Sony Kristiantoro (Pendeta dan dosen di Fakultas Teologi UKSW, Salatiga)
Di tulisan ini saya mencoba untuk merefleksikan tentang konflik dan kekerasan, yang selama ini dipakai secara bergantian dan dipahami dengan makna yang hampir mirip, serta beberapa contoh tentang pembangunan perdamaian.
Dalam kamus Cambridge, konflik didefinisikan sebagai ketidaksepakatan aktif antara orang-orang dengan pendapat atau prinsip yang berlawanan. Tentu saja ketidaksepakatan atau perbedaan pendapat atau prinsip semacam ini merupakan sebuah hal yang biasa dalam kehidupan manusia, dan sudah menjadi keniscayaan dalam komunitas manusia.
Di dalam konflik ini, ada bahaya sekaligus peluang. Ketika konflik tidak bisa diatasi, maka akan muncul bahaya berupa kekerasan dan perang. Kekerasan adalah suatu tindakan penggunaan kekuatan fisik atau kekuasaan secara sengaja yang menyebabkan, atau dimaksudkan untuk menyebabkan kerugian bagi orang lain atau pihak lain. Namun, ketika konflik bisa diatasi atau diselesaikan, maka di sini ada peluang untuk terbangunnya perdamaian.
Ekspresi Kekerasan di Kitab Keagamaan
Ketika masih duduk di bangku SD, saya paling senang membaca cerita Kitab Suci yang berkaitan dengan perang. Cerita atau kisah tentang bangsa Israel dalam Kitab Keluaran yang bebas dari perbudakan bangsa Mesir, dan kemudian terlibat dalam berbagai perang dengan bangsa lain dalam upaya menuju ke “Tanah Perjanjian.” Juga pada zaman Raja-Raja yang banyak dipenuhi dengan perang antara bangsa Israel dengan bangsa-bangsa lain yang dianggap sebagai musuh, adalah cerita yang begitu menarik pikiran kecil saya.
Saya hampir tidak pernah menggagas ayat yang menegaskan tentang Allah sebagai Pahlawan Perang bagi Israel, yang kadang kala diyakini sebagai sosok yang meminta Israel untuk membunuh atau membasmi semua yang hidup dan bernafas di wilayah yang dikalahkannya. Tidak terbayangkan di dalam pikiran sederhana saya waktu itu tentang dampak yang sangat buruk dari akibat perang semacam itu.
Allah yang tampak begitu “kejam” dalam Perjanjian Lama (PL) ini, membuat seorang tokoh dalam Sejarah Gereja pada abad-abad awal bernama Marcion mengajarkan bahwa Allah PL yang menciptakan dunia (dan ikut perang semacam ini, tambahan saya) adalah Allah yang berbeda dengan Allah Perjanjian Baru (PB). Allah PL dianggap “lebih rendah” [kualitas, derajat] daripada Allah PB Sang Penyelamat, yang dibawa dan diperkenalkan oleh Yesus.
Sungguh mengagetkan juga bahwa di Al-Quran sangat sedikit berbicara tentang peperangan, yakni sekitar seratusan atau kurang dari dua persen dari lebih dari 6000 ayat. Bahkan ada ayat yang melarang pemenang perang untuk membunuh atau memusnahkan mereka yang menyerah atau kalah perang. Hal ini kurang dimengerti oleh non-muslim yang sering menganggap Islam identik dengan kekerasan dan pedang.
Ekspresi Kekerasan di Pewayangan
Saya juga adalah penggemar wayang kulit, yang induk (babon) ceritanya berasal dari kisah Ramayana (yang lebih tua kisahnya) dan Mahabharata (yang lebih muda). Saya menyukai adegan perang, di antaranya adalah antara para ksatria (seperti Arjuna) yang melawan dan membasmi para raksasa (buta) yang jahat, yang mengganggu perjalananannya untuk menegakkan kebaikan. Perang semacam ini disebut “perang kembang”, yang selalu berakhir dengan kematian raksasa bernama Buta Cakil dan teman-temannya.
Adegan ini adalah cerita “karangan” yang merupakan kreasi dari para dalang yang tidak ada dalam cerita babonan. Cerita dan adegan tentang perang menjadi tontonan yang ditunggu anak-anak, yang biasanya akan meninggalkan adegan “jejer”, yaitu adegan yang mengisahkan situasi “rapat” di sebuah kerajaan, yang mungkin dirasa berat karena faktor bahasa yang sangat halus (krama inggil), yang kadang diselingi dengan bahasa Sansekerta atau Kawi.
Mengapa anak-anak menyukai cerita perang dan menggandrungi adegan kekerasan dalam penyelesaian konflik? Apakah karena anak-anak menyukai sosok-sosok hero (superhero) yang menumpas kejahatan? Lalu, apakah kekerasan dan perang, seperti Perang Bharatayudha, merupakan langkah terakhir yang harus ditempuh, karena apa yang dilakukan oleh orang jahat dan lalim dianggap sudah melampaui batas?
Dalam Perang Bharatayudha, memang digambarkan bahwa batas-batas itu sudah diabaikan oleh pihak Kurawa, pihak yang dianggap jahat dan lalim. Upaya terakhir Pandawa dengan mengirimkan Prabu Kresna sebagai utusan resmi untuk meminta pengembalian negara Hastinapura dari tangan Kurawa, meskipun tawaran sudah diturunkan menjadi setengah pun akan diterima, ternyata juga tidak diterima.
Bahkan Prabu Kresna sebagai duta malah mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari Kurawa, dan itu dianggap sebagai sebuah penghinaan dan tantangan bagi Pandawa. Karena itu, perang dan kekerasan kemudian dibenarkan karena adanya batas-batas yang sudah dilanggar, atau ada “emergency rationale” yang harus segera disikapi, ketika “semua jalan” sudah ditempuh.
Teori Agresi dan Kekerasan
Saya mencoba mencari mengapa anak-anak (dan manusia pada umumnya), menyukai dan sering mempraktikkan perilaku agresi dan kekerasan.
Eric Fromm, dalam buku Akar Kekerasan yang sangat tebal, mengutip dua teori yang selama ini dianggap bisa mewakili pandangan tentang sifat dan penyebab agresi. Agresi dan kekerasan memang memiliki kaitan yang erat, meskipun keduanya memiliki nuansa makna yang sedikit berbeda.
Agresi biasanya merujuk pada tindakan atau perilaku yang menunjukkan niat atau keinginan untuk menyerang atau mendominasi, baik secara fisik, verbal, atau psikologis. Agresi bisa muncul dalam bentuk ancaman, perilaku yang menakut-nakuti, atau bahkan serangan fisik. Agresi bisa bersifat verbal, seperti menghina atau memprovokasi orang lain, atau fisik, seperti menyerang seseorang.
Sedangkan kekerasan, bisa disebut sebagai bentuk ekstrem dari agresi yang melibatkan penggunaan fisik untuk menyebabkan cedera atau kerusakan. Kekerasan sering kali mencakup tindakan seperti memukul, menendang, atau menggunakan senjata, yang dapat menimbulkan dampak fisik pada korban. Jadi, agresi bisa dianggap sebagai bentuk atau sikap yang mendahului kekerasan.
Pandangan pertama diwakili oleh Konrad Lorenz, penulis buku On Agression, seorang pengamat perilaku hewan. Menurut Lorenz, sifat dan penyebab agresi adalah insting bawaan yang bersifat hewani. Sangat menarik bahwa menurut Lorenz, di dalam diri manusia ternyata ada “fitrah hewani.” Fitrah ini membuat manusia menjadi ganas, merusak, memiliki nafsu membunuh, dan sebagainya.
Ketika saya kaitkan dengan teori Psikoanalisis dari Sigmund Freud, insting bawaan semacam ini biasa disebut dengan “id”, yaitu dorongan liar atau primitif yang meminta “ego” untuk memuaskah keinginannya, namun yang kemudian dikontrol oleh “superego”, yang berupa aturan-aturan moral-etis, yang bisa didapatkan dari agama, budaya, dan sebagainya.
Sedangkan pandangan kedua diwakili oleh B.F. Skinner dengan teori behavioristik, yang berfokus pada cara manusia berperilaku dan pada kondisi sosial yang membentuk perilakunya. Perilaku manusia terjadi karena dituntut oleh kepentingan diri yang tunduk pada pemberian reward atau imbalan oleh lingkungan terhadap individu karena bertindak sesuai yang diharapkan. Manusia dapat merancang-bangun perdamaian dan hidup yang lebih baik.
Fromm sendiri menjawab: tidak adakah pilihan lain?
Ada jalan ketiga, yang disebutnya dengan “agresi lunak” yang bersifat defensif untuk mempertahankan hidup, dan “agresi jahat”, yaitu kekejaman yang merupakan ciri khas spesies manusia, yang bisa dilakukan kapan saja, dan dengan alasan apapun, bahkan tanpa alasan.
Untuk mengatasi agresi ini, khususnya agresi jahat, maka tanggung jawab sosial memegang fungsi yang sangat penting di sini. Karena itu, pembangunan perdamaian adalah upaya untuk menjadikan manusia mampu mengendalikan diri dari agresi jahat, dan membangun perdamaian sebagai bentuk tanggung jawab sosial.
Penutup
Ada banyak wawasan baru dari berbagai ahli yang bisa menginspirasi saya sebagai aktor perdamaian, dalam tugas dan tanggungjawab saya, baik itu di kampus, di gereja, maupun di tengah-tengah masyarakat. Paling tidak melalui pendidikan yang benar kepada mereka yang masih berusia belia di gereja, maupun para mahasiswa di kampus, agar mereka lebih memahami tentang konflik dan kekerasan, dan bagaimana bisa menjadi sosok yang membawa dan membangun perdamaian di mana pun.
Referensi:
Al Qurtuby, Sumanto. “Ambonese Muslim Jihadists, Islamic Identity, and the History of Christian–Muslim Rivalry in the Moluccas, Eastern Indonesia,” International Journal of Asian Studies 12 (1), 2015, pp. 1-29.
Fromm, Erich. Akar Kekerasan: Analisis Sosio-psikologis atas Watak Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001 cet. II.
Juergensmeyer, Mark and Margo Kitts. Princeton Readings in Religion and Violence_Religious Texts of Violence. New Jersey: Princeton University Press, 2011.