Beranda Publikasi Kolom Sunan Amangkurat Agung, Raja Zalim yang Disayyidkan

Sunan Amangkurat Agung, Raja Zalim yang Disayyidkan

7096
0
Sumber foto: kompas.com

Akhmad Arif Junaidi (Dosen UIN Walisongo, Semarang)

Salah  satu fenomena menarik yang bisa dilihat dalam tradisi Islam di Indoensia saat ini adalah Arabisasi situs-situs keagamaan, yaitu upaya untuk mengaitkan situs-situs keagamaan Islam seperti masjid, istana dan makam kuno dengan hal-hal yang berbau Arab, habib atau sayyid.

Masjid, istana atau makam kuno yang karena sejarahnya tidak teridentifikasi secara jelas dan tegas maka akan langsung didaku sebagai peninggalan seorang habib atau sayyid tertentu. Bahkan terhadap situs keagamaan yang sudah jelas identitas kesejarahannya pun kadang terjadi pemaksaan arabisasi tersebut.

Salah satu fenomena menarik tersebut bisa dilihat pada makam Sunan Amangkurat Agung yang terletak di Desa Pesarean, Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal.

Sunan Amangkurat Agung adalah raja Mataram Islam ke-4 yang menggantikan kedudukan ayahnya pada 1646 M (De Graaf, 1987: 3). Berbeda dengan ayahnya, Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja Mataram yang paling tersohor dan lekat dengan epos kepahlawanan, kehidupan Sunan Amangkurat Agung banyak diliputi dengan cerita-cerita memilukan.

Kehidupan masa mudanya banyak diwarnai dengan intrik-intrik yang berkaitan dengan perempuan. Saat masih menjabat sebagai putra mahkota, dia memerintahkan penculikan terhadap isteri tercantik Tumenggung Wiraguna, pejabat Kesultanan Mataram paling senior saat itu (De Graaf, 1987: 2).

Banyak catatan sejarah, baik tradisi tulis dan lisan Jawa serta catatan Barat, yang menceritakan bagaimana raja kelahiran 1618 M yang bernama kecil Raden Mas Sayyidin itu pada masa pemerintahannya diselimuti mendung kegelapan karena kebijakan-kebijakannya yang kontroversial.

Pada masa awal pemerintahannya sang raja memerintahkan untuk menyingkirkan Tumenggung Wiraguna, seorang pejabat kerajaan yang isterinya ia culik dan selingkuhi, dengan cara mengirimkannya ke wilayah tapal kuda di Jawa Timur. Ekspedisi ke Timur untuk mengalahkan wilayah Blambangan yang didukung penuh oleh kerajaan Hindu Bali ini adalah tugas yang sangat berat.

Sang raja tetap memerintahkan pengiriman ekspedisi ke Timur tersebut dengan harapan sang tumenggung akan mati di sana. Meskipun akhirnya ekspedisi tersebut bisa berhasil mengalahkan Blambangan, Wiraguna meninggal dalam ekspedisi tersebut. Sebagian tradisi lisan Jawa menyatakan bahwa sang tumeggung meninggal karena sakit, tetapi sumber-sumber sejarah lainnya menyatakan bahwa sang tumenggung meninggal karena dibunuh oleh orang kepercayaan raja.

Kecewa dengan penyingkiran pejabat kerajaan tersebut maka Pangeran Alit, adik sang  raja  yang banyak berkomunikasi dan bersahabat akrab dengan sang tumenggung, pun melakukan pemberontakan. Pasukan kecil yang dibawanya pun menyerang kota raja. Namun karena jumlahnya yang tiak seberapa, kekuatan pasukan kecil tersebut dengan mudah dikalahkan.

Sang adik pun terbunuh dalam pemberontakan tersebut. Ia dikeroyok oleh pasukan Madura yang berada di istana Mataram (Sri Wintala Achmad, 2013: 187-188). Karena khawatir akan kemungkinan adanya dendam dari para ulama yang kebenyakan bersimpati pada Pangeran Alit, sang raja pun memerintahkan untuk mengeksekusi ribuan ulama beserta keluarganya. Dalam catatan Rijcklofs van Goen, ada sekitar enam ribu kiai dan keluarganya yang diekskusi mati atas perintah sang raja (Ricklefs, 2008: 87).

Sang raja juga memerintahkan pembunuhan terhadap ki Dalem, seorang dalang wayang gedhog yang memiliki isteri yang sangat cantik yang membuatnya tergila-gila. Isteri sang dalang kemudian dia nikahi dan bergelar Ratu Malang (Sri Wintala Achmad, 2013: 192). Diberi gelar Ratu Malang karena nasibnya yang malang karena konon akhirnya mati diracun oleh para selir raja yang menjadi iri kepadanya.

Sang raja kemudian memerintahkan untuk mencari seorang calon isteri lagi yang sangat cantik, Perempuan cantik bernama Rara Hoyi yang masih belia pun ditemukan. Karea masih belia maka putri peranakan Cina itu pun dititipkan pada Tumenggung Wirareja di bawah pengawasan Pangeran Pekik, mertua sang raja sekaligus pengasuh sang putra mahkota.

Celakanya, ketika mulai beranjak dewasa ternyata sang putri menjalin kasih dengan Raden Mas Rahmat, putra mahkota yang tidak lain adalah putra kandung sang raja sendiri. Karena murka, sang raja memerintahkan pembunuhan terhadap Tumenggung Wirareja beserta keluarganya. Pangeran Pekik juga dipersalahkan dalam kasus itu, dia bersama empat puluh orang anggota keluarganya pun dibunuh. Sang raja juga memerintahkan sang putra mahkota untuk menghabisi Rara Hoyi. Sang putra mahkota kemudian diasingkan di Lipura (Sri Wintala Achmad, 2013: 196-197).

Hari-hari sang raja dipenuhi dengan pemenuhan hasrat nafsu terhadap para perempuan yang didatangkan dari berbagai kawasan di Mataram. Hampir tidak ada waktu untuk berpikir tentang bagaimana mewujudkan kemakmuran dan keadilan bagi rakyatnya. Berbeda dengan ayahnya yang sangat anti terhadap kompeni Belanda, sang raja lebih banyak menjalin komunikasi dan kerjasama dengan pemerintahan kolonial Belanda di Batavia.

Telah berkali-kali sang raja mengirimkan utusan untuk menjain hubungan kerja sama dengan pemerintahan kolonial tersebut. Sang raja juga telah beberapa kali menerima kunjungan utusan dari Batavia, meskipun seringkali hubungan kerjasama tersebut banyak merugikan Mataram sebagai negara yang berdaulat penuh (De Graaf, 1987: 84-91).

Inilah yang mengakibatkan munculnya keresahan dan ketidakpuasan di kalangan istana dan rakyatnya. Raden Mas Rahmat, sang putra mahkota, menyusun persekongkolan dengan Raden Trunajaya, seorang pangeran asal Madura yang juga menantu Panembahan Romo di Kajoran, untuk melakukan pemberontakan. Trunajaya pun kembali ke Sampang Madura untuk mengorganisir kekuatan pasukannya untuk dibawa ke Mataram (Sri Wintala Achmad, 2013: 199-200).

Sesampainya di Mataram, Trunajaya juga bersekongkol dengan para pelarian Makassar yang dipimpin oleh Kraeng Galengsong untuk melancarkan pemberontakan. Pemberontakan pun pecah dan Trunajaya dapat menguasai istana Mataram. Tidak sesuai dengan kesepakatan awal, bukannya menyerahkan tahta Mataram pada putra mahkota, ternyata Trunajaya justeru mengangkat dirinya menjadi raja dengan gelar Panembahan Maduretna Panatagama. Putra mahkota yang merasa kecewa karena dikhianati pun memutuskan untuk melibas Trunajaya (Sri Wintala Achmad, 2013: 203).

Karena istana Mataram telah dikuasai oleh para pemberontak, Sunan Amangkurat Agung dan putra mahkota yang waktu itu berada di Banyumas untuk sebuah kunjungan kenegaraan akhirnya memutuskan untuk melarikan diri menuju Batavia. Dalam perjalanan sang raja sakit dan akhirnya meninggal  dunia dan dimakamkan di Desa Pesarean, Adiwerna, Tegal. Sang putra mahkota akhirnya melanjutkan perjalanan ke Batavia untuk meminta bantuan Kompeni Belanda (Hall, 1981: 348).

Meski menjadi raja yang sangat dzalim pada masa pemerintahannya, Sunan Amangkurat Agung merupakan orang yang sangat beruntung. Entah siapa yang memulai, generasi sekarang justeru menganggapnya sebagai seorang wali yang makamnya banyak diziarahi. Ia bahkan disayyidkan dengan nama Sayyid Abdurrahman Ba’abud. Dia juga dianggap sebagai penyusun Hizib Sulthon atau Asma’ Bungkeman, sebuah dzikir yang bila dibacakan maka meriam Belanda tidak akan bungkem, tidak bisa meledak.

Tentu menjadi pertanyaan, bagaimana bisa sang raja yang punya hubungan baik dengan Kompeni Belanda merasa perlu untuk membungkam meriam-meriam sekutunya? Bagaimana bisa sang raja tersebut disayyidkan sementara Sultan Agung Hanyakusuma, Panembahan Hanyakrawati dan Panembahan Senopati (ayah, kakek dan buyutnya) adalah orang Jawa asli? Wallahu a’lam bi al-shawab.

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini