Beranda Publikasi Kolom Kitab Salokantara: Harmoni Khazanah Hindu-Jawa dan Ajaran Islam pada Masa Kesultanan Demak

Kitab Salokantara: Harmoni Khazanah Hindu-Jawa dan Ajaran Islam pada Masa Kesultanan Demak

9021
0
Ilustrasi kitab Salokantara

Oleh: Ali Romdhoni (Dosen Universitas Wahid Hasyim, Semarang)

d

enys Lombard (1938-1998) dalam karyanya yang berjudul Nusa Jawa: Silang Budaya mengatakan, karena minimnya catatan tentang kerajaan Demak kemudian ada sebagian sejarawan yang menganggap kesultanan Islam yang didirikan Raden Fatah bersama para dewan wali ini tidak memiliki prestasi besar dalam lemabaran sejarah Nusantara. Masa kesultanan Demak juga disimpulkan sebagai periode yang singkat dan tidak begitu penting didiskusikan.

Vonis periode Demak sebagai masa transisi dari Majapahit menuju Mataram setidaknya dijatuhkan oleh ahli sejarah Indonesia kelahiran Rotterdam, Netherlands Hermanus Johannes de Graaf (1899-1984) dan ahli sastra Jawa kelahiran Leipzig, Jerman Theodoor Gautier Thomas Pigeaud (1899 1988). De Graaf dalam buku Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senopati (2001), misalnya, menuliskan sub judul yang berbunyi “Selingan Demak”.

Selanjutnya de Graaf memberi porsi yang lebih banyak pada pembahasan periode Mataram Islam: mulai awal pendirian, intrik politik di dalamnya, hingga ambisi Senopati dan keturunannya dalam menaklukkan wilayah di sepanjang pesisir utara Jawa. Agaknya de Graaf menganggap, periode Demak tidak lebih semenarik bila dibandingkan dengan Mataram.

Berbeda dengan de Graaf dan Pigeaud, Lombard melihat periode Demak sebagai masa yang sangat penting. Satu era yang pada masanya telah terjadi revolusi kelas sosial.

Saya sendiri berkesimpulan bahwa pada masanya kesultanan Demak telah memberikan dampak besar pada kehidupan sosial kebangsaan di wilayah Jawa-Nusantara. Jangan hanya melihat durasi kepemimpinan para sultan yang menobatkan dirinya sebagai keturunan (keluarga) Raden Fatah. Tetapi lihatlah pula jangkaun diplomasi politik dan pengaruh kekuasaan Demak kala itu.

Pertama-tama saya ingin menegaskan, kesultanan Demak mewarisi atau meneruskan kebesaran Majapahit. Ketika Demak berjaya, hampir seluruh wilayah Jawa tunduk. Di luar itu, penguasa di Pasai, Palembang, Banten, Pasir Luhur (kini sekitar Banyumas), Cirebon, Banjarmasin, hingga Maluku pernah merasakan kiriman bantuan bala tentara angkatan laut Demak yang kesohor itu.

Hal lain yang juga harus diingat, kesultanan Demak tidak hanya disibukan mengurus wilayah internal di Nusantara. Pasca runtuhnya kerajaan Majapahit para penjarah dari asing mulai berdatangan. Ini adalah sisi lain atau tugas tambahan yang semakin menyibukkan para raja kesultanan Demak. Karena itu, periode Demak tidak layak diabaikan begitu saja.

Lahirnya Tatanan Baru

Berdirinya kesultanan Demak juga menandai lahirnya orang-orang (kelompok elit) baru dan tatanan yang juga baru. Periode Demak betul-betul telah membuat batas dengan periode sebelumnya, masa kejayaan Majapahit.

Iya, kaum elit Demak yang terdiri orang-orang baru (muslim; santri; pedagang) kemudian merumuskan model tatanan baru yang khas, berbeda dengan masa kerajaan Majapahit.

Tatanan baru yang telah dirumuskan para penguasa kesultanan Demak adalah kitab undang-undang yang bernama Salokantara (Pigeaud, Literature of Java, 1967; Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya II, 2000:55). Kitab Salokantara berisi tentang seluruh hal-ihwal yang mengatur pola relasi kehidupan masyarakat Nusantara di bawah kesultanan Demak.

Semua manusia mempunyai derajat yang sama, sebagai hamba Tuhan. Rakyat bukanlah sahaya yang berhadapan dengan sang tuan (Suadi dan Candra, Politik Hukum, 2016:346)

Kitab Salokantara juga diceritakan berisi 1044 (seribu empat puluh empat) contoh kasus hukum. Keberadaannya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kitab undang-undang kesultanan Demak lainnya, kitab Jugul Muda. Pesan universal yang terkandung dalam kedua kitab undang-undang kesultanan Demak ini adalah semua manusia mempunyai derajat yang sama, sebagai hamba Tuhan. Rakyat bukanlah sahaya yang berhadapan dengan sang tuan (Suadi dan Candra, Politik Hukum, 2016:346).

Kondisi sosio-kultural di Nusantara telah berubah, dari Majapahit ke Demak. Karena itu, tatanan sosial yang baru juga harus diterbitkan. Di sisi lain, kitab Salokantara ini juga menegaskan bahwa pada saat itu telah terjadi dialog dan saling mengakui antara produk hukum yang digali dari nilai-nilai ajaran Hindu-Jawa dan hukum Islam yang sedang berkembang (Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya II, 2000:54).

Lebih jauh lagi, hal ini akan menegaskan kesimpulan bahwa pada masa kesultanan Demak telah memiliki konsep hidup berdampaingan antar-elemen masyarakat yang beragam yang diterbitkan oleh negara (formal). Ini tentu menjadi fakta menarik.

Eksistensi Pengetahuan Lama

Raja Demak ketiga Sultan Trenggana adalah penyusun kitab undang-undang baru yang bernamanya Salokantara itu (Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya II, 2000:56). Informasi lain memberitakan, Salokantara sejatinya sudah ada dan berlaku sejak masa pemerintahan raja Demak yang pertama, Raden Fatah.

Mencermati pemberitaan tentang kandungan kitab Salokantara kita menjadi mengerti, hingga kesultanan Demak berdiri kesadaran untuk merawat khazanah ilmu pengetahuan (babagan kaweruh) Jawa-Hindu oleh para elit muslim (bangsawan maupun santri) masih sangat kuat. Bukti yang memperkuat kesimpulan ini adalah kandungan dalam Serat Centhini. Serat yang ditulis tahun 1814 Masehi itu mengisahkan perjalanan seorang tokoh bernama Jayengresmi (Syeh Amongraga) dengan ditemani dua murid (santri) setianya, Gathak dan Gathuk.

Kiai Amongraga yang tidak lain adalah keturunan Sunan Giri ini berjalan dari ujung Pulau Jawa di bagian timur hingga batas Jawa di bagian barat. Ia mengunjungi para resi, kaum bijak-bestari, makam keramat, dan bekas wilayah penting di sepanjang Pulau Jawa.

Tujuan utama Jayengresmi adalah mengunjungi dan belajar (ngangsu kaweruh) kepada para waskita, orang-orang yang menguasai khazanah ilmu pengetahuan Jawa, Hindu, dan keislaman. Bukankah hal ini, sekali lagi, menjadi bukti bahwa masyarakat Jawa (bangsawan dan juga kaum santri) masih menghargai, dan dalam batas tertentu juga merawat pengetahuan khas yang sejak awal sudah eksis?

Menyadari perkembangan di tengah masyarakat dewasa ini, suka atau tidak suka harus dikatakan bahwa bangsa kita mengalami kemunduran. Setelah kita membanggakan kebesaran Majapahit di masa lalu, kemudian mengetahui bahwa pada masa Demak ternyata telah memiliki konsep hidup berdampingan antar-elemen masyarakat yang beragam, hari ini kita justru sibuk merendahkan saudara kita yang berbeda keyakinan. Wallahu a’lam.[]

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini