ia bisa berhaji dengan menabung sedikit demi sedikit. Berhaji bagi bissu atau transpuan yang ada di Sulawesi Selatan bukanlah hal yang sulit dilakukan selagi mereka mampu secara lahiriah dan batiniah. [NI]
Referensi
Wawancara dengan Bissu dan observasi lapangan.
Syamsurijal, “Aji Ugi” Ketika Orang Bugis Naik Haji, Solo: Arti Bumi Intaran, 2020.