Beranda Publikasi Kolom Hamzah Fansuri dan Malam Mistik di Taman Ismail Marzuki

Hamzah Fansuri dan Malam Mistik di Taman Ismail Marzuki

1214

Ramli Cibro (Pengajar STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh, Aceh)

Hamzah Fansuri pernah menyuntikan gairah mistis di pusat kota Jakarta tepatnya di Taman Ismail Marzuki. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1981, malam Jum’at di Bulan Agustus. Kala itu, Jakarta dihipnotis oleh karya-karya agung Syekh Hamzah Fansuri. Bahkan Neno Warisman pun ikut membacakan syair-syairnya. Kerjasama Pemerintah Aceh, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), dan penyair ibukota menghelat acara penting dengan tema “Malam Hamzah Fansuri di Taman Ismail Marzuki.” Acara yang serupa semakin jarang dilakukan karena hilangnya gairah dan jiwa spiritualitas pada diri anak bangsa.

Siapa yang tidak kenal sosok Hamzah Fansuri? Dengan syair sufi-nya yang dalam, membawa pesona pada manusia. Pasir dahaga spiritual yang menyesak dada dialiri dengan lembut oleh lantunan syair, segar penuh makna. Puisi-puisi Hamzah membawa kepada alunan laut yang ganas dan ombak yang berkarang, menyelam dikedalaman mutiara bahr al amiq, bahkan membawamu terbang bersama tha’ir al uryan seumpama titisan cahaya Ahmad yang safi.

Menurut HB Jasin, sajak Hamzah nan kaya sangat cocok dilantunkan dimasa kita yang penuh dengan kekosongan spiritual. Kata Gus Dur, sufisme adalah wadah yang cocok bagi mereka yang berjiwa seniman untuk memenuhi kerinduan dalam menghayati aspek rohani dan ketuhanan. Kata Rudjito, seharusnya lantunan karya Hamzah Fansuri, mampu membawa pada suasana kontemplatif dan bahkan ekstase. Syair Hamzah hendaknya diperlakukan seperti Rumi, dilantukan, dihelatkan hingga dirayakan demi mengasah keindahan batin manusia.

Hamzah Fansuri adalah khazanah sastra Nusantara. Satu-satunya batu sandungan pada masanya adalah karena ia dianggap zindiq oleh sebagian ulama, hingga di masa kita. Padahal ulama-ulama terkemudian, seperti Ibrahim Al-Kurani dan Abdurrauf Singkel, menyadari bahwa Hamzah tidak sezindiq yang dituduhkan. Hamzah Fansuri menawarkan makna dan penunjuk jalan, bukan kezindiqan dan kefasikan. Seperti perkataan “Aku adalah Tuhan,” dari Al-Hallaj dan Fir’aun tentu tidak dapat disamakan. Substansi, motif, makna, kesadaran, dan esensi dari keduanya adalah beda, mengapa pula dituding sama?

Bagi Fir’aun, “Aku adalah Tuhan,” datang dari puncak ke-egoan, keakuan tertinggi seorang manusia. Tapi bagi Al-Hallaj, “Aku adalah Tuhan,” adalah bentuk dari fana diri (diri Al Hallaj lenyap) dan yang ia saksikan hanyalah Baqa’ Tuhan semata. “Aku adalah Tuhan,” dalam versi Fir’aun adalah wujud kemusrikan tertinggi hingga ia bahkan menuhankan dirinya sendiri. “Aku adalah Tuhan,” dalam versi Al-Hallaj adalah ketauhidan tertinggi (bentuk fana), bahkan tidak ada ruang bagi diri yang menyaksikan, dan yang ada hanya Tuhan semata. 

Malam Perhelatan Hamzah Fansuri

Pada malam perhelatan Hamzah, di suasana hujan gerimis, orang-orang berbondong memasuki gedung acara. Konon, suasana digubah menjadi beraura mistis, agak gelap, dengan bebauan kemenyan yang semerbak-lamat. Suasana ini mendekatkan siapa saja pada sosok fenomenal dan kontroversial sepanjang masa yakni Syekh Hamzah Fansuri. Tak kurang dari 20 orang yang mendukung pembacaan Syair Perahu karya beliau. Mereka dari komunitas Halaqah Budaya An-Naba,We Es Ibnoe Sayy, dan kabarnya juga tampil Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar dan Mustafa Bisri, menemani syair-syair Hamzah Fansuri melalui pembacaan syair-syair mereka sendiri.

Gunawan dan Jamil menggambarkan, “Andai Halaqah Budaya An Naba dapat tampil lebih optimal, tentu pembacaan syair ini akan menjadi idiom baru yang lebih memiliki darah.  Sayangnya, suasana pendukung, musik dan gerakan variasi yang ditampilkan tidak artikulet, beku dan lamban. Namun, suasana trance mulai tersibak ketika beberapa penyair mendukung dengan membacakan puisi mereka masing-masing. Kala itu, suasana zikir memandu Hamid Jabbar membaca sajaknya berjudul, Republik Cinta. Kala itu, Sutarjdi mengaum melalui sajak cermin dan Mustafa Bisrimenggumam, ber-syatahat dengan khusuk melalui puisinya, Al-Hallaj!

Hamzah, kata Al-Attas adalah peletak dasar pertama puisi-puisi Melayu. Hamzah Fansuri memberi warna bagi para penyair pujangga lama, pujangga baru dan angkatan 45. Abdul Hadi dalam http://jurnalnasional.com/ juga menyebutkan, “Pada 1970-an ketika kesusastraan Indonesia mengambil inspirasi dari sastra sufistik, kepenyairan bukan sekedar permainan kata-kata. Ia adalah gurindam hidup, way of life, world view dan weltahschauung, nilai, estetik dan lakon.

Acara-acara dihelat, khususnya di taman Ismail Marzuki, menampilkan satu persatu sastra sufi agung seperti Jalaluddin Rumi, Muhammad Iqbal hingga Syekh Hamzah Fansuri. Penampilan sastra demikian, dielaborasi dengan musik, tari dan seni rupa. Apakah ini hanya pelarian, nyatanya tidak. Dunia adalah rumah sekaligus kuburan. Tinggal bagaimana kita memberi makna, tujuan dan dimensi spiritual semata.” Demikian saru Abdul Hadi.

Sastra Hamzah menyentuh kosmologi Nusantara, dan untuk beberapa lama mampu bertahan ditengah gempuran globalisasi, materialisme hingga nihilisme. Sastra Hamzah Fansuri bukan sekedar mewakili sastra Melayu modern yang berdiri diantara sastra lainnya seperti sastra Jawa, sastra Sunda, Sastra Batak atau lainnya. Sastra Hamzah Fansuri bahkan bergerak lebih jauh.

Pertama, bahwa sastra Hamzah memiliki kedekatan alur rima dan kekuatan yang sama, dengan tradisi sastra yang dimiliki tanah air, magis, mantra, tabas, sabda, lakon dan lainnya. Itu sebabnya, orang dapat merengkuh nilai sekaligus nuansa mistik pada puisi-puisinya.

Kedua bahwa sastra Hamzah Fansuri mempengaruhi corak sastra tanah air, hadir dalam gurindam, pantun dan sastra canda, bahkan memberi corak bagi kesusasteraan Jawa dan Sunda.

Ketiga, sifat kosmopolitan sastra Hamzah diadopsi dari tradisi ruba’iyat Arab dan Persia, sekaligus membawa kosakata dan struktur ruhani dari kedua negeri tersebut untuk memperkaya sturuktur, khazanah dan kosakata bahasa Melayu Nusantara.

Keempat, sastra Hamzah nyata mempengaruhi pergerakan sastra Indonesia sejak dari Angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan 50, Angkatan 70, Sastra Reformasi hingga Angkatan 2000 dan setelahnya. Ia mempengaruhi karya penyair besar tanah air dari Amir Hamzah hingga Chairil Anwar, dari Abdul Hadi hingga Sapardi Joko Damono, dari Kuntowijoyo hingga Mustafa Bisri. Memberi warna bagi puisi Sutardji Calzoum Bachri, mendedah makna bagi karya Sutan Takdir Alisjahbana.

Kelima, Sastra Hamzah adalah bagian dari proyek besar islamisasi di Nusantara, dimana karya-karyanya yang artikulet, mistik dan beraliran wahdatul wujud, sesuai dengan kehidupan keislaman masyarakat nusantara pada masa itu, yang magis, mistis dan dan sangat spiritual.  Dalam hal ini, karya Hamzah juga mewakili perkembangan tasawuf di Nusantara.

Hamzah Fansuri dan Gairah yang Semakin Dilupakan

Sastra Hamzah, sepertinya memasuki masa redup. Tidak ada lagi kepenyairan yang merayakan estase spiritualnya. Tidak ada lagi komunitas yang membela, mendiskusikan dan bahkan mementaskan keagungan syair-syairnya. Tidak ada lagi, kajian akademis yang serius membicarakan pemikirannya. Sepertinya, setelah Al-Attas dan Abdul Hadi, tak ada lagi!

Hamzah, pelan tapi pasti, semakin hari semakin dilupakan saja. Hamzah, pasca fatwa sesat Ar Raniry dilanjutkan dan sikap keagamaan literal, dan situasi pascakolonial, musnah tidak mendapatkan tempat dimanapun, baik teologi, ritual, tradisi dan mistik sekalipun. Bahkan dalam tradisi tarekat, kita bisa menggugat dan bertanya, siapa yang mewarisi sanad keilmuan tarekat sang Hamzah? Jawabannya, tidak ada!

Syair Syekh Hamzah,

Hamzah Syahrun-Nawi terlalu hapus

Seperti kayu sekelian hangus

Asalnya laut tiada berarus

menjadi kapur di dalam Barus

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini