Jear Nenohai (mahasiswa pascasarjana pada Center for Religious and Cross-Cultural Studies, Universitas Gadjah Mada).
Masyarakat adat Besipae-Pubabu adalah salah satu masyarakat adat di Nusa Tenggara Timur (NTT). Sejak 2008, masyarakat adat Pubabu-Besipae berjuang untuk menjaga hutan mereka dari pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan. Di tengah perjuangan warga, banyak intimidasi serta sikap-sikap tidak menyenangkan yang diterima oleh mereka. Salah satu aksi perlawanan yang cukup masif datang dari kaum perempuan. Perempuan adat Pubabu-Besipae bangkit dan melawan bersama para suami mereka (Perempuan, 2020).
Umbu Kaulang, direktur Wahana Lingkungan Hidup NTT menyatakan bahwa ada tiga alasan utama mengapa perempuan Besipae ikut melawan. Pertama, perlawanan para warga ialah reaksi alamiah warga karena mereka menyadari tanah itu sebagai rahim. Hutan adalah simbol kemakmuran pangan dan air. Kedua, perlawanan adalah reaksi psikologis dari orang yang lama ditindas tanpa alasan yang jelas.
Secara psikologis, warga sudah lelah atas ketidakjelasan yang mereka hadapi. Ketiga, mereka cukup kritis, saat kita melihat kaum perempuan ikut bergerak di garis depan, kita melihat sebuah daya kritis dari mereka. Mereka tahu bahwa laki-laki tidak bisa bergerak sendiri maka suami mereka ikut dibantu. Mereka tahu bahwa kalau laki-laki itu kalah, kami juga tidak bisa makan, ujar Umbu (Nenohai, 2023).
Berangkat dari perjuangan perempuan Besipae di garda terdepan, saya menganalisa bagaimana keterkaitan antara filosofi manusia, tanah, dan gender dalam pandangan masyarakat Besipae. Aksi ini, menurut saya, memiliki akar yang kuat pada paradigma gender masyarakat adat atoin meto. Perjuangan perempuan Besipae berjangkar pada filosofi feto-mone dalam pandangan atoin meto. Filosofi feto-mone menjadi landasan resistensi perempuan Besipae.
Oleh karena itu, tulisan ini menganalisa keterhubungan perjuangan para perempuan Besipae dan filosofi atoin meto sebagai upaya memperkaya wacana resistensi perempuan adat di Indonesia, terutama dari wilayah Nusa Tenggara Timur.
Gender Menurut Pandangan Orang Timor (Atoin Meto)
Atoin meto secara harafiah berarti manusia-manusia dari tanah kering. Sebutan atoin meto dialamatkan kepada seluruh masyarakat yang berada di dataran pulau Timor, provinsi Nusa Tenggara Timur. Atoin meto terdiri dari dua suku kata atoin yang berarti orang dan meto yang beraarti tanah. Menurut Peter Middelkoop, orang-orang Timor memercayai bahwa manusia timor merekah dari tanah. Tanah adalah asal mula kelahiran kehidupan (Middelkoop, 1982). Oleh karena itu, orang-orang Timor memiliki keintiman relasi dengan tanah dan segala ciptaan yang muncul dari tanah.
Kosmologi orang Timor ikut mempengaruhi aspek gender. Orang-orang Timor menyebut laki-laki mone dan Perempuan sebagai feto. Paham feto-mone. Feto-mone bisa dikatakan sebagai norma atau sikap hidup masyarakat Atoni yang menjadi panduan untuk menjaga dan melestarikan kehidupan masyarakat Timor.
Konsep ini bisa disejajarkan dengan konsep manunggaling kawulo gusti pada masyarakat Jawa atau Yin-Yang pada masyarakat Tionghoa, berikut penjelasan dari kata feto-mone. Kata feto berarti perempuan. Dalam hubungan dengan baris keturunan, seorang yang dihitung melalui garis keturunan ibu dikategorikan sebagai feto. Mone berarti laki-laki. Dalam hubungan dengan baris keturunan seseorang yang dihitung melalui garis keturunan ayah dikategorikan sebagai mone. Dalam istilah ini, feto-mone diterjemahkan sebagai feminis-maskulin untuk menjelaskan konsepsi masyarakat Timor tentang perempuan dan laki-laki (Funay, 2017).
Pandangan sosial dan spiritual juga terkandung dalma feto-mone. Relasi-relasi itu meliputi relasi manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam misalnya: Uis Pah-Uis Neno (Allah Bumi-Allah Langit), Ain-Uis Neno-Am-Uis (Allah Ibu-Allah Bapa), Bife-Atoni (perempuan-laki-laki), dan lain-lain (Funay, 2017).
Term feto-mone mengindikasikan satu kesatuan yang tidak bisa hadir tanpa yang lain, seperti hidup yang tidak bisa ada tanpa kesatuan antara laki-laki dan perempuan seperti yang terkandung dalam relasi manusia (atoin) dan tuhan langit ( Uis Neno) dalam pandangan orang Timor (Nordholt, 1986).
Dilihat pada penerapannya, konsep feto-mone memiliki dampak kehidupan perempuan dan laki-laki seperti pembagian kerja. Masyarakat Atoni membedakan peranan perempuan dan laki-laki. Laki-laki bertugas dalam ranah publik, seperti berperang, membangun hubungan dengan masyarakat luas, dan bekerja di kebun sedangkan perempuan lebih mengurus persoalan privat seperti memasak, mencuci, menjamu tamu dan lain-lain. Alasan perempuan ditempatkan pada ranah privat juga dikarenakan perempuan pada masyarakat Atoni dilihat sebagai “ibu kehidupan.”
Alam, Gender, Perlawanan Perempuan Besipae
Paham keseimbangan gender masyarakat atoin meto termanifestasi dalam relasi manusia dan alam. Sama seperti laki-laki dan perempuan harus hidup saling menjaga, perempuan adat Pubabu, sebagai atoin meto, juga turut menjaga keberlangsungan hidup alam.
Menurut penuturan Niko Manao, Amaf (kepala suku) Besipae-Pubabu, warga tidak boleh masuk dan keluar hutan secara sembarangan. Ada tradisi lokal yang disebut tasaeba bano (tutur untuk membuka hutan) dan tasanut bano (tutur untuk menutup hutan) (Nenohai, 2023).
Kedua tradisi tutur itu menyaratkan adanya tata cara atau ritual warga Pubabu apabila ingin mengambil sesuatu dari hutan. Niko menambahkan bahwa warga pun tidak boleh serakah saat mengambil hasil hutan, bila mereka misalnya menutur akan mengambil seekor hewan maka mereka hanya boleh mengambil seperti apa yang sudah mereka pinta dan tidak boleh mengambil lebih (Naha, 2020).
Tindakan ini menunjukan betapa tinggi nilai penghormatan warga kepada hutan adat Pubabu atau hutan kio dalam bahasa Timor.
Bagi orang Besipae, hutan itu seperti manusia. Hutan adalah mahluk hidup yang harus dijaga sebagaimana kita menjaga diri kita sendiri. Esterlina Selan, salah satu perempuan adat Pubabu, mengatakan bahwa hutan dimaknai seperti tubuh manusia. Hutan adalah rambut yang menghiasi kepala manusia. Batu ibarat tulang-tulang yang menopang tubuh manusia. Air adalah darah yang mengalir di tubuh manusia. Tanah ibarat daging manusia. Maka kita perlu merawat alam seperti kita merawat diri kita sendiri agar alam tetap sehat dan indah.
“Bila, hutan kita gunduli maka itu seperti kita terlihat botak. Kurang elok, kurang cantik, oleh karena itu kita musti menjaga hutan tetap lebat agar terlihat indah,” ucap Esterlina Selan (Nenohai, 2023).
Hutan dan tanah memiliki keterikatan yang kuat dengan perempuan Besipae-Pubabu. Menurut penuturan Frans Sae, seorang warga Pubabu, aktifitas perempuan Pubabu selalu berkaitan dengan alam seperti mengambil air dan memasak (Nenohai, 2023). Semua itu berhubungan dengan air dan hasil alam yang kemudian diolah untuk kebutuhan sehari-hari keluarga mereka.
Oleh karena itu, Esterlina Selan menyatkaan bahwa saat alam dirusak maka mama-mamalah yang paling terasa terbeban karena mereka tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga (Nenohai, 2023). Itu lah mengapa perempuan Pubabu begitu gigih menolak pengambil-alihan tanah dan hutan kio yang dilakukan oleh pemerintah Timor Tengah Selatan seperti yang mereka lakukan selama ini.
Berdasarkan pada prinsip keseimbangan hidup orang Pubabu dan alam, perempuan adat Pubabu bergerak untuk melawan. Perempuan adat Pubabu memahami bahwa usaha menjaga hutan tidak bisa ditaruh pada pundak laki-laki saja. Para perempuan berpandangan bahwa hutan adalah bagian dari kehidupan keluarga mereka. Tanpa hutan, para perempuan tidak bisa memasak makanan untuk keluarga mereka, mendapatkan stok air untuk sanitasi dan kebutuhan rumah tangga. Berangkat dari realita penderitaan dari dalam rumah tangga. Para Perempuan melawan bersama seluruh masyarakat adat Besipae.
Landasan perlawan tersebut berjangkar pada paham feto-mone, paham keseimbangan hidup laki-laki dan Perempuan sekaligus keseimbangan hidup manusia Besipae dan hutan mereka. Bagi Perempuan adat Besipae, tanah dan keluarga memiliki nilai sakral yang sama. Perempuan-perempuan Besipae mencintai keluarga mereka seperti mereka mencintai alam Besipae. Oleh karena itu, mereka terus menjaga dan merebut tanah mereka kembali dari tangan para perampas sampai hari ini. [NI]
Daftar Pustaka
Funay, E. T. (2017). Konsepsi Feto-Mone (FemininMaskulin) sebagai Simbol Keseimbangan dan Keutuhan dalam Masyarakat Atoni Meto. In A. N. Natar (Ed.), Perempuan Kristiani Indonesia Berteologi Feminis dalam Konteks. BPK Gunung Mulia.
Middelkoop, P. (1982). Atoni Pah Meto: Pertemuan Injil dan Kebudayaan Di Kalangan Suku Asli Timor. BPK Gunung Mulia.
Naha, M. (2020). Belajar dari Masyarakat Adat Pubabu. Https://Www.Walhi.or.Id/Belajar-Dari-Masyarakat-Adat-Pubabu.
Nenohai, J. N. D. K. (2023). Hutan sebagai Subjek: Memahami Landasan Resistensi Masyarakat Adat Pubabu-Besipae di Nusa Tenggara Timur. Inphies Volume 1, Issue, 1, 9–14.
Nordholt, H. G. S. (1986). The Political System of the Atoni of Timor. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde .
Perempuan, K. (2020). Siaran Pers Komnas Perempuan Tentang Kekerasan Berulang Terhadap Perempuan Adat dalam Penyelesaian Konflik Hutan Pubabu Besipae, NTT (16 Oktober 2020). https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-tentang-kekerasan-berulang-terhadap-perempuan-adat-dalam-penyelesaian-konflik-hutan-pubabu-besipae-ntt-16-oktober-2020