Beranda Publikasi Kolom Keramahan Berbahasa Sebagai Manifestasi Nilai-Nilai Pancasila

Keramahan Berbahasa Sebagai Manifestasi Nilai-Nilai Pancasila

974
0
Bali dan Agama Hindu

Mukhamad Hamid Samiaji (Pemerhati Bahasa di Lembaga Kajian Nusantara Raya UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto)

Bahasa merupakan sebuah sarana yang digunakan masyarakat untuk saling berkomunikasi dan berinteraksi. Bahasa memiliki banyak fungsi, diantaranya yaitu untuk mengekspresikan diri, sebagai alat untuk integrasi dan adaptasi sosial serta sebagai alat untuk mengadakan kontrol sosial. Menurut Sauri (2002; Faiz et al., 2020), bahasa merupakan bagian dari kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial yang menuntut adanya komunikasi dan interaksi dengan sesamanya dan menjadi alat yang ampuh dalam berkomunikasi dan berinteraksi. Hal ini berkaitan dengan kedudukan manusia sebagai makhluk sosial yang diungkapkan Alquran dalam istilah an-nas, yaitu makhluk yang membutuhkan hubungan-hubungan dan interaksi sosial dengan sesamanya (Sofyan Sauri et al., 2018).

Berbahasa merupakan ciri khas manusia bahkan keunikan manusia sebenarnya bukanlah terletak pada kemampuan berpikirnya melainkan terletak pada kemampuan berbahasa, sebab dalam kegiatan berpikirnya manusia menggunakan simbol-simbol bahasa. Manusia dapat berpikir dengan baik yang ditunjukkannya melalui bahasa (S. Sauri, 2017). Karena pada hakekatnya manusia itu dengan berpikir, ia mampu mengenal dirinya dan Tuhannya serta mengembangkan potensi yang diberikan Tuhannya, sehingga mampu mempertahankan hidup dan kehidupan, melahirkan kebudayaan dan peradaban.

Belakangan ini Bahasa Indonesia mengalami begitu banyak tantangan yang melanda generasi muda dalam berkomunikasi. Hal tersebut tentu saja sulit dielakkan mengingat teknologi informasi yang sudah sangat terbuka sekarang ini dan tentu saja aliran informasi yang sangat pesat dengan masuknya budaya asing semakin memengaruhi kehidupan dan pergaulan, terutama akan mengubah sikap, perilaku serta kebiasaan dalam berinteraksi serta berkomunikasi dengan orang lain.

Laporan terbaru Digital Civility Index (DCI) yang mengukur tingkat kesopanan digital pengguna internet dunia saat berkomunikasi di dunia maya, menunjukkan warganet atau netizen Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara. Dalam riset yang dirilis oleh Microsoft ini, tingkat kesopanan netizen Indonesia memburuk delapan poin ke angka 76, dimana semakin tinggi angkanya tingkat kesopanan semakin buruk. Survei tersebut mencakup responden dewasa dan remaja tentang interaksi online mereka dan pengalaman mereka menghadapi risiko online.

Ketidaksopanan tersebut dapat dilihat dari bagaimana mereka menggunakan bahasa gaul dalam media sosialnya. Penggunaan bahasa gaul ini berdampak luas pada kehidupan bahkan tatanan sosial pemuda di lingkungan maasyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, bangsa Indonesia memiliki ideologi, dasar negara bahkan sumber hukum, cita-cita dan tujuan nasional bangsa Indonesia yang menjadi pedoman dan pandangan hidup bangsa yang mengatur segala hal yang ada di Indonesia, yaitu ideologi Pancasila (Kaelan, 2004). Dalam setiap sila Pancasila ini terkandung makna mendalam yang dapat kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Termasuk dalam hal berbahasa yang santun dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Untuk itu tulisan ini akan menganalisis keramahan dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar tentunya sesuai ejaan yang disesuaikan dan dipergunakan sebagai alat komunikasi dan berinteraksi di kalangan muda, sehingga muncul pertanyaan bagaimana keramahan berbahasa dalam perspektif nilai-nilai Pancasila di kalangan pemuda?

Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi Republik Indonesia sebagaimana disebutkan dalam UndangUndang Dasar RI 1945, Pasal 36 merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia sebagaimana disebut dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan juga sebagai identitas bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa dinamik yang terus menyerap kata-kata daripada bahasa-bahasa asing. Dalam perkembangannya bahasa Indonesia tidak menampik kenyataan terhadap masuknya bahasa lain. Justru bahasa-bahasa yang masuk itu dapat memperkaya bahasa Indonesia terutama dari segi perbendaharaan kata.

Bahasa bagi manusia menurut Koendjono (dalam S. Sauri, 2017) adalah sarana khas untuk mengungkapkan isi batinnya dengan bunyi mulut yang terperinci. Sarana ini bukanlah sesuatu yang berada diluar manusia. Bahasa dalam kaitan ini bukanlah untuk disimpan melainkan untuk digunakan. Sebagai sarana bahasa bukan untuk diketahui seluk beluknya, susunannya dan macam-macamnya, melainkan untuk digunakan dan dikuasai. Demikian pula berbahasa santun dalam kaitannya dengan manusia terdidik bukan hanya mengetahui bahasa santun, tetapi bagaimana menggunakan dan menguasainya.

Dalam teori (Phenix, 1964) bahasa termasuk kedalam kategori makna simbolik (symbolic meaning) karena hakekat bahasa adalah simbol-simbol yang saling dipahami. Berbahasa bukanlah kemampuan yang datang begitu saja atau dibawa sejak lahir, kemampuan berbahasa diperoleh melalui pendidikan. Semakin terdidik seseorang, semakin berkualitas pula kemampuan berkomunikasinya.

Dalam KBBI (Nasional, 2016) dijelaskan yang dimaksud dengan keramahan adalah kehalusan dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya). Keramahan bersifat relatif di dalam masyarakat. Ujaran tertentu bisa dikatakan santun di dalam suatu kelompok masyarakat tertentu, akan tetapi di kelompok masyarakat lain bisa dikatakan tidak santun. Menurut Zamzani (Zamzani, 2010) keramahan merupakan perilaku yang diekspresikan dengan cara yang baik atau beretika. Keramahan merupakan fenomena kultural, sehingga apa yang dianggap santun oleh suatu kultur mungkin tidak demikian halnya dengan kultur yang lain.

Tujuan keramahan, termasuk keramahan berbahasa, adalah membuat suasana berinteraksi menyenangkan, tidak mengancam muka dan efektif. Kajian keramahan berbahasa dalam bahasa Indonesia dikategorikan kedalam kajian pragmatis, menurut Soedjito dan Saryono (S. Sauri, 2017) ialah keterampilan berbahasa yang mengkaitkan bentuk bahasa dan faktor-faktor penentu dalam komunikasi. Berbahasa dapat dilihat secara gramatik dan pragmatik, kajian gramatik menghasilkan penggunaan bahasa yang (1) benar atau (2) salah, sedangkan pragmatic menghasilkan penggunaan bahasa yang (1) wajar atau tidak wajar, (2) hormat atau tidak hormat, (3) sopan atau tidak santun.

Fenomena berbahasa dikalangan muda ini berkembang berawal dari kreativitas anak muda dalam memodifikasi atau meleburkan bahasa Indonesia kedalam bahasa yang menurut mereka sangat unik dan sesuatu yang baru, yaitu menggabungkan antara abjad-abjad dalam bahasa Indonesia (unsure fonemis) dengan angka-angka yang menjelma menjadi bahasa tulis dan dapat dibaca walaupun secara ilmiah sama sekali tidak mengandung makna dan maksud (absurd). Tetapi bagi pengguna bahasa-bahasa itu dapat dimengerti dan mengandung maksud. Hal itu didasarkan karena pandangan mereka yang menganggap sesuatu yang baru dalam berkomunikasi. Bahasa atau tulisan yang bisa mewakili jiwa muda penggunanya.

Menurut Suprihatin (2014), keramahan dalam berbahasa yang dilakukan pemuda dapat terlihat dari kondisi riil di lapangan khususnya ketika berbicara dengan temannya atau dengan orang yang lebih tua usianya. Berdasarkan hasil observasi dalam bertutur kata para remaja di lapangan, menunjukkan adanya ketidaksantunan bahasa yang digunakan dalam pembicaraannya. Umumnya mereka menggunakan bahasa akrab yang tidak terlalu kasar atau terlalu lembut. Sering terdengar dalam berkomunikasi sehari-hari penggunaan bahasa tidak baku atau bahasa gaul. Penggunaan bahasa seperti itu walaupun tidak termasuk bahasa kasar tetapi bahasa tersebut kurang santun. Orang yang berbahasa ramah adalah orang yang tidak hanya dapat berbahasa dengan tepat, jelas, dan sopan, tetapi selaras dengan adat istiadat bahasa yang sudah menjadi tata tertib bahasa masyarakat serta sesuai dengan peraturan bahasa.

Manusia utuh menurut Koendjono adalah individu yang bermasyarakat yang menaati peraturan-peraturan masyarakat termasuk peraturan berbahasa. Melihat karakter bahasa sebagaimana dimaksud di atas, berbahasa di sini bukanlah keahlian khusus tentang bahasa, tetapi kemampuan dan keterampilan berbahasa yang perlu dimiliki orang. Karena itu bahasa yang dimaksud merupakan bagian dari pendidikan umum (Sofyan Sauri, 2002). Pendidikan umum tersebut menerapkan nilai sosial dalam kehidupan.

Sauri (2018), mengatakan bahwa nilai sosial yang dikembangkan di masyarakat diantanya adalah memberi hormat tinggi dan komunikasi yang baik. Berbahasa santun ini erat kaitannya dengan bagaimana berbahasa dengan beretika. karena ini menyangkut dalam interaksi dengan kehidupan sosial yang penuh dengna etika, adab, moral bahkan sampai hukum di masyarakat, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

Hal ini berbicara etika yang menyangkut etika individual menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri dan etika sosial berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota masyarakatnya termasuk didalamnya berbahasa yang santun. Karena hal ini didasari pula oleh Socrates dalam (Sofyan Sauri & Firmansyah, 2010), bahwa etika membahas baik-buruk, benar-salah dalam tingkah laku, tindakan manusia dan menyoroti kewajiban-kewajiban manusia. Etika tersebut berhubungan dengan nilai sosial yang berlaku di masyarakat.

Pendapat di atas bisa dikatakan bahwa keramahan berbahasa dalam berinteraksi dengan manusia lainnya pun bisa dikategorikan ada bahasa baik atau buruk, dan nada benar atau salah. Bahasa gaul yang kerap digunakan antara lain dalam penulisan pesan singkat atau whatsapp, dalam sosial media, yang kemudian dari kedua hal yang dekat dengan kehidupan tersebutlah telah menjadi kebiasaan. Sering kali kita temui dalam penulisan tugas sekolah, karya tulis, ataupun dalam tataran akademik lainnya, bahasa-bahasa tersebut digunakan padahal penulisan tersebut tidak diperkenankan.

Berbahasa ramah yang ditemukan dikalangan remaja dipengaruhi oleh bahasa dan kultur sunda sebagai bahasa ibu, yang secara linguistic dipengaruhi oleh faktor psikologis, terutama pada sistuasi-situasi tertentu yang melibatkan emosi, seperti marah, senang, sedih dan sebagainya. Banyak pengaruh negatif dan positif bahasa gaul terhadap bahasa Indonesia, yaitu seringnya kaum muda menggunakan bahasa alay maka secara perlahan-lahan mereka akan meninggalkan bahasa Indonesia yang merupakan jiwa masyarakat Indonesia, bagian dari budaya, dan pemersatu bangsa Indonesia; eksotisme bahasa gaul yang telah merasuk pada pola pikir penggunanya itu menawarkan daya tarik luar biasa dibandingkan bahasa Indonesia.

Orang yang masih sembarangan dalam mengungkapkan bahasa secara kasar di media sosial dapat disalahkan dan dianggap melanggat norma sosial (Siahaan, 2008) salah satunya norma hukum yang sudah ditetapkan negara Indonesia dalam Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Dahliyana, 2018). Sejalan dengan hal tersebut, Indonesia memiliki dasar yang dijadikan sebagai pedoman hidup bangsa dan bernegara, yaitu Pancasila. Kaelan (2004) menyatakan bahwa, Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu nila-inilai yang bersifat sistematis. Sebagai suatu dasar filsafat, sila-sila dalam Pancasila atau kelima sila yang ada di dalamnya merupakan suatu sistem yaitu merupakan satu kesatuan yang bulat, hierarkis dan sistematis, maka kelima sila bukan terpisah-pisah melainkan memiliki makna yang utuh yang merupakan sistem nilai.  Nilai-nilai Pancasila yang menjadi landasan dalam keramahan berbahasa.

Sila Pertama

Keramahan berbahasa dalam Al-Quran berkaitan degan cara pengucapan, perilaku dan kosa kata yang santun serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi (lingkungan) penutur, sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Quran: “…dan lunakanlah suaramu, sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara himar”. Melunakan suara dalam ayat tersebut mengandung pengertian yaitu cara penyampaian ungkapan yang tidak keras atau kasar, sehingga apa yang disampaikan bukan hanya dapat dipahami saja, tetapi juga dapat diserap dan dihayati maknanya. Adapun perumpamaan suara yang buruk digambarkan pada suara himar, karena binatang ini terkenal di kalangan orang Arab adalah binatang yang bersuara jelek dan tidak enak di dengar (Adrianto., 2016).

Setiap individu yang menjadikan agama sebagai pedoman hidup serta mengikuti semua aturannya akan senantiasa berbuat baik termasuk dalam berbahasa, karena pada dasarnya setiap agama mengajarkan kebaikan dalam segala hal, salah satunya adalah agama islam. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa Islam pun mendorong manusia untuk berbuat baik dalam segala hal termasuk dalam bertutur kata atau berbahasa.

Sila Kedua

Bahasa mempunyai fungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi manusia di dalam masyarakat, oleh karena itu di dalam tindak laku berbahasa hendaknya disertai dengan norma-norma yang berlaku dalam budaya itu. Sistem tindak laku berbahasa menurut norma-norma budaya ini disebut etika berbahasa atau tata cara berbahasa.

Etika berbahasa merupakan subsistem dari kebudayaan, hal ini terbukti dengan kemampuan seseorang dalam berbahasa diukur melalui pengetahuannya mengenai suatu budaya dalam suatu masyarakat tempat ia tinggal. Etika berbahasa erat kaitannya dengan keberadaan suatu kelompok masyarakat, karena melalui bahasa seseorang akan tahu status sosial dan budaya dalam masyarakat itu sehingga dapat memudahkan orang tersebut dalam memilih atau menggunakan bahasa secara tepat pada tempatnya. Setiap individu yang selalu menjunjung tinggi norma-norma serta budaya yang berlaku di masyarakat akan senantiasa memperhatikan etika dalam berbahasa, karena pada dasarnya norma dan budaya diciptakan agar manusia lebih beradab.

Sila Ketiga

Keramahan berbahasa tercermin dalam cara berkomunikasi lewat tanda verbal maupun nonverbal. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tata cara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan digunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Aktivitas berbahasa sangat perlu mengemban prinsip sopan santun (Sihotang, 2017).

Keramahan dalam berbahasa akan memberikan perekat nasionalisme ke-Indonesia-an yang kuat. Hal tersebut terjadi karena satu sama lain menjaga diri untuk tidak saling menyakiti oleh sebab telah menjadi kode etik apa saja yang harus dibicarakan, di mana, kapan, bagaimana, dan mengapa berbicara. Setiap individu yang memperhatikan keramahan berbahasa maka akan tumbuh rasa saling menghargai antar individu sehingga tercipta keharmonisan, keharmonisan tersebut yang kemudian dapat menjaga persatuan serta kesatuan bangsa.

Sila Keempat

Pemimpin adalah panutan bagi organisasinya, Keramahan berbahasa harus dipahami oleh para pemimpin. Karena dengan berbahasa seorang pemimpin dapat memimpin organisasinya. Jika keramahan berbahasanya tidak baik maka secara otomatis kepemimpinannya juga tidak baik (Sihotang, 2017). Leech (1993; Sihotang, 2017) mengemukakan adanya prinsip keramahan terdiri atas enam maksim, yaitu (1) maksim kebijakan yang mengutamakan kearifan bahasa, (2) maksim penerimaan yang menguatamakan keuntungan untuk orang lain dan kerugian untuk diri sendiri, (3) maksim kemurahan yang mengutamakan kesalutan/rasa hormat pada orang lain dan rasa kurang hormat pada diri sendiri, (4) maksim kerendahan hati yang mengutamakan pujian pada orang lain dan rasa rendah hati pada diri sendiri, (5) maksim kecocokan yang mengutamakan kecocokan pada orang lain, dan (6) maksim kesimpatian yang mengutamakan rasa simpati pada orang lain.

Setiap individu yang menjadi pemimpin dalam sebuah organisasi harus memperhatikan keramahan berbahasa. Pemimpin yang santun akan dinilai baik oleh anggotanya. Dalam bermusyawarah, pemimpin dengan etika berbahasa yang baik akan lebih didengar dan dihargai oleh anggotanya, sehingga musyawarah untuk mencapai mufakat akan berjalan dengan lancar.

Sila Kelima

Sejumlah teori keramahan berbahasa yang diuraikan di atas dapat dimanfaatkan sebagai landasan dalam melakukan kegiatan berkomunikasi. Selain itu, aturan keramahan berbahasa di lingkungan masyarakat Indonesia berpedoman pada aturan budaya yang berlaku dilingkungan masyarakat Indonesia yakni aturan keramahan berbahasa yang berasal dari akar budaya masyarakat Indonesia itu sendiri. (Mustika, 2013: 5). Bangsa Indonesia terdiri atas suku-suku bangsa yang memiliki keragaman budaya, maka keramahan berbahasa akan bertemali dengan kebudayaan masyarakat penuturnya. Meskipun demikian, bukan berarti keramahan berbahasa diukur berdasarkan norma-norma masyarakat budayanya masing masing tetapi keramahan berbahasa diukur berdasarkan norma-norma nasional (Mustika, 2013).

Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk keadilan bagi seluruh lapisan msyarakat, dimana ketika individu antar suku yang berbeda bertemu dan menjalin komunikasi, maka pedoman keramahan berbahasa yang digunakan ialah keramahan berbahasa yang memperhatikan norma-norma serta budaya yang berlaku di seluruh Indonesia, bukan norma-norma yang berlaku di setiap adat dan budaya masingmasing suku. Sehingga tidak ada pihak yang merasa budayanya diunggulkan ataupun disingkirkan.

Selain itu, setiap individu yang memperhatikan keramahan berbahasa akan saling menghargai satu sama lain, dengan begitu tidak ada yang merasa lebih rendah maupun tinggi, sama seperti pemimpin yang memperlakukan anggotanya secara adil, tidak ada yang dipandang rendah maupun tinggi.

Daftar Bacaan

Adrianto. (2016). Keramahan Berbahasa Dalam Perpektif Hukum Islam. Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah [Online] Diakses 02 Juni 2023 Http://Journal.Iain-Manado.Ac.Id/Index.Php/Jis/Article/Download/233/206.

Faiz, A., Hakam, K. A., Sauri, S., & Ruyadi, Y. (2020). Internalisasi Nilai Keramahan Berbahasa Melalui Pembelajaran Pai Dan Budi Pekerti. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, 29(1), 13–28. Https://Doi.Org/10.17509/Jpis.V29i1.24382

https://www.kompas.com/sains/read/2021/02/26/194500523/netizen-indonesia-paling-tidak-sopan-se-asia-tenggara-pengamat-sebut-ada-3?page=all.

Mustika, I. (2013). Mentradisikan Keramahan Berbahasa: Upaya Membentuk Generasi Bangsa Yang Berkarakter. Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 1–11. Nasional,

Phenix, P. H. (1964). Realm Of Meaning. Mcgraw-Hill Book Company.

Sauri, S. (2017). Keramahan Berbahasa (Kajian Nilai, Moral, Etika, Akhlak, Dan Karakter).

Sauri, Sofyan. (2002). Pengembangan Strategi Pendidikan Berbahasa Santun Di Sekolah. Mimbar Pendidikan, 22(1), 45–53.

Sauri, Sofyan, & Firmansyah, H. (2010). Meretas Pendidikan Nilai. Cv Arfino Raya.

Sauri, Sofyan, Nursyamsiah, N., & Nurbayan, Y. (2018). A Critique Of Local Wisdom Values In Indonesia’s Pesantren. Pertanika Journal Of Social Sciences And Humanities, 26(T), 37–50.

Sihotang, R. W. K. (2017). Gaya Kepemimpinan Dan Keramahan Berbahasa Seorang Kepala Sekolah Dalam Berkomunikasi Ditinjau Dari Aspek Prinsip Kesopanan Dan Ciri-Ciri Kepemimpinan. Seminar Nasional Pendidikan Dasar Universitas Negeri Medan Isbn: 978-602-50622-0-9 Https://Jurnal.Unimed.Ac.Id/2012/Index.Php/Snpu/Article/Download/15043/12152.

Suprihatin. (2014). Pembelajaran Keramahan Berbahasa Untuk Penanaman Pendidikan Karakter Bagi Siswa Di Smp. Naskah Publikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Zamzani, D. (2010). Pengembangan Alat Ukur Keramahan Bahasa Indonesia Dalam Interaksi Sosial Bersemuka Dan Non Bersemuka.

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini