Akhmad Idris (Dosen Bahasa Indonesia di STKIP Bina Insan Mandiri Surabaya & mahasiswa program doktor di Universitas Negeri Malang)
Rakyat Indonesia patut bersyukur atas perkembangan Bumi Pertiwi hingga saat ini, meskipun menyisakan berbagai polemik di beberapa lini. Atas pencapaian tersebut, rakyat Indonesia patut mengucapkan terima kasih kepada para pahlawan yang tak kenal lelah memperjuangkan kebebasan dari cengkeraman penjajahan, memperjuangkan kemajuan di antara kepungan keterbelakangan, serta memperjuangkan kesejahteraan di balik kejamnya penderitaan.
Di antara sekian banyak pahlawan yang teramat istimewa itu, terdapat satu orang yang gigih menyuarakan persatuan di tengah kebhinekaan, membuat terobosan dalam bidang pendidikan, memberikan sumbangsih dalam membentuk lambang kenegaraan, serta menggagas bentuk pemerintahan sebagai grand design dalam kehidupan bernegara. Sosok tersebut bernama Mr. Mohammad Yamin.
Mohammad Yamin dilahirkan di Sawahlunto pada tanggal 22 Agustus 1903. Riwayat pendidikan Mohammad Yamin ‘cukup bervariasi’, sebab harus mengikuti orang tua yang kerap berpindah-pindah. Mulai dari Hollandsch Inlandsche Shool (HIS), Sekolah Guru, Sekolah Pertanian di Bogor, Sekolah Dokter Hewan, Algemene Middelbare School (AMS), hingga Rechts Hoge School Jakarta (Sekolah Tinggi Hukum pertama di Indonesia).
Selain mengikuti orang tua, Mohammad Yamin juga mudah bosan dengan hal-hal yang kurang diminatinya. Beasiswa di Sekolah Dokter Hewan tidak bertahan lama karena pelajaran tentang hewan dan penyakitnya tidak membuatnya suka. Pelajaran ihwal flora di Sekolah Pertanian Bogor juga masih belum menarik minatnya. Ketertarikan Mohammad Yamin dengan bentang alam hijau tak lantas membuatnya terpikat dengan pelajaran Agronomi.
Barulah di AMS Yogyakarta, Mohammad Yamin menemui ketertarikannya pada pelajaran budaya, sejarah, dan bahasa. Tiga bidang inilah yang mempengaruhi kiprah Mohammad Yamin ke depannya.
Menggagas Kampus Pendidikan Guru
Di masa Kabinet Ali Sastroamidjojo ̶ mulai tanggal 30 Juli 1953 hingga 12 Agustus 1955 ̶ , Mr. Mohammad Yamin diangkat menjadi Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan. Selama menjadi menteri, satu di antara gebrakan dari Mohammad Yamin adalah mendirikan kampus pendidikan guru yang dalam beberapa kurun waktu selanjutnya dikenal dengan sebutan IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan). IKIP berubah statusnya menjadi Universitas sejak tahun 1999.
Gagasan Mohammad Yamin ini dilatarbelakangi oleh kegelisahan beliau terhadap kerendahan mutu tenaga pendidik di sekolah tingkat pertama (SMP) dan tingkat atas (SMA). Tak hanya itu, Gunawan (2014) dalam majalah Tempo ̶ Edisi Khusus Mr. Muhammad Yamin ̶ menyebutkan bahwa Mohammad Yamin lahyang memberikan arahan kepada B.J. Habibie agar mengambil jurusan konstruksi pesawat terbang saat memperoleh beasiswa belajar di Jerman, padahal teman-teman seangkatan Habibie lebih memilih jurusan perkapalan.
Menggali Ide Lambang Negara Berdasarkan Sumber Sejarah
Di tahun 1945, Sultan Hamid II memberikan mandat kepada Mohammad Yamin untuk mencari lambang Negara. Mohammad Yamin menggandeng Ki Hajar Dewantara sebagai partner untuk menelusuri situs-situs dan kesusastraan kuno di beberapa wilayah Indonesia.
Penulusuran mereka berdua menghasilkan penemuan sosok burung garuda di Candi Prambanan, Candi Mendut, dan Candi Kidal. Selanjutnya mereka berdua meminta bantuan seorang seniman yang bernama Basuki Rekshobowo guna membuat sketsa burung garuda dari beberapa relief yang telah ditemukan. Sayangnya, upaya perumusan lambang Negara harus terhenti sebab situasi politik dan keamanan yang tidak memungkinkan pasca kemerdekaan.
Di tahun 1947, upaya tersebut dilanjutkan kembali kala pemerintah mengundang para seniman dalam sayembara pembuatan lambang Negara. Berlanjut di tahun 1949, Sultan Hamid II ditugaskan untuk menyelesaikan pemilihan lambang Negara. Segera Sultan Hamid II berkosultasi dengan Mohammad Yamin; lalu berbekal petunjuk dari Mohammad Yamin, Sultan Hamid II menghubungi Ki Hajar Dewantara.
Akhirnya, sketsa burung garuda yang dibuat Basuki Rekshobowo ‘diangkut’ untuk dibawa ke Jakarta. Di sisi lain, Mohammad Yamin juga membentuk panitia lambang Negara untuk menjamin kesinambungan dengan penelusuran Panitia Indonesia Raya pada empat tahun yang lalu (1945). Namun, tetap saja belum ditemui keputusan yang bulat ihwal lambang Negara ini. Jadilah, dua rancangan ̶ dari Sultan Hamid II dan Mohammad Yamin ̶ diajukan pada Presiden Soekarno.
Dua rancangan tersebut dibicarakan di sidang kabinet. Para menteri diminta untuk memilih dan memutuskan rancangan mana yang akan digunakan secara resmi sebagai lambang Negara. Singkat cerita, lambang Negara diambil dari dua-duanya yang kemudian disempurnakan oleh panitia khusus yang dibentuk oleh pemerintah. Terima kasih atas sumbangsingnya, Mr. Mohammad Yamin.
Menolak Sistem Monarki dan Negara Serikat
Satu hal lagi yang tidak boleh dilewatkan dari sosok Mohammad Yamin adalah gagasan bentuk pemerintahan dan susunan Negara Indonesia pasca-merdeka. Mohammad Yamin mengungkapkan bahwa bentuk pemerintahan yang cocok untuk Indonesia adalah Republik, bukan Monarki. Hal ini disebabkan oleh bentuk pemerintahan monarki tidak memberikan kepastian yang kuat untuk memerintah suatu Negara.
Tak berhenti sampai di situ, Mohammad Yamin juga mengusulkan Republik yang berada dalam bingkai Negara Kesatuan, bukan Negara Serikat. Alasannya adalah kekayaan dan kesabaran rakyat Indonesia yang tidak merata masih memungkinkan untuk mendatangkan kekacauan jika memilih bentuk negara serikat. Oleh sebab itu, menurutnya, bentuk pemerintahan Indonesia adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mohammad Yamin juga membentuk gagasan lembaga Negara di tingkat pusat. Terdapat enam lembaga yang perlu ada di tingkat pusat, yakni Presiden dan Wakil Presiden; Dewan Perwakilan; Majelis Permusyawaratan; Kementerian; Majelis Pertimbangan; dan Mahkamah Agung.
Akhir kata, sebagai seorang pemimpin yang visioner, Mohammad Yamin telah memberikan “kenangan jariyah” untuk bangsa Indonesia yang tidak akan terhapus masa.
Catatan: Tulisan ini ditulis berdasarkan beberapa sumber, yakni 1) Majalah Tempo Edisi Khusus Hari Kemerdekaan (Muhammad Yamin), 18 Agustus 2013, 2) Majalah Tempo Edisi Khusus Hari Kemerdekaan (Muhammad Yamin), 18 Agustus 2014, 3) Buku “Peranan Muhammad Yamin Sekitar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928” karya Hartojo Joedatmojo.