Beranda Publikasi Kolom Dialog Iman: Pendekatan Akademis vis-a-vis Sensibilitas Religius

Dialog Iman: Pendekatan Akademis vis-a-vis Sensibilitas Religius

914
0

Gregorius Tulus Sudarto (Guru Agama Katolik di SMAN 2 Magelang dan Mahasiswa Program Doktor Sosiologi Agama, UKSW)

Dalam tiga bentuk dialog yang paling potensial bisa ditempuh untuk membangun pemahaman menyeluruh mengenai hidup berdampingan secara damai dan subur, yaitu dialog iman, dialog karya dan dialog kehidupan, tampaknya dialog iman sengaja dihindari untuk menjaga perasaan satu sama lain.

Sensibilitas religius ini tidak bisa sembarangan ditabrak, mengingat komunitas religius di Indonesia tidak serasional komunitas agama di Barat. Tipikal kultural Indonesia jauh lebih subur didekati dengan dua bentuk dialog yang lain, yaitu dialog karya dan dialog kehidupan.

Dialog karya terjadi ketika peristiwa insidental seperti bencana alam menimpa sekelompok teritori tertentu, umat dari berbagai agama dapat bersama-sama memberikan pertolongan yang relevan. Sementara dialog kehidupan merujuk pada jangka panjang berupa desain sengaja bagaimana hidup yang rukun dan damai bisa dipertahankan sekaligus diusahakan secara optimal.

Secara naif, anasir tentang dialog kehidupan hanya akan dialami secara utuh ketika perjumpaan personal dengan khasanah iman lain sampai pada taraf kontemplatif dan tidak sekedar intelektual-rasional.

Bahkan, pengetahuan menyeluruh tentang khasanah iman lain tidak serta merta menjamin kehendak baik (ikhtiar) untuk membangun koeksistensi yang subur antar-umat beragama. Bisa jadi, pengetahuan menyeluruh tersebut justru dipakai sebagai amunisi untuk membangun eksklusivisme dalam narasi besar politik identitas.

Apatisme ini bukan mustahil terjadi dalam satu dua aspek yang sudah diduga sebelumnya, selevel dengan rasa cemas yang bergerak di belakang kepala mengerucut sebagai residu sosial. Beban historislah yang dipandang menjadi kesulitan terbesar dalam perjumpaan antar-umat Kristen dan Muslim.

Dalam amatan saya, sosiologi jauh lebih kuat sebagai problem sosial daripada teologi. Contoh kecil, Kardinal Ignatius Suharyo selaku pimpinan tertinggi Gereja Katolik Indonesia senantiasa mewanti-wanti para imam di seluruh paroki untuk mengarahkan semua umat pergi ke gereja dengan naik angkot atau sepeda motor.

Tampilan mobil-mobil mewah yang terpaksa parkir di sekitar rumah-rumah penduduk kanan-kiri gereja merupakan kejahatan terbesar yang menodai kehendak baik untuk andhap asor atau merunduk sejajar dengan kelompok agama lain untuk membangun hidup bersama secara subur.

Dalam cara yang kurang lebih sama, semakin banyaknya mobil-mobil mewah yang parkir ketika “Jumatan” (salat Jumat) menandai gerak sosial tertentu sebagai counter terhadap pemandangan harian dari komunitas Katolik.  

Secara universal, dari sisi Katolik sendiri, tiga beban sejarah di masa lalu yang telah secara drastis menjadikan Katolik baik sebagai institusi maupun komunitas cenderung lebih hati-hati dan tidak lagi gegabah dalam menghadirkan diri di tengah masyarakat adalah (a) perang salib, (b) inkuisisi dan (c) genosida/kamp konsentrasi terhadap kaum Yahudi (Turnosvky 2016, 63).

Pada tingkat akar rumput, beban sejarah ini sangat terasa dalam bentuk keengganan untuk mendiskusikannya dalam keluarga.

Sewaktu saya mengikuti mata kuliah Whiteness Studies di Universitas Salzburg (Musim Dingin 2022), pertanyaan lugas saya tentang kemungkinan diskusi mengenai Adolf Hitler di tingkat keluarga-keluarga Austria langsung dipotong secara sinis oleh dosen pengampu dengan pertanyaan retorik tentang sejarah kelam pembunuhan massal bertajuk G30S PKI (Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia) di Indonesia.

Saya sadar bahwa Hitler lahir di Austria, kurang lebih 35 KM sebelah barat Vienna. Yang menjadi pokok permasalahan adalah waktu dan tempat yang tepat untuk diskusi. Begitu ketat disiplin tutup mulut tersebut sampai di tingkat keluarga menunjuk pada kadar nilai luka batin sejarah yang tidak bisa dihindari.

Lebih lanjut, baik akademis maupun harian, ada prinsip non-verbal yang menjadi kesepakatan kolektif untuk tidak membicarakan apapun yang memiliki dampak buruk secara mental (negative vibes). Bukan berarti data-data tentang sejarah ditolak, melainkan semuanya bisa dibaca sendiri dan ditulis tanpa harus membicarakannya secara vulgar.

Pola budaya ini tidak terjadi di Indonesia. Dampak psikologis atas tritunggal beban sejarah tersebut bahkan tidak terasa sama sekali. Namun, secara umum memori kolektif tersebut telah berubah menjadi konkupensi tersendiri yang tidak bisa disingkirkan begitu saja.

Di satu pihak, ignoransi terhadap beban sejarah bahkan terlalu alot untuk di-slamur, istilah Jawa yang menandai kehendak kuat untuk tetap berjalan maju dengan mengabaikan atau menanggalkan beberapa bawaan.

Namun di lain pihak, kehendak untuk mengadakan dialog iman dengan umat Islam bukanlah natural lahir sebagai urat nadi orang-orang Katolik kebanyakan. Zona ternyaman bagi akademisi Katolik adalah liturgi, sebagaimana peribadatan itu sendiri telah sejak awal dirasionalisasi dan diinstituionalisasi sebagai ekspresi iman terbaik komunitas.  

Berbeda halnya dengan Islam yang mengalami pengerucutan eksegese skriptural karena pengaruh Islam kerajaan dalam perkembangan lanjutan (Ayoub 1976), Katolik terlihat lebih lemah karena dipaksa oleh keadaan untuk membuka dirinya lebar-lebar dan harus bertanggung jawab terhadap dosa sejarah masa lampau.

Inilah konsekuensi paling logis dari agama sejarah (Sudarto 2009, 57). Tampilan harian sebagai institusi jauh lebih terasa daripada individu, Katolik terdidik dalam sebuah kultur korporasi yang mewajibkan anggota-anggotanya tidak lelah mempelajari khasanah imannya sendiri tanpa ujung. Maka, mudah sekali menjumpai aktivis Katolik di lingkup antar-umat beragama yang keblinger (keliru atau tersesat langkah) untuk menjelaskan khasanah iman Katolik selain dua kata yang menjadi mantra kekal: “cinta kasih.”

Mengangkat Mahmoud Ayoub sebagai prototipe hubungan Kristen-Muslim tidaklah otomatis invalid, sejauh geopolitik Barat sangat germinatif dalam menerima aneka bentuk dialog iman itu sendiri. Perjalanan spiritual Ayoub yang sempat murtad masuk sebagai anggota denominasi Kristen Presbiterian Inggris (juga Southern Baptist Church di Amerika) tidak bisa dijadikan patokan untuk semua aktivis (El-Badawi 2023, 1-4).

Yang menjadi problem utama dalam dialog iman adalah perjumpaan (encounters) baik sebagai komunitas yang terberi maupun kesengajaan akademik.

Saya sendiri sangat diuntungkan oleh riwayat keislaman dalam rumpun keluarga saya. Dilahirkan sebagai Katolik dari keluarga yang semuanya Katolik, saya besar dalam perjumpaan antar-agama melalui paman dari bapak yang seluruh keluarganya Muslim.

Tidak pernah ada diskusi serius mengenai khasanah masing-masing agama. Justru sebaliknya, taraf candaan mengenai praktik beragama masing-masing dari kami sudah terlampau nyaman untuk diangkat secara spontan sebagai kelakar dalam menyuburkan kedekatan kami.

Akhirul kalam, intervensi ilmu melalu dialog iman dalam relasi antar-umat beragama senantiasa membutuhkan kesahihannya terlebih dahulu untuk menopang dua pilar dialog yang lain, yaitu dialog karya dan terutama dialog kehidupan.

Pertanyaan problematis yang standar muncul adalah: bagaimana dan sejauh mana ilmu atau pemahaman akademis memengaruhi pola perilaku dalam komunitas umat antar-agama? Sejauh mana dialog ilmu semakin mendorong kesuburan praktek toleransi, ataukah justru sebaliknya semakin menyuburkan identitas sosial dalam cara-cara agresif untuk peran publik? Wallahu’allam. [NI]

Referensi

Ayoub, Mahmoud. 1976. A Muslim View of Christianity. New York: Maryknoll.

El-Badawi, Emran, 2023. “Obituary: Mahmoud Ayoub (1935-2021)”, dalam International Qur’anic Studies Association vol. 8, 1-4.

Sudarto, Tulus. 2009. Daftar Hitam Gereja Katolik. Jakarta: Fidei Press.

Turnosvky, Stephan. 2013. „Politikverständnis und zivilgesellschaftliches Engagement aus Sicht der römisch-katholischen Kirche,“ in Kristina Stöckl, Jürgen Nautz, Roman Siebenrock (Hg), Öffentliche Religionen in Österreich: Politikverständnis und zivilgesellschaftliches Engagement. Innsbruck: Innsbruck University Press.

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini