Rani Sephania Kristina Peni, Martha Rut Lipikuni, dan Priscila Andini Ratubanju (Mahasiswa Pascasarjana UKSW, Salatiga)
Agama memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan sosial karena tidak hanya berfungsi sebagai sistem kepercayaan, tetapi juga sebagai kekuatan yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Sebagai bagian dari struktur sosial, agama berinteraksi dengan berbagai unit sosial lainnya seperti: keluarga, komunitas, institusi,dan ekonomi, yang secara bersama-sama membentuk tatanan sosial dalam masyarakat.
Dalam banyak kasus, agama berkontribusi dalam proses rekonsiliasi, membangun solidaritas sosial, serta meredam ketegangan di tengah masyarakat yang mengalami konflik. Oleh karena itu, agama seringkali menjadi instrumen yang efektif dalam berbagai upaya pembangunan perdamaian, baik dalam konteks lokal, nasional, maupun global.
Agama, dalam praktiknya dapat diwujudkan melalui berbagai bentuk seperti gerakan sosial yang berbasis agama yang memperjuangkan hak asasi manusia, lingkungan, serta kebijakan pembangunan yang berkelanjutan.
Oleh karena itu pendekatan pembangunan perdamaian harus berhati-hati dan strategis agar potensi positif agama dalam menciptakan keadilan dan solidaritas dapat dimaksimalkan dengan baik.
Dalam pembangunan perdamaian, sering kali menghadirkan dilema bagi masyarakat lokal terutama ketika proyek-proyek berskala besar seperti industri pertambangan berhadapan dengan kepentingan ekonomi, ekologis, dan keberlanjutan sosial.
Konflik antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan menjadi isu utama dalam berbagai daerah, termasuk di Desa Sejati, Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri. Desa ini menghadapi tantangan besar ketika rencana pendirian tambang semen yang mendapat intervensi dari pemerintah.
Akibat dari proyek ini menimbulkan konflik antara pro dan kontra di tengah masyarakat, dimana sebagian kecil masyarakat mendukung dengan harapan adanya peningkatan ekonomi, sementara sebagian besar masyarakat menolaknya karena ancaman terhadap lingkungan, sumber daya air, dan keberlangsungan hidup masyarakat desa dalam jangka panjang.
Yayasan Kristen Trukajaya
Dalam contoh kasus ini, Yayasan Kristen Trukajaya (YKT) hadir sebagai perpanjangan tangan dari Sinode GKJ (Gereja Kristen Jawa) mewujudkan kasih kepada sesama sekaligus menjadi mediator yang menginisiasi pendampingan pasca-konflik untuk memperkuat posisi masyarakat dalam mempertahankan program-program yang mendorong kolaborasi serta pemberdayaan masyarakat.
Yayasan ini memiliki visi untuk membangun pemerintahan kota dan desa yang mandiri, terkelola dengan baik, dan berbudaya dalam menghargai kearifan masyarakat setempat, serta lingkungan di mana anggota masyarakat dapat saling mendukung dan bekerja sama.
YKT didirikan pada tahun 1966 dengan tujuan awal untuk membantu keluarga-keluarga Kristen yang terlibat dalam program transmigrasi. Pada masa Orde Baru yang diwarnai oleh krisis ekonomi dan keterbatasan lapangan pekerjaan di pedesaan, banyak warga, termasuk jemaat gereja, yang memilih untuk bertransmigrasi secara spontan.
Fenomena ini menarik perhatian Klasis Surakarta Barat. Dalam Sidang Raya Sinode Gereja-Gereja Kristen Djawa IX tahun 1964, Klasis mengusulkan pembentukan badan yang dapat membantu proses transmigrasi bagi keluarga Kristen.
Hasilnya, pada tahun 1965, dibentuklah Yayasan Kristen Trukajaya, yang secara resmi berdiri pada 6 Mei 1966. Nama “Trukajaya” berasal dari bahasa Jawa, yang merupakan gabungan dari kata “teruko” dan “joyo”, yang berarti sebuah perjalanan panjang menuju kehidupan baru, dengan harapan akan tercapai kesuksesan di masa depan.
Sejak awal, yayasan ini memiliki misi untuk mendukung keluarga-keluarga yang menjalani transmigrasi, membantu mereka dalam penyesuaian dan pemberdayaan di tempat yang baru. Menurut salah satu staf YKT yang kami wawancarai, perjalanan YKT penuh tantangan dengan berbagai hambatan dan perjuangan yang terus berlangsung. Menghadapi banyaknya kesulitan, YKT terus melangkah dengan harapan sebagai kekuatan pendorong. Harapan ini bukan hanya memberi semangat, tetapi juga menjadi sumber energi dalam menghadapi tantangan yang ada.
Proses ini mencerminkan dinamika yang tak mudah, tetapi tetap ada keyakinan bahwa bantuan dan pertolongan akan datang, memberikan energi untuk melangkah lebih jauh dalam menghadapi masalah, sambil tetap berharap pada Tuhan untuk penerangan di setiap proses. Hal ini dilakukan melalui pendampingan pasca konflik bagi masyarakat Giriwoyo, Desa Sejati.
Menurut staf YKT, konflik eksploitasi lahan pertanian di Wonogiri pada 2013 memicu penolakan warga melalui Paguyuban Ojo Kuatir, dibantu LPH YAPHI dalam advokasi. Meski mendapat tekanan, warga terus berjuang menolak pabrik semen demi kelestarian lingkungan. YKT kemudian mendampingi masyarakat di Desa Sejati dengan memberdayakan mereka melalui usaha komunitas, pertanian berkelanjutan, dan pelestarian lingkungan untuk mewujudkan desa yang mandiri dan lestari.
YKT juga melaksanakan tiga program utama dengan fokus di tiga daerah pendampingan, yaitu Bantul (Yogyakarta), Giriwoyo (Wonogiri), dan Tentena (Poso). Tiga program utama tersebut adalah, pertama, Kerk in Actie, yang bertujuan untuk mendorong kemandirian pangan dan meningkatkan ekonomi masyarakat. Kedua, pendampingan wirausaha, yang dirancang untuk memberikan pendidikan dan pengetahuan guna mendukung pengembangan usaha masyarakat. Ketiga, Training Center Puspapari, yang bertujuan menyediakan pembelajaran tentang konsep pertanian terpadu secara menyeluruh dan berkesinambungan.
Untuk Wonogiri, YKT melakukan pendampingan “petani milenial,” yakni Kelompok Tani Milenial “Taruna Krida,” sebuah perkumpulan para petani muda di Desa Sejati, Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri. Nama Taruna Krida diambil dari dua kata, yaitu taruna yang berarti muda dan krida yang berarti tindakan berbuat tanpa pamrih. Nilai-nilai ini merepresentasikan semangat kepeloporan dalam membawa transformasi pertanian menuju keberlanjutan dan kemandirian ekonomi, khususnya bagi generasi milenial.
Pendekatan Strategic Piecebuilding
Konflik yang dipicu oleh eksploitasi lahan pertanian tanpa mempertimbangkan keberlanjutan sumber daya menunjukkan adanya kekerasan struktural yang merugikan masyarakat lokal. Trukajaya merespons dengan pendekatan berbasis komunitas untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat dan mencari solusi ekonomi berkelanjutan.
Pendekatan Trukajaya mencerminkan empat prinsip utama strategic peacebuilding yang diperkenalkan oleh Lisa Schirch, ahli studi perdamaian dari Amerika Serikat. Pertama, kolaborasi dan integrasi, yakni bekerja sama dengan komunitas lokal, lembaga advokasi, dan pemerintah untuk memperkuat posisi masyarakat dalam menghadapi eksploitasi lahan. Kedua, pemberdayaan ekonomi melalui program seperti pertanian organik dan pelatihan ekologi tanah untuk menciptakan sumber penghidupan berkelanjutan. Ketiga, pelestarian lingkungan dengan rehabilitasi lahan kritis dan pertanian berkelanjutan untuk mencegah konflik ekologis di masa depan. Keempat, transformasi sosial dengan membangun identitas kolektif melalui kelompok tani muda untuk mendorong pola pikir dan praktik pertanian yang lebih modern dan ramah lingkungan.
Studi ini menegaskan bahwa pembangunan perdamaian harus terencana, terkoordinasi, dan berkelanjutan. Perencanaan strategis, kerja sama berbagai pihak, serta solusi jangka panjang sangat penting untuk mencegah konflik berulang. Meski berhasil dalam beberapa aspek, tantangan tetap ada, seperti kebijakan pemerintah yang tidak konsisten, keterbatasan skala program, dan tekanan eksternal terhadap masyarakat.
Kesimpulan
YKT telah menunjukkan perannya sebagai penggerak dalam mendukung pemberdayaan masyarakat melalui penerapan nilai-nilai agama seperti kasih, keadilan, dan solidaritas. Dengan pendekatan berbasis komunitas, yayasan ini berupaya menjawab berbagai tantangan sosial, seperti kemiskinan, ketidaksetaraan gender, dan degradasi lingkungan.
Program Kelompok Tani Milenial Taruna Krida memberikan ruang bagi generasi muda untuk aktif dalam pembangunan sosial dan ekonomi, sambil tetap menjaga keberlanjutan lingkungan. Program pendampingan kepada kelompok tani ini tidak hanya membantu masyarakat meningkatkan kesejahteraan ekonomi tetapi juga menciptakan peluang bagi generasi muda untuk berkontribusi lebih besar dalam pembangunan sosial dan ekonomi. Dengan memanfaatkan sumber daya lokal secara mandiri, program-program ini turut mendukung keberlanjutan lingkungan dan ketahanan pangan.
Pendampingan yang dilakukan oleh YKT di Giriwoyo merupakan contoh nyata implementasi pendekatan strategic peacebuilding dari Lisa Schirch. Dengan pendekatan yang terintegrasi, kolaboratif, dan berorientasi jangka panjang, YKT tidak hanya membantu masyarakat dalam menghadapi konflik eksploitasi lahan, tetapi juga membangun sistem sosial dan ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Program-program yang mereka jalankan oleh YKT menunjukkan bahwa pembangunan perdamaian tidak hanya tentang mengatasi kekerasan langsung, tetapi juga menciptakan kondisi struktural yang mendukung kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Namun, untuk meningkatkan efektifitasnya, YKT perlu memperkuat dukungan kebijakan, memperluas cakupan program, dan memastikan bahwa masyarakat memiliki ketahanan sosial-politik yang lebih kuat untuk menghadapi tantangan di masa depan.
Dengan pendekatan yang lebih strategis dan berkelanjutan, upaya mereka dapat menjadi model bagi pembangunan perdamaian di berbagai daerah lain yang menghadapi permasalahan serupa. Melalui pendekatan yang inklusif dan mengakar pada kebutuhan masyarakat, YKT menunjukkan bahwa agama dapat menjadi kekuatan yang menggerakkan perubahan sosial. Nilai-nilai agama yang diterapkan dalam tindakan nyata mampu menciptakan integrasi sosial dan mendukung terwujudnya masyarakat yang lebih adil, harmonis, dan berkelanjutan. [NI]