Janet Aldora Lada dan Betty Veronika Mau (Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Agama, UKSW, Salatiga)
Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman, baik dari segi budaya, suku, maupun agama. Dalam masyarakat yang multikultural seperti Indonesia, toleransi beragama menjadi pilar utama dalam menjaga persatuan dan kesatuan.
Konsep toleransi tidak hanya berarti menerima keberadaan agama lain, tetapi juga menghargai dan memahami perbedaan tersebut tanpa upaya untuk mendominasi atau mengalahkan pihak lain.
Dalam masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai latar belakang agama, membangun kehidupan bersama yang harmonis hanya dapat terwujud jika terdapat sikap saling menghargai dan membuka ruang dialog yang konstruktif.
Sebagai salah satu kota yang memiliki tingkat keberagaman yang tinggi, Salatiga menjadi contoh nyata bagaimana prinsip toleransi harus dikembangkan dan dijaga. Kota ini dihuni oleh masyarakat dari berbagai etnis dan agama yang hidup berdampingan secara harmonis.
Dengan penduduk mayoritas beragama Islam, Salatiga juga memiliki komunitas Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, serta kelompok penghayat kepercayaan. Untuk memastikan keberagaman ini tetap menjadi kekuatan dan bukan pemicu konflik, diperlukan upaya yang aktif dalam membangun jembatan dialog serta menciptakan ruang inklusif bagi seluruh elemen masyarakat.
Peran dan Kontribusi BKGS
Dalam menjaga keharmonisan dan toleransi antarumat beragama di Salatiga, Badan Kerjasama Gereja-Gereja Salatiga (BKGS) memainkan peran penting. BKGS tidak hanya menjadi wadah komunikasi bagi gereja-gereja di Salatiga, tetapi juga berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan berbagai komunitas agama melalui dialog, kegiatan sosial, serta program kemanusiaan yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Melalui inisiatif dan aksi nyatanya, BKGS berupaya menciptakan kehidupan sosial yang damai, toleran, dan inklusif di Salatiga.
BKGS didirikan pada 9 Desember 1974 sebagai wadah komunikasi dan koordinasi antar gereja di Salatiga. Awalnya, BKGS hanya terdiri dari enam gereja anggota, tetapi seiring waktu, jumlahnya terus bertambah. Saat ini, BKGS telah berkembang menjadi organisasi yang menaungi hampir 100 gereja dari berbagai denominasi. Peran BKGS tidak hanya terbatas pada komunikasi internal gereja, tetapi juga meluas ke upaya membangun hubungan yang harmonis dengan masyarakat dari berbagai latar belakang agama.
Dari hasil wawancara dengan bapak Purwanto, salah satu tokoh di BKGS, ditemukan bahwa salah satu kontribusi utama BKGS adalah dalam membangun jaringan perdamaian melalui program sosial dan kemanusiaan.
BKGS telah terlibat dalam berbagai aksi solidaritas, seperti pengiriman bantuan untuk korban bencana alam, distribusi air bersih bagi warga yang mengalami kekeringan, serta penyediaan tenaga pengajar agama Kristen dan Katolik di sekolah-sekolah negeri yang kekurangan guru agama. Selain itu, BKGS juga aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial seperti bakti sosial, pengobatan gratis, dan pasar murah yang melibatkan berbagai komunitas lintas agama.
Sinergi dan Kolaborasi
BKGS memahami bahwa membangun perdamaian tidak bisa dilakukan sendirian. Oleh karena itu, BKGS menjalin kemitraan dengan berbagai lembaga, baik dari kalangan pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil. Kerja sama dengan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Nahdlatul Ulama (NU), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), serta aparat keamanan seperti TNI dan Polri menjadi bagian dari strategi BKGS dalam menjaga keharmonisan sosial.
Selain itu, BKGS juga berperan dalam upaya meredam potensi konflik sosial. Dalam situasi politik yang rentan menimbulkan perpecahan, BKGS kerap menginisiasi dialog lintas agama untuk membahas isu-isu sosial yang dapat berdampak pada kehidupan masyarakat. Salah satu contoh nyata adalah keterlibatan BKGS dalam sosialisasi pemilu damai, di mana mereka mengundang pemuka agama untuk menyampaikan pesan persatuan di tengah perbedaan politik.
Pendekatan yang diterapkan BKGS juga dapat dianalisis melalui teori Multi-Track Diplomacy yang dikembangkan oleh Louise Diamond dan John McDonald. Teori ini menekankan bahwa perdamaian tidak hanya bisa dicapai melalui jalur diplomasi formal (pemerintah), tetapi juga memerlukan keterlibatan berbagai aktor, termasuk organisasi keagamaan, akademisi, media, dan masyarakat sipil.
BKGS telah menerapkan prinsip ini dengan membangun sinergi antara gereja, komunitas lintas agama, organisasi masyarakat, serta pemerintah daerah dalam menciptakan lingkungan yang damai dan inklusif.
Kekuatan Dialog: Jembatan Menuju Pemahaman
Salah satu pilar utama dari upaya BKGS dalam membangun harmoni sosial adalah melalui dialog rutin lintas agama. Dialog ini bertujuan untuk membangun saling pengertian antara komunitas yang berbeda agama, menciptakan ruang aman bagi semua pihak untuk menyampaikan pandangan mereka, serta mengembangkan kerja sama dalam proyek sosial.
Pendekatan yang diterapkan BKGS selaras dengan teori yang dikembangkan oleh Lisa Schirch mengenai pembangunan perdamaian. Schirch mengemukakan bahwa proses perdamaian yang efektif memerlukan empat elemen utama: (1) Wawasan dan analisis konflik yang mendalam, (2) Pendekatan yang berbasis hubungan sosial, (3) Keterlibatan berbagai aktor dalam pembangunan perdamaian, dan (4) Kegiatan yang berorientasi pada aksi nyata.
BKGS telah menerapkan prinsip-prinsip ini melalui dialog lintas agama yang tidak hanya membahas isu-isu sosial tetapi juga membangun rasa saling percaya dan pemahaman yang lebih baik di antara komunitas yang berbeda agama.
Inisiatif ini didukung oleh berbagai kegiatan lain yang memperkuat persaudaraan antarumat beragama. Misalnya, BKGS turut serta dalam menjaga keamanan perayaan Idul Fitri dan Imlek, serta berpartisipasi dalam pawai Barongsai saat perayaan Tahun Baru Imlek. Selain itu, perayaan Natal dan Paskah yang diselenggarakan BKGS di Lapangan Pancasila selalu mendapatkan dukungan dari berbagai komunitas agama lain, termasuk Banser NU yang turut menjaga keamanan acara tersebut.
Kesimpulan
Peran BKGS dalam menjaga toleransi dan membangun kehidupan yang harmonis di Salatiga merupakan contoh nyata bagaimana dialog dan aksi nyata dapat menjadi kunci dalam menciptakan masyarakat yang inklusif. Melalui program sosial, kemanusiaan, serta inisiatif dialog lintas agama, BKGS tidak hanya menjadi penghubung antar gereja tetapi juga menjadi mediator dalam menjaga kedamaian di kota ini.
Dengan terus memperkuat kerja sama lintas agama dan komunitas, BKGS menunjukkan bahwa keberagaman bukanlah halangan, melainkan kekuatan yang dapat membawa masyarakat menuju kehidupan yang lebih harmonis.
Upaya ini sejalan dengan visi BKGS untuk menghadirkan “shalom di Bumi,” di mana setiap individu dapat hidup dalam kedamaian dan saling menghormati di tengah perbedaan yang ada. Melalui komitmen yang kuat dan keterlibatan aktif dalam kehidupan sosial, BKGS menjadi teladan bagaimana komunitas beragama dapat berperan sebagai agen perdamaian yang memperkuat ikatan sosial serta membangun masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis. [NI]