Sunarto (Pengajar Filsafat dan Musikologi pada: Prodi Musik, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang)
Cinta mengantarkan kepada rindu dan dendam; Makrifat mengantarkan kepada ekstase, ketiadaan diri menuju Illahi (Syekh Ahmad Ar-Rifa’i)
Apa hubungan antara Syekh Ahmad Ar-Rifa’i dan rebana? Mungkin pertanyaan ini membuat penasaran karena Syekh Rifai dikenal sebagai seorang wali, sufi besar. Syekh Ahmad Ar-Rifa’i atau Ahmad bin Sholih merupakan seorang wali sufi yang zuhud, yang selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan ibadah-ibadahnya dalam tariqatnya, Tariqat Safi’iyyah. Beliau lahir pada Sepember 1116 Masehi, di Maroko. Namun beberapa sumber menyebutkan belau lahir pada Oktober/Nopember 1118 Masehi, di Karyahasa, suatu distrik dekat Basra, Irak.
Ajaran Syekh Ahmad Ar-Rifa’i banyak diriwayatkan oleh Abdul Wahab Al-Syahrani, dalam kitabnya, Atabakat Al-Kubra. Ajaran zuhud, menurut Syekh Ahmad Ar-Rifa’i, dasar landasan keadaan yang diridloi oleh Allah SWT dalam tingkatan-tingkatan yan disunahkan. Menurut Syekh Ahmad Ar-Rifa’i, langkah pertama menuju Allah SWT adalah mengarahkan dan berpasrah diri Kepada Allah SWT. Siapa yang belum menguasai kezuhudan, maka langkah-langkah selanjutnya akan sulit menemukan “Yang benar”. Sedangkan makrifat, menurut Syekh Ahmad Ar-Rifa’i, adalah makna kedekatan diri kepada Alllah SWT, yang disertai penuh keyakinan yang pada akhirnya dapat menyingkap Realitas dan Kebenaran sejati. Untuk itulah, salah satu yang dapat dikerjakan, menurut Syekh Ahmad Ar-Rifa’i, adalah istiqomah berzikir.
Ajaran Syekh Ahmad Ar-Rifa’i menekankan betapa pentingnya berzikir dan bersholawat. Berzikir merupakan proses yang berulang-ulang. Mengapa berulang-ulang? Karena manusia adalah makhluk yang pelupa, maka berzikir wajib selalu dikerjakan sebagai upaya meminimalisir kelupaan manusia kepada Allah SWT. Bersholawat merupakan kegiatan mengagungkan Kekasih Allah SWT, Nabi Muhammad SAW.
Ketika manusia bersholawat, dia memuliakan Nabi Muhammad SAW dan otomatis juga memuliakan Allah SWT. Melalui Sholawat, manusia bermohon safa’at dari Nabi Muhammad SAW. Manusia, siapa pun dia, penuh dengan dosa dan kesalahan, dan hal inilah yang selalu menjadi tirai penghalang dalam berkomunikasi dengan Allah SWT. Hanya satu yang dapat membantu menyibak tirai penghalang itu, yaitu Nabi Muhammmad SAW. Dengan selalu bersholawat diharapkan mendapatkan safa’at dari Nabi Muhammmad SAW.
Zikir dan Sholawat yang diajarkan Syekh Ahmad Ar-Rifa’i tidak lepas dari instrument musik, Rebana (drum). Rebana adalah instrumen bundar yang terbuat dari kayu dengan sumber bunyinya membran (membranphone) dari kulit sapi, kambing, atau unta. Rebana ini instrument ritme dan tidak bernada (tone). Rebana inilah yang dipakai dalam Tariqa Safi’iyyah untuk mengiringi zikir dan sholawat.
Ada satu riwayat bagaimana awal mula rebana dipakai dalam Tariqat Safi’iyyah. Syekh Ahmad Ar-Rifa’i selalu berzikir secara khusyu’ dan dalam zikir itu selalu masuk dalam keadaan ekstase (dari bahasa Yunani ékstasis, yang berarti ‘di luar diri sendiri’; suatu pengalaman subjektif dari keterlibatan total subjek dengan objek kesadaran mereka), tubuhnya terangkat ke atas. Dalam keadaan ekstase seperti itu, secara tidak sadar, beliau selalu menepuk-nepuk dadanya dengan kedua tangannya; tepukan tersebut merupakan “tepukan ekstase”.
Peristiwa tersebut mendapat perhatian dari Allah SWT. Karena kasihan dengan keadaan Syekh Ahmad Ar-Rifa’I tersebut, maka Allah SWT memerintahkan malaikat memberikan rebana ke dadanya. Sehingga yang ditepuk tepuk Syekh Ahmad Ar-Rifa’i bukan lagi dadanya secara langsung melainkan diganti dengan instrumen rebana. Tepukan tangan Syekh Ahmad Ar-Rifa’i ke rebana itupun beritme sesuai dengan zikir yang diucapkannya. Setelah sadar dari keadaan ekstase tersebut, Syekh Ahmad Ar-Rifa’i terkejut karena sudah ada sebuah rebana di dadanya. Sejak saat itulah rebana menjadi bagian dari Tareqat Safi’iyah.
Syekh Ahmad Ar-Rifa’i mengajarkan zikir dengan melodi yang estetis dengan diiringi tabuhan dan ritme rebana. Hal ini dengan tujuan supaya yang nyenyak tidur segera bangun untuk beribadah dan yang lupa menjadi ingat kepada Allah SWT. Inilah zikir musikal yang dikembangkan oleh Syekh Ahmad Ar-Rifa’i. oleh karena cara berzikir yang musikal itu, para musikolog Barat menyebut zikir yang dikembangkan oleh Syekh Ahmad Ar-Rifa’i dengan Tariqat Safi’iyyah-nya dengan istilah “Zikir Darwish Menangis”. Alasan para musikolog dengan istilah tersebut, yaitu karena suara “zikir yang musikal” dari Tariqat Safi’ayyah, yang dilakukan dengan berjama’ah, terdengar seperti “tangisan”. Disamping itu, zikir dari Tariqat Safi’iyyah dianggap gajil atau tidak lazim pada masanya.
Selain istilah “Zikir Darwish Menangis”, ada pula yang menyebut zikir dari Tariqat Safi’iyah sebagai “Zikir Ara’” atau “Zikir Gergaji”. “Zikir Ara’” atau “Zikir Gergaji” dijalankan oleh Tariqat Safi’iyyah di Turki dan Asia Tengah.
Syekh Ahmad Ar-Rifa’i mengajarkan “berzikir dengan suara keras” kepada pengikut Tariqat Safi’iyah. Ada kemungkinan “berzikir dengan suara keras” ini pengaruh dari Tariqat Zasafiah yang dikembangkan oleh Syekh Zosafiah, seorang sufi dan juga sastrawan.
Pada intinya, “Zikir Darwish Menangis” yang dijalankan oleh Tariqat Safi’iyyah merupakan “ungkapan estetis”, dimana suatu ungkap doa yang “dilagukan” dan diiringi dengan rebana sehingga menghasilkan “nuansa estetis”. Nuansa estetis tersebut diharapkan dapat mengantakan kepada ekstase, suatu ketidaksadaran diri menuju kepada “Yang Ralitas”.
Syekh Ahmad Ar-Rifa’i berpedoman, bahwa “Allah itu Maha Indah, dan Allah mencintai keindahan (estetika). “Zikir Darwish Menangis” menjadi suatu “seni”, seni merupakan ungkapan estetis. Karena seni yang estetis melembutkan jiwa, di dalam yang lembut akan lebih tersentuh oleh kebajikan.
Kebajikan atau akhlak yang luhur merupakan “hasil akhir” dari para sufi. Untuk menghasilkan “hasil akhir” tersebut memerlukan proses yang berat dan waktu yang panjang. Salah satu inti pokok dari proses tersebut adalah estetika. Menurut Syekh Ahmad Ar-Rifa’i, manusia yang selalu dilatih dengan keindahan akan mudah ‘menangkap’ keagungan Ilahi. Zikir yang musikal (estetis), menurut Syekh Ahmad Ar-Rifa’i, akan mampu mengantarkan manusia ke keadaan ekstase, ketidaksdaran diri karena Allah SWT.
Menurut Syekh Ahmad Ar-Rifa’i, rebana sebagai pengiring zikir dan sholawat dengan tabuhan dan ritmenya, merupakan sarana pencapaian estetis. Syair berpadu dengan suara rebana memberikan memberikan membangun suasana “estetis yang agung”. Dengan suasana “estetis yang agung” inilah diharapkan manusia mampu menyelami Realitas sejati, hingga mampu memberikan luaran atau hasil menjadi manusia yang bijak. Manusia yang mampu menyaring ego dan nafsu kotor menjadi luaran yang bersih. Luaran ini konteksnya adalah akhlak mulia kepada sesama dan peningkatan taqwa kepada Allah SWT.
Seorang peneliti musik Islam, Henry George Farmer, mengatakan bahwa istrumen rebana seakan menjadi ‘wakil’ dari musik Islam. Kata “rebana” ditafsirkan ada kedekatan dengan Rabb (merujuk pada Tuhan Semesta). Suara ritmis yang estetis dari rebana diharapkan dapat mendekatkan kepada Rabb. Syekh Ahmad Ar-Rifa’i, seperti yang tertulis dalam kitab, Atabakat Al-Kubra, karya Wahab Al-Syahrani, mengatakan bahwa rebana merupakan instrument musik dari Allah SWT yang telah diberikan secara ‘langsung’ kepada dirinya, yang wajib untuk dipelihara dan dilestarikan.