Beranda Publikasi Kolom Ritual Mubeng Beteng

Ritual Mubeng Beteng

890
0

Stanley Khu (Staf Pengajar Prodi Antropologi Universitas Diponegoro)

Diskusi tentang modernitas, terutama dalam kasus agama, selalu melibatkan persoalan ihwal dua kubu yang seolah tidak terdamaikan: kubu tradisionalis di satu sisi, dan kubu reformis di sisi lain. Pihak pertama dianggap mencampuradukkan antara autentisitas ajaran dengan kebudayaan lokal, sementara pihak kedua diyakini berusaha keras untuk menerapkan tekstualitas tanpa mempertimbangkan konteks. Dengan kata lain, apa yang menjadi pokok masalah di sini adalah perihal isu ‘kebenaran’ (patut diingat bahwa semangat utama modernitas adalah juga pencarian kebenaran).

Apakah perdebatan antara kedua kubu ini, yang mengambil latar di era modern, adalah semata-mata bersifat doktrinal, dan apakah perbedaan doktrinal ini membekukan kedua kubu dalam dua posisi yang antagonis? Bagi antropologi, salah satu cara untuk menjawab pertanyaan semacam ini adalah dengan berpaling pada ritual.

Dalam tulisan ini, ritual yang menjadi perhatian adalah Mubeng Beteng, sebuah prosesi mengitari tembok keraton sultan secara berlawanan dengan arah jarum jam, dengan bertelanjang kaki dan dalam keheningan, di mana Abdi Dalem berperan sebagai pemimpin prosesi sambil mengusung pusaka-pusaka keraton dan diikuti di belakang oleh warga Yogyakarta.

Potensi polemik dari ritual ini bersumber dari prosesinya yang menyerupai tawaf. Kesamaan ini bukanlah kebetulan, karena Woodward (2011) mencatat bahwa para peserta ritual memang meyakini keraton sebagai pusat religius, yang didirikan pada 1756 untuk menyembah Allah dan memiliki koneksi langsung dengan peradaban Islam di Arab.

Satu contohnya adalah pusaka bernama Kyai Tunggul Wulung, sebuah bendera hitam yang konon terbuat dari kain yang dulunya menyelimuti kuburan Nabi Muhammad. Dengan kata lain, Kyai Tunggul Wulung berfungsi sebagai penghubung antara keraton dan Nabi, sebuah simbol untuk menegaskan bahwa eksistensi keraton berakar dalam tradisi Islam paling awal. Dan jika keraton menyimpan pusaka dengan genealogi yang secara valid bisa dilacak ke Islam dan pendirinya, maka aksi mengitarinya dengan cara yang menyerupai tawaf bermakna bahwa keraton dimaknai sebagai replika dari Ka’bah itu sendiri – sesuatu yang pastinya tidak bisa diterima oleh Muslim dengan pendirian yang lebih ortodoks.

Pada ujung dekade pertama abad ke-21, debat perihal patut atau tidaknya pelaksanaan ritual Mubeng Beteng mengalami penafsiran ulang. Pemicunya adalah sebuah ritual lain yang tak kalah pentingnya dalam kebudayaan Jawa, Sekaten, yang ditujukan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad. Salah satu elemen dari ritual ini adalah Miyos Gongso, sebuah prosesi untuk mengarak dua gamelan sakral (Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu) dari keraton menuju Masjid Gede Kauman. Prosesi arak-arakan yang mulus tanpa halangan diyakini secara simbolik akan menandakan sebuah periode yang baik.

Akan tetapi, apa yang terjadi berada di luar bayangan semua orang: dalam prosesi ini, kedua gamelan sakral jatuh ke tanah. Begitu mengerikannya insiden ini, sampai-sampai menurut catatan Rodomeier (2014), tidak ada surat kabar yang berani menuliskannya karena takut berita ini akan memengaruhi psikologi massa!

Dan benar saja, insiden ini seolah-olah menjadi pertanda bagi malapetaka yang sebentar lagi tiba: Gunung Merapi meletus pada 10 Oktober 2010 selama 40 hari (sebuah angka penting dalam mistisisme Jawa dan bagi Muslim), dan kemudian, pada 5 Desember 2010, pemerintah pusat memperbarui tuntutannya bahwa jabatan Sultan Yogyakarta sebagai gubernur provinsi harus diputuskan melalui prosedur demokratis alih-alih diwarisi turun-temurun ibarat sistem feodal.

Meski di permukaan tampak berbeda, kedua peristiwa ini diyakini terhubung satu sama lain. Pertama, peristiwa letusan Gunung Merapi. Pertanyaan tentang penyebab meletusnya gunung ini berujung pada dua kemungkinan yang saling berkontradiksi: bagi satu pihak, Merapi meletus karena kegagalan dalam menjalankan ritual tradisional yang bakal menjaganya agar tetap tenang, sementara bagi pihak lain, Merapi meletus karena kegagalan dalam menegakkan syariat Islam dengan setegas-tegasnya (atau dengan kata lain: karena tradisi lokal masih dibiarkan berlangsung tanpa ditindak tegas).

Namun, terlepas dari manakah jawaban yang benar, kedua pihak sama-sama sepakat bahwa hanya Sultan yang mampu memastikan keseimbangan alam semesta. Ini menuntun pada peristiwa kedua: tuntutan bahwa jabatan gubernur yang diemban Sultan harus diputuskan secara demokratis. Bagi kedua pihak, tuntutan dari pemerintah pusat ini otomatis akan melemahkan kemampuan Sultan dalam memelihara relasi antara alam dan manusia.

Alasannya, sosok Sultan dalam kosmologi Jawa dipahami sebagai tripod atau perpaduan antara tiga elemen krusial: religius (sosoknya sebagai Sultan), spiritual (sosoknya sebagai Gusti/Raja), dan politik-sekuler (sosoknya sebagai Gubernur) (Rodomeier, 2014). Dengan demikian, mencopot salah satu elemen ini – sebagaimana tersirat dalam tuntutan pemerintah pusat – adalah sama dengan menggoyang keseimbangan alam itu sendiri.

Penalaran inilah yang lantas menyebabkan ritual Mubeng Beteng yang diadakan tahun berikutnya – 2011 – dihadiri oleh banyak orang dari semua spektrum religius, tradisionalis sampai modernis, dengan tujuan utama untuk membantu dan memperkuat kekuatan spiritual Sultan serta, pada gilirannya, memastikan keamanan dan ketenteraman Yogyakarta itu sendiri.

Sebagai tambahan, selain Mubeng Beteng yang digelar secara resmi/formal, terdapat pula beberapa Mubeng Beteng lain yang diadakan secara informal. Semua aktivitas ini akhirnya berujung pada keputusan pemerintah pusat tahun 2011 untuk meneken kontrak yang menjamin posisi seumur hidup Hamengkubuwono dan Pakualam sebagai gubernur dan wakil gubernur Yogyakarta.

Menurut Anderson (1972), kebudayaan Jawa menganut gagasan ihwal keilahian yang imanen di dunia, di mana semua aspek perilaku diyakini mengandung konten ‘politis’ sejauh aspek-aspek ini mungkin memengaruhi distribusi dan konsentrasi dari Kuasa yang secara tunggal bertanggung jawab menjadikan masyarakat tertata baik, sejahtera, dan stabil.

Keyakinan semacam inilah yang dapat menjelaskan alasan aneka manusia dari berbagai latar religius personal untuk bersatu-padu dalam menjalankan sebuah ritual demi mencapai satu tujuan bersama. Melalui partisipasi inklusif dalam Mubeng Beteng sebagaimana tercatat dalam studi Rodomeier, kita melihat bahwa ada isu yang dipersepsikan oleh kelompok religius tradisionalis maupun reformis sebagai fundamental, bahkan terkesan lebih penting ketimbang isu ‘kebenaran’ (yang biasanya dianggap sebagai rujukan paripurna dalam persoalan agama).

Isu yang dimaksud – secara khusus dalam kasus kebudayaan Jawa, tapi pastinya juga berlaku bagi kebudayaan Nusantara secara umum – adalah ‘harmoni’, atau dalam bahasa antropologis: keteraturan tatanan simbolik antara manusia dan dunia sekitarnya. Seolah-olah, para peserta ritual hendak berkata: kebenaran memang penting, tapi takkan relevan dalam sebuah dunia yang kacau-balau.

Referensi

Anderson, Benedict Richard O’Gorman. 2007 [1972]. “The Idea of Power in Javanese Culture.” In Culture and Politics in Indonesia, edited by Claire Holt, 1-69. Singapore: Equinox Publishing.

Rodomeier, Susanne. 2014. “Mubeng Beteng: A Contested Ritual of Circumambulation in Yogyakarta.” In Dynamics of Religion in Southeast Asia: Magic and Modernity, edited by Volker Gottowik, 133-155. Amsterdam: Amsterdam University Press.

Woodward, Mark. 2011. Java, Indonesia and Islam. New York: Springer.

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini