Beranda Publikasi Kolom Melampaui Gagasan “Liberal Peacebuilding”

Melampaui Gagasan “Liberal Peacebuilding”

712
0

Yesi (Staf Kemenag Kendari & Mahasiswa Program Doktor Sosiologi Agama, UKSW)

Hubungan sebab akibat berlaku pada kekerasan agama dan upaya pembangunan perdamaian. Upaya membangun perdamaian muncul karena adanya kekerasan. Di Indonesia terjadi kekerasan agama yang menuntut upaya pemerintah dan semua stakeholder untuk membangun perdamaian.

Runtuhnya tirani zaman Orde Baru bagi sebagian kelompok merupakan sebuah pintu untuk mengekspresikan kegalauan dan segala gundah yang terpendam dalam waktu yang cukup lama. Muncullah berbagai kelompok yang mengatasnamakan agama dan memiliki kebutuhan untuk menunjukkan eksistensinya dengan cara yang mereka anggap mencerminkan jati dirinya.

Tidak adanya kepedulian akan situasi yang dihadapi bangsa tampak pada bagaimana masifnya upaya-upaya dan tindakan mereka yang justru menjadi beban bangsa. Jelas, kekerasan agama tidak mencerminkan sikap nasionalis.

Merujuk dari beberapa cendekiawan dan aktivis perdamaian dunia, Sumanto Al Qurtuby (2023), dalam tulisannya, mengatakan ada tiga konsep dan jenis pembangunan perdamaian yang banyak dirujuk oleh para sarjana spesialis di bidang studi konflik dan perdamaian, yaitu negative peacebuilding, positive peacebuilding, dan just peacebuilding. Peacebuilding adalah sebuah paradigma pembangunan perdamaian dengan cara penciptaan, pemeliharaan, pengembangan hubungan yang konstruktif melintasi batas etnis, agama, atau ras.

Negative peacebuilding (pembangunan perdamaian negatif) adalah sebuah pandangan bahwa perdamaian itu ada di masyarakat jika minus atau tiadanya kekerasan fisik. Model pembangunan perdamain jenis ini berfokus pada penanganan faktor-faktor langsung yang potensial mendorong terjadinya konflik berbahaya.

Positive peacebuilding (pembangunan perdamaian positif) berfokus pada penanganan faktor tidak langsung yaitu pada keterlibatan institusi, kebijakan, dan kondisi politik ekonomi.

Sementara itu just peacebuilding berfokus pada penanggulangan kekerasan kultural (cultural violence) yang digunakan untuk melegitimasi dan menjustifikasi kekerasan langsung (direct violence) atau kekerasan struktural (structural violence).

Berbicara tentang kekerasan kultural berarti perlu memikirkan pendekatan yang sesuai. Karena berbeda kultur, maka berbeda pula cara pendekatannya.

Pembangunan Perdamaian yang Taktis dan Strategis

Sumanto Al Qurtuby menawarkan sebuah pendekatan integratif yang mengacu pada sifat, faktor, dan tingkat kekerasan agama yang terjadi di masyarakat. Inti dari pendekatan ini adalah upaya pembangunan perdamaian itu harus melihat jenis atau bentuk kekerasan yang terjadi di masyarakat agar upaya tersebut menjadi taktis, strategis, dan tepat sasaran.

Kekerasan, termasuk kekerasan (berdimensi) agama, yang terjadi di Indonesia bersifat langsung, struktural, dan kultural bergantung pada bentuk, akar, dan dinamikanya masing-masing. Sehingga model pembangunan perdamaian yang sama jika diterapkan pada semua jenis kekerasan menjadi tidak efektif, tidak berhasil, sia-sia, atau kontraproduktif.

Membangun perdamaian taktis memiliki tahapan. Diawali dengan identifikasi dan penilaian isu-isu lokal, kemudian menghubungkan dengan aktor dan institusi, serta melakukan upaya penghentian kekerasan dan menciptakan perdamaian berkelanjutan.

Penanganan masalah bukan hanya terjadi di permukaan tetapi menelusuri dan mengurai ketegangan hingga ke level dasar. Dengan demikian penyelesaian konflik yang sekaligus menjadi titik tolak membangun perdamaian dapat mencapai hasil yang diharapkan. Selanjutnya, mengenali aktor-aktor di balik sebuah konflik lalu melakukan pendekatan dengan bahasa yang baik dapat meredakan ketegangan.

FKUB “Plat Putih”

Di Kabupaten Klaten, organisasi Forum Kebersamaan Umat Beriman (sering diistilahkan “FKUB plat putih”) telah melaksanakan tahapan-tahapan pembangunan perdamaian taktis atau strategis tersebut. Kesadaran kolektif membawa para tokoh saling bergandengan tangan bertekad untuk membangun kebersamaan dalam lingkungan yang plural. Upaya memelihara atau merawat perdamaian terus dilakukan dengan sejumlah cara, antara lain, pertemuan rutin, seminar, arisan lintas iman, dlsb.

Rasa kebersamaan yang terjalin dan terpelihara menghindarkan mereka dari konflik. Dan ketika potensi konflik muncul, secara taktis mereka segera turun bersama-sama hingga ke akar rumput, mencari aktor di balik konflik dan melakukan pendekatan persuasif. Cara ini sering kali berhasil sehingga FKUB Klaten menjadi model/percontohan pembangun perdamaian. Para tokoh FKUB Klaten sering diundang di berbagai forum untuk berbagi masalah pembangunan perdamaian.

Contoh Kekerasan Antaragama

Retnowati, pengajar antropologi di President University, pernah melakukan penelitian mengenai pengendalian dan antisipasi terhadap penyimpangan atas nama agama. Retnowati mengatakan sangat penting untuk melakukan hubungan relasi sosial yang berkualitas, misalnya persahabatan dalam komunitas agar dapat bekerja sama dan menciptakan solidaritas sosial. Retnowati mengulas konflik sosial bernuansa agama yang pernah terjadi di Situbondo pada tahun 1997, melibatkan agama Islam dan Kristen, dimana gereja-gereja habis dibakar. Akarnya terjadi sejak tahun 1993 dimana pada saat itu hubungan sosial kurang baik.

Setelah peristiwa tahun 1997 ini, ada upaya integrasi sosial. Namun kualitasnya kurang karena yang terjadi hanya sebatas hubungan formal yang hanya tampak baik di permukaan atau sekedar basa basi tanpa adanya hubungan yang benar-benar saling membutuhkan, memahami, dan saling mengerti. Upaya integrasi dikhawatirkan hanya bersifat temporer. Usulan yang diberikan Retnowati adalah agar hubungan menjadi konstan, merupakan kebutuhan bersama, bukan desain atau diselenggarakan untuk meredam.

Retnowati mengatakan bahwa peristiwa-peristiwa serupa telah terjadi di berbagai kota sejak lama dimana sudah ada integrasi dalam rangka memperbaiki hubungan yang rusak dan untuk menjalin hubungan baik. Contoh upaya yang dilakukan adalah mengadakan bazaar Ramadan dimana kebutuhan ramadan disuplai dari masyarakat yang beragama Kristen dan konsumennya rata-rata dari masyarakat beragama Islam.

Namun Retnowati melihat ini kurang baik karena sesungguhnya upaya perdamaian tidak boleh hanya dari salah satu pihak melainkan kemauan dari semua pihak. Antisipasi lebih penting daripada upaya memperbaiki karena hanya akan menjadi sebuah rekayasa dan menciptakan jalinan hubungan yang tidak sehat atau hubungan baik yang hanya ada pada tataran elite, belum pada akar rumput. Inilah hubungan sosial yang kurang sehat. Masyarakatlah yang harus memulai membangun rasa kebersamaan yang alamiah. Menjalin hubungan sosial tidak boleh menunggu terjadi konflik dan kekerasan meledak terlebih dulu.

Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Sumanto Al Qurtuby saat berbicara bahwa di Indonesia demokrasi liberal tidak menjamin terciptanya stabilitas sosial dan perdamaian dalam masyarakat. Keadaan ini dipicu oleh kondisi dimana masyarakat tidak semuanya memiliki niat baik atau tujuan positif untuk membangun perdamaian dan toleransi bangsa.

Banyak orang tidak menggunakan hak pilihnya dengan benar, yaitu memilih para pemimpin yang bereputasi baik dan berkualitas. Hal penting yang perlu diperhatikan untuk mengupayakan perdamaian adalah sumber-sumber budaya (cultural resources) karena Indonesia kaya dengan nilai budaya, tradisi, adat istiadat, praktik, dan kearifan lokal. Memanfaatkan sumber daya ini akan menghasilkan perdamaian dan toleransi yang berkelanjutan.

Penutup

Komponen perdamaian tidak hanya soal aktor dan pemerintah maupun pihak-pihak yang terkait secara langsung. Namun, pembangunan perdamaian pada dasarnya adalah soal relasi positif yang harus dibangun hingga ke akar rumput. Artinya setiap elemen masyarakat memiliki posisi penting untuk membangun dan mewujudkan perdamaian.

Membangun perdamaian di sini bukan dengan perjanjian perdamaian secara formal melainkan pembangunan perdamaian yang sesungguhnya dengan terus-menerus tanpa kenal lelah merawat dan memupuk hubungan yang baik dan sehat antar berbagai aktor dan kelompok sosial di masyarakat. Inilah yang dimaksud dengan pembangunan perdamaian taktis-strategis. [NI]

Daftar Pustaka

Al Qurtuby, Sumanto. 2023. “Beyond Liberal Peace: Religious Violence and Tactical Peacebuilding in Indonesia.” Journal of Asian Security and International Affairs 10 (2), 145–68.

Retnowati, 2025. “Kuliah Umum Studi Integratif Etika.”

Wisnu. “Wawancara Dengan Pengurus Forum Kebersamaan Umat Beriman Kab. Klaten.” 2025.

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini