Beranda Publikasi Kolom Evaluasi Model Pengajaran Pancasila di Sekolah

Evaluasi Model Pengajaran Pancasila di Sekolah

490
0
Seklah Bogor Raya

Roy Martin Simamora (Dosen Filsafat Pendidikan PSP, ISI Yogyakarta)

Pendidikan terbaik adalah sarana bagi masyarakat untuk mengembangkan pemikiran rasional, tanggung jawab etis, dan kesadaran sosial. Pendidikan seharusnya tidak hanya mempersiapkan individu untuk bertahan hidup secara ekonomi, tetapi juga mengembangkan kapasitas mereka untuk menilai secara independen dan bekerja sama secara kolektif. Namun di Indonesia, seperti halnya di banyak negara, pendidikan telah ditugaskan dengan beban tambahan: transmisi falsafah hidup bangsa.

Sejak tahun-tahun awal sekolah, para siswa diajarkan bahwa Pancasila—lima prinsip dasar Republik Indonesia—adalah kompas moral yang harus mereka gunakan untuk menavigasi kehidupan. Pancasila disajikan sebagai kebenaran yang tak terbantahkan, sesuatu yang harus dihafalkan dan bukannya dipertanyakan, dihormati dan bukannya dianalisis. Namun, di sinilah letak kontradiksi pertama: pendidikan yang tidak mendorong penyelidikan tidak dapat berharap untuk menanamkan pemahaman sejati.

Mengajarkan Pancasila tanpa menumbuhkan refleksi kritis sama saja dengan menuntut kepatuhan, bukan kebijaksanaan. Ini bukan berarti bahwa nilai-nilai Pancasila tidak boleh diajarkan—justru sebaliknya, semua masyarakat berusaha, dengan satu atau lain cara, berupaya membentuk pandangan moral generasi muda mereka.

***

Pertanyaannya: apakah pengajaran semacam itu dilakukan dengan cara yang sejalan dengan prinsip-prinsip yang dianut?

Jika tujuannya adalah membentuk individu yang mewujudkan nilai-nilai Pancasila, maka metode yang digunakan harus konsisten dengan nilai-nilai tersebut. Namun, di sekolah-sekolah di Indonesia, kenyataan yang berbeda sering muncul. Ruang kelas masih menjadi ranah hafalan: kemampuan menghafal lebih dihargai daripada kemampuan bernalar.

Siswa dapat menyebutkan sila-sila Pancasila, namun jarang sekali didorong untuk mendalami maknanya. Mereka diinstruksikan untuk menghormati demokrasi, namun berada di lingkungan yang tak tepat: suara-suara mereka jarang didengar. Mereka diberitahu bahwa keadilan adalah nilai fundamental, namun banyak dari mereka yang menyaksikan secara langsung kesenjangan mendalam yang terjadi di antara sekolah, masyarakat, dan kelas sosial. 

Perhatikan sila kedua dari Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila ini menyiratkan komitmen terhadap martabat manusia, keadilan, dan perlakuan yang sama bagi semua individu. Namun, struktur pendidikan di Indonesia mengkhianati cita-cita ini. Kesenjangan yang sangat besar antara sekolah swasta yang didanai dengan baik dan lembaga-lembaga publik yang kekurangan sumber daya menunjukkan sejauh mana hak istimewa menentukan kesempatan.

***

Di daerah pedesaan, banyak sekolah yang tidak memiliki fasilitas dasar, sementara para elite di perkotaan menikmati institusi yang dilengkapi dengan teknologi modern, guru-guru terlatih, dan perpustakaan yang luas. Jika pendidikan ingin menjadi sarana keadilan, maka distribusinya harus mencerminkan keadilan tersebut. Namun, selama kekayaan menentukan kualitas pembelajaran, janji masyarakat yang adil akan tetap menjadi ilusi. 

Kesenjangan ini meluas melampaui kondisi material hingga ke sifat dasar kehidupan sekolah. Terlepas dari retorika inklusi dan kasih sayang, sekolah-sekolah di Indonesia masih menjadi lingkungan ketika diskriminasi, pengucilan, dan bahkan kekerasan masih sering terjadi.

Perundungan masih menjadi masalah serius, yang terkadang secara diam-diam ditoleransi oleh para guru yang tidak melakukan intervensi. Disiplin yang kaku, yang sering kali ditegakkan melalui hukuman memalukan, bertentangan dengan prinsip “kemanusiaan yang beradab”.

Anak perempuan khususnya menghadapi ekspektasi gender yang membatasi aspirasi mereka, sementara siswa dari latar belakang yang terpinggirkan—baik karena etnisitas, disabilitas, atau status ekonomi—berjuang melawan bias institusional. Tidaklah cukup hanya dengan menyatakan superioritas moral Pancasila; kita harus bertanya apakah pengalaman sehari-hari para siswa selaras dengan cita-cita yang dituntut untuk mereka ucapkan. 

Bahkan prinsip keempat, yang menekankan demokrasi melalui musyawarah, tidak banyak tercermin dalam struktur pendidikan. Dalam lingkungan belajar yang benar-benar demokratis, siswa akan didorong terlibat dalam diskusi, mempertanyakan otoritas, dan berpartisipasi dalam keputusan yang mempengaruhi mereka.

Namun, model sekolah yang berlaku di Indonesia masih tetap menggunakan hierarki kaku. Guru adalah figur yang memiliki otoritas yang tidak perlu dipertanyakan lagi, dan siswa diharapkan menyerap pengetahuan secara pasif. Hanya ada sedikit ruang untuk berdebat, hanya sedikit dorongan untuk keingintahuan intelektual.

***

Jika tujuan pendidikan adalah untuk membina warga negara yang akan berkontribusi secara bijaksana dalam kehidupan demokratis, maka sekolah harus menjadi tempat praktik demokratis. Tidak masuk akal mengharapkan generasi muda mengembangkan kebiasaan bermusyawarah ketika tahun-tahun pembentukan mereka dihabiskan di bawah sistem yang menuntut kepatuhan dan bukan dialog. 

Mungkin bahaya terbesar dari kontradiksi ini adalah erosi ketulusan dalam kehidupan bermasyarakat. Ketika para siswa diajari untuk memuja seperangkat cita-cita yang bertentangan dengan kenyataan hidup mereka, mereka tidak belajar kepercayaan tetapi sinisme.

Mereka menyadari, sering kali secara tidak sadar, bahwa ada ketidaksesuaian antara apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan. Mereka diajari bahwa korupsi itu salah, namun menyaksikan kehadirannya di lembaga pendidikan.

Mereka diberitahu bahwa kesuksesan didasarkan pada prestasi, namun melihat bagaimana nepotisme dan hak istimewa mendikte kesempatan.

***

Pengalaman seperti itu tidak melahirkan keyakinan moral, tetapi kepasrahan—sebuah penerimaan bahwa cita-cita hanya ada dalam teori, sementara dunia beroperasi dengan prinsip-prinsip yang sama sekali berbeda.

Dengan demikian, pendidikan tidak hanya gagal dalam misinya dalam memberikan pengetahuan, tetapi juga gagal dalam tanggung jawab yang lebih besar untuk menanamkan integritas. 

Belajar menjadi orang Indonesia seharusnya lebih dari sekadar menghafal lima sila, tetapi juga menghidupinya. Sekolah seharusnya tidak hanya menjadi alat reproduksi doktrin belaka, tetapi menjadi laboratorium keadilan, kesetaraan, dan kebebasan. Hal ini membutuhkan lebih dari sekadar reformasi dangkal, tetapi juga membutuhkan pemikiran ulang yang mendasar tentang bagaimana pendidikan disusun.

Hal ini membutuhkan, pertama dan terutama, pengabaian metode pengajaran otoriter dan beralih ke pedagogi kritis. Dengan demikian membutuhkan pergeseran dari hafalan menjadi keterlibatan aktif: para siswa didorong untuk menganalisis, mempertanyakan, dan berkontribusi. Di atas semua itu, hal ini menuntut komitmen terhadap kesetaraan, memastikan bahwa tidak ada potensi anak yang ditentukan oleh kecelakaan kelahiran. 

Transformasi seperti itu tidak akan terjadi tanpa perlawanan. Mereka yang diuntungkan oleh status quo akan berargumen bahwa hierarki diperlukan untuk disiplin, bahwa pelestarian identitas nasional membutuhkan tangan yang kuat, bahwa terlalu banyak pertanyaan akan menyebabkan kekacauan.

Namun sejarah telah menunjukkan bahwa masyarakat tidak berkembang hanya dengan konformitas; mereka berkembang dengan kapasitas warganya untuk berpikir sendiri. Ujian sebenarnya dari kekuatan nasional bukanlah seberapa patuh rakyatnya mengikuti doktrin-doktrin yang telah ditetapkan, tetapi seberapa dalam mereka memahami, menginternalisasi, dan menerapkan nilai-nilai yang menjadi dasar negara mereka. 

***

Indonesia berada di persimpangan jalan dalam perkembangan pendidikannya. Indonesia dapat melanjutkan jalurnya saat ini, dengan memperkuat sistem yang memprioritaskan otoritas di atas agensi, keseragaman di atas pemahaman.

Atau, Indonesia dapat memilih jalan yang sejalan dengan cita-cita yang dianutnya, yaitu jalan ketika pendidikan menjadi sarana pemberdayaan, bukan kontrol. Pilihan ini bukan sekadar pilihan akademis; ini adalah pilihan yang akan membentuk karakter bangsa di masa depan.

Jika Pancasila ingin lebih dari sekadar slogan tanpa makna, jika ia ingin menjadi landasan bagi Indonesia yang adil dan demokratis, maka Pancasila harus berakar di tempat di mana setiap perubahan bermakna bermula: dalam pikiran dan hati generasi muda.

Dan agar hal itu terjadi, pendidikan harus melakukan lebih dari sekadar mengajar—ia harus menginspirasi. Pendidikan tidak hanya harus mengembangkan pengetahuan, tetapi juga hati nurani. Pendidikan harus menanamkan bukan hanya patriotisme, tetapi juga keberanian moral untuk mempertanyakan, menantang, dan memperbaiki.

Hanya dengan demikian, Pancasila tidak lagi menjadi doktrin yang dibacakan di ruang kelas, tetapi menjadi kenyataan hidup masyarakat yang tercerahkan dan berkeadilan. [NI]

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini