R.M. Surtihadi (Staf Pengajar Prodi Pendidikan Musik, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Yogyakarta)
Tan Thiam Kwie alias Karnadji Kristanto boleh dikatakan sebagai Musisi tiga zaman, ia adalah sosok pemain biola keturunan Cina sekaligus guru musik pada masa kolonial Belanda, masa penjajahan Jepang dan masa kemerdekaan Republik Indonesia.
Tan Thiam Kwie dilahirkan di Yogyakarta pada 8 Juli 1913, anak kedua dari pasangan Tan Gwat Bing (1884–1949) dengan R. NGT. Tjoa Hok Nio. Tan Gwat Bing mempunyai dua anak, pertama Tan Bwee Ing Nio (Ny. Liem Gwan Hwat /Wonohadi) dan Tan Thiam Kwie. Jika ditelusuri dari nenek moyang Tan Thiam Kwie yang mendarat di pulau Jawa dari Tiongkok sekitar lebih 200 tahun lalu Tan Thiam Kwie adalah generasi kelima keturunan peranakan dari Cina (Kwartanada 2004: 41).
Profesi Orang Tua dan Silsilah Keluarga Tan Thiam Kwie
Disamping sebagai seorang pengusaha percetakan dan pedagang di Yogyakarta, Tan Gwat Bing juga aktif di beberapa organisasi lokal Cina termasuk organisasi olahraga. Ia juga sebagai pemerhati sastra, fotografi dan menguasai beberapa bahasa seperti: Cina, Arab, Belanda, Inggris, dan tentu saja bahasa Jawa dan bahasa Melayu. Tan Gwat Bing gemar menulis sajak dalam bahasa Melayu yang diterbitkan dalam sebuah buku sepanjang 99 halaman, ia juga pernah bekerja membantu ayah mertuanya bernama Tjoa Tjoe Koan di rumah percetakannya di Surakarta sebelum ia membuka usaha sejenis di Yogyakarta.
Didi Kwartanada, putra ke-empat Tan Thiam Kwie yang juga seorang sejarawan telah menelusuri akar sejarah silsilah keturunan keluarganya (2004). Silsilah mulai dengan beberapa informasi terperinci pada tempat asal keluarga di Cina. Berdasarkan silsilah keluarga tersebut, Tan Thiam Kwie dan keturunannya mempunyai nama keluarga Tan. Asal-usul keluarga ini dari Fujian, Cina: Provinsi Hok Kian/Fujian; Daerah administrasi Hok Tjioe/Fuzhou.
Merujuk pada silsilah Trah Secodiningratan yang dilacak kembali oleh Didi Kwartanada, maka Tan Thiam Kwie masih ada darah keturunan K.R.T. Secodiningrat alias Tan Jin Sing, warga keturunan Cina yang pernah bertugas sebagai Kapitan Cina di Kedu (1793-1803). Hal ini dapat ditrelusuri kembali mulai dari nama Tan Sik To dan MR. Liem Soen Ging tercantum dalam daftar penerima pensiun Keluarga Besar Secodiningrat, menunjukkan mereka terbilang dalam trah tersebut. Tan Sik To adalah bungsu dari enam bersaudara pasangan Tan ing Tjhiang (Surakarta) dengan istri dari Yogyakarta. Sedangkan sulungnya adalah Tan Bing Nio, yang menikah dengan suami bernama Tjoa Tjoe Koan.
Obsesi Keluarga yang Menjadi Kenyataan
Pada saat Tan Gwat Bing masih membantu kakaknya bernama Tan Bie Ie, membuka toko roti dan minuman di jalan Malioboro, mereka juga merangkap sebagai agen penjualan piringan hitam Eropa yang konsumennya sebagian besar adalah orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Ia sering mendengarkan musik dari piringan hitam yang ia putar untuk dicoba. Seringnya mendengarkan musik dari piringan hitam tersebut, timbul hasratnya dan bercita-cita kalau bayi yang dikandung istrinya kelak lahir laki-laki, maka ia akan membelikan sebuah biola untuk anak laki-lakinya itu.
Pada suatu ketika ada seorang Belanda yang bekerja di onderneming (perkebunan) melelang barang-barangnya karena orang Belanda itu akan pulang ke negerinya. Hal ini tentu saja membuat gembira Tan Gwat Bing untuk membeli biola kecil ukuran tiga perempat yang akan diberikan kepada anak laki-lakinya kelak. Sebuah biola kecil milik orang Belanda yang dibeli ayahnya itu dijadikan modal oleh Tan Thiam Kwie untuk belajar menggesek biola, dan kegemarannya pada musik ini dikembangan hingga ia belajar di MULO Kristen di Yogyakarta.
Jika ditelusuri dari leluhurnya sampai dengan Tan Gwat Bing ayahnya, maka tidak ada satupun keluarganya yang menjadi seniman namun, sejak masih belajar di Hollandsch-Chineesche School (H.C.S. atau Sekolah Dasar Tionghoa-Belanda), Tan Thiam Kwie sudah gemar bermain mandolin sejak usianya menginjak sepuluh tahun, namun berkat kegemarannya tersebut, ayahnya selalu memperhatikan bakat seni yang mengalir di dalam tubuh anaknya itu, apalagi pada saat ia masih dalam kandungan ibunya, Tan Gwat Bing pernah mengatakan apabila bayi yang lahir nanti laki-laki, akan diberi hadiah sebuah biola.
Biola adalah sebagian dari ‘tangan’ Tan Thiam Kwie, bahkan sejak umur 12 tahun ia sudah mengenal benda yang kemudian melambungkan namanya tersebut. Berawal dari belajar secara gratis kepada seorang guru biola lokal ketika ia belajar di H.C.S., sebelumnya ia pernah belajar secara otodidak instrumen mandolin (Kwartanada,: 2004).
Pendidkan Formal dan Non-Formal
Tan Thiam Kwie lebih dikenal dengan sebutan pak Tan atau dengan nama lain Karnadji Kristanto telah mengalami pendidikan Zaman Hindia Belanda, Hollandsch-Chineesche School (H.C.S.) – Sekolah Dasar lulus pada tahun 1928, Christelijke M.U.L.O. (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) (SMP), lulus tahun 1932, A.M.S. A–II (Algemeene Middelbare School afdeeling Westerse Klassiek atau Sekolah Menengah Atas bagian Sastra Barat Klasik) atau setingkat SMA lulus tahun 1939.
Di sekolahnya, Tan kecil memperoleh bimbingan untuk menekuni biola dari seorang gurunya bernama Tan King Djan, dari sepuluh muridnya hanya tinggal tiga murid yang masih tersisa termasuk Tan. Kemudian pendidikan biolanya ia teruskan hingga ke M.U.L.O. sampai sekolah tersebut bubar. Namun demikian, Tan kecil tidak patah semangat, ia ingin bakat yang dimilikinya terus tersalur sampai ia meneruskan studinya ke A.M.S. A–II. Di bangku Sekolah Lanjutan Atas ia lebih mudah mempelajari praktik bermain biola dari buku-buku mengenai cara menggesek biola yang ditulis dalam beberapa bahasa asing.
Pada tahun 1925 Tan telah menekuni berbagai teori tentang metode bermain biola, ia sangat rajin menyimpan dan merawat buku-buku berbagai teori-teori tentang bermain biola di rak-rak bukunya yang ia jadikan perpustakaan pribadi. Cita-citanya hingga sampai akhir hayatnya, ingin bisa menyumbangkan teori bermain biola untuk putra-putri Indonesia.
Belajar sendiri dirasakannya kurang puas, pada tahun 1929 ia mendapat kesempatan untuk belajar pada seorang berkebangsaan Philipina bernama Fransisco D. Bernardo dan kemudian ia memperdalam teknik bermain biolanya kepada seorang Maestro biola Attilio Genocchi yang berkebangsaan Italia. Kedua orang tersebut adalah anggota dari Orkes Societeit de Vereeniging Yogyakarta. Pada perkumpulan musik inilah Tan Thiam Kwie betemu dan berkenalan dengan pemain biola senior Soewandi.
Ketika Tan Thiam Kwie sudah bisa menguasai teknik permainan biola; Carl Gotsch, pimpinan Orkes Societeit menawari Tan Thiam Kwie bergabung bermain orkestra dengan musisi-musisi muda lainnya di Orkes Societeit. Setiap pertunjukan orkes tersebut menghasilkan kesuksesan dan hubungan Tan Thiam Kwie dengan Soewandi lebih semakin akrab. Tan Thiam Kwie banyak belajar dari Soewandi tentang pengalamannya bermain biola, ia sangat mengagumi bagaimana cara menggesek biola yang dilakukan Soewandi. Begitu menjiwai dan styl-nya hingga sekarang belum ada duanya, demikian komentar Tan Thiam Kwie.
Selain kemampuan menggesek biola dan memberikan pelajaran pada orang lain, Tan Thiam Kwie juga mengoleksi buku-buku asing tentang pelajaran praktek biola yang tersimpan rapi di rak bukunya. Melihat kemampuan musikal Tan Thiam Kwie, Carl Gotsch (musisi asal Austria yang bekerja sebagai dirigen Orkes Societeit de Vereeniging) amat terkesan pada Tan bahkan, ia merelakan sebuah biola miliknya diberikan kepada Tan. Pada usia 20 tahun, Tan Thiam Kwie sudah duduk bermain biola bersebelahan dengan pemain-pemain biola bangsa asing untuk memainkan repertoar-repertoar Klasik standard bersama Orkes Soceiteit pimpinan Gotsch.
Tan Thiam Kwie Sebagai Pemain Biola Tiga Zaman
Tan Thiam Kwie mengalami tiga periodisasi sejarah kehidupan musikal, pertama: masa Hindia Belanda, kedua: masa pendudukan Jepang, dan ketiga: masa kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada masa Hindia Belanda, ia telah bermain minimal empat kali konser bersama Orkes Societeit de Vereeniging di bawah dirigen terkemuka saat itu Carl Gotsch (Austria) sekitar tahun 1930-an, masa pendudukan Jepang, ia sering bermain dengan Orkes Stasiun Radio Hôsô Kyoku dan Orkes Radio Yogyakarta (O.R.Y.) sekitar tahun 1943-‘45, masa kemerdekaan R.I., bermain dengan Orkes Simphoni gabungan antar RRI seluruh Indonesia dan berperan sebagai salah satu Concert Master di bawah pimpinan Wheeler Beckett dari Amerika Serikat pada 1961 (Kwartanada 1995: 1).
Sepanjang tahun 1943–1945 (zaman pendudukan Jepang), Tan Thiam Kwie ikut aktif berperan dalam konser Orkes Radio Yogyakarta (Yogya Hôsô Kyoku), tahun 1946–1981 sebagai anggota tetap Orkes Radio Yogyakarta, dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa pertunjukan musik klasik yang didukung oleh Tan sebagai pemain biola.
Pengabdian Tan Thiam Kwie yang dilandasi kejujuran dan keihklasan akhirnya membuahkan hasil berupa penghargaan dan pengangkatan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari pemerintah Republik Indonesia selama mengabdi sebagai karyawan RRI Yogyakarta. Bersama dengan sejumlah wakil tenaga seniman dari 10 stasiun RRI di seluruh Indonesia diangkat menjadi PNS. Upacara pelantikan dan penyerahan SK PNS dilakukan di Bangsal Kepatihan Yogyakarta. Sebanyak 455 tenaga kesenian RRI se-Indonesia diangkat menjadi abdi negara oleh Menteri Penerangan Ali Murtopo pada 31 Oktober 1981. Dari RRI Yogyakarta sejumlah 73 orang termasuk Tan Thiam Kwie. Sebagai pemain biola handal pada masanya, nama Tan Thiam Kwie dapat disejajarkan dengan beberapa nama musisi besar saat itu, seperti: J. Offringa, F.J. Soewandi, dan Mas Sardi.
Tan Thiam Kwie meninggal pada 6 Juni 1992 dalam usia 79 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Kompleks Makan Seniman Giri Sapto, Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Selama masa hidupnya, selain berkiprah dalam dunia hiburan orkestra sebagai pemain biola, Tan Thiam Kwie juga dikenal sebagai seorang guru biola baik secara privat maupun sebagai guru di Akademi Musik Indonesia (AMI), Sekolah Musik Indonesia (SMIND) atau Sekolah Menengah Musik dan saat ini bernama Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 (SMKN 2 Yogyakarta). Para murid yang berhasil ia didik diantaranya: Ayke Agus, Luluk Purwanto (violinist wanita asli Jogja yang saat ini mendalami musik jazz di Belanda), Anton Piontek, Soedarmadi, dan masih banyak lagi murid-muridnya yang berkiprah sebagai guru musik maupun sebagai musisi di tanah air maupun di mancanegara.
Kepustakaan
Kwartanada, Didi (2004), “Tionghoa-Java: A Peranakan Family History From The Javanese Principalities”, Chinese Heritage Centre Bulletin, Journal of Chinese Overseas, The Singapore University Press, Singapore.
_____. (1995), “Riwayat Hidup Tan Thiam Kwie”, Yogyakarta.
Lohanda, Mona. (2002), Growing Pains The Chinese and The Dutch in Colonial Java, 1890 – 1942, Yayasan Cipta Loka, Jakarta.
Surtihadi, RM. (2008), Tan Thiam Kwie: Celah-celah Kehidupan Sang Maestro Pendidik Musik Tiga Zaman, Panta Rhei Books, Yogyakarta.