Beranda Publikasi Kolom MEMAKNAI “RAPAL SUCI” KYAI TUNGGUL WULUNG

MEMAKNAI “RAPAL SUCI” KYAI TUNGGUL WULUNG

11796
1
MEMAKNAI “RAPAL SUCI” KYAI TUNGGUL WULUNG

Oleh: Dr. Bambang Noorsena (Pendiri Institute for Syriac Cultural Studies)

S

alah satu kontroversi dalam ajaran Kristen Jawa dari Kyai Tunggul Wulung (1800-1885 M) adalah semacam “mantra Kristen” yang berbunyi: “Ancak-ancak ali-ali, si ali kêbo janggitan. Anak-anak kêbo dhungkul. Si dhungkul kapan gawéné. Tigå rêndhêng anjang-anjang gubug bålå uniné gêrèntèng cêpluk”. Menurut Soekotjo dan Lawrence M. Yoder, Tata Injil di Bumi Muria (2010:70), meskipun dari kata-katanya bisa diterjemahkan, namun makna lebih mendalam dari rapal ini tetap sukar untuk ditebak. Untungnya, rapal yang diajarkan oleh Kyai Tunggul Wulung ini, sebenarnya juga tidak asing bagi masyarakat Jawa.

Dengan sedikit perubahan pada beberapa kata, formula yang mirip rapal ini sebenarnya juga dijumpai dalam permainan anak-anak pada zaman itu, yang bunyinya: “Ancak-ancak alis, si alis kêbo janggitan, anak-anak kêbo dhungkul, si dhungkul bang-bang teyo, Tigå rêndhêng èncèng-èncèng gogo bêluk uniné pating cêrêpluk. Ulå såwå ulå dumung, gêdhéné salumbang bandung, sawahirå lagi åpå?”. Permainan anak-anak yang berciri agraris ini baru menghilang di era 1940-an, digantikan oleh permainan “ular tangga” yang mulai diperkenalkan pada zaman Jepang.

Makna Ganda “Rapal Suci” Kyai Tunggul Wulung

Harus dicatat, ungkapan-ungkapan dalam rapal ini bukan asing bagi spiritualitas Jawa. Karena itu, dapat kita simpulkan bahwa selain teks tersebut jelas bermuatan exorcisme, yaitu sebuah rapal pengusiran setan, tetapi juga pesan teologis Sang Kyai bisa dilacak, sekalipun diakui bahwa itu tidak mudah.

Bukti bahwa rapal Kyai Tunggul Wulung ini sebagai teks pengusiran setan, antara lain dibuktikan dengan adanya nama “janggitan” dan “kêbo dhungkul”. Dalam karya Jawa dari masa akhir, “janggitan” adalah nama “mêmêdi” atau “dhêmit”, seperti yang disebut dalam *Kekawin Sénå: Jêjêngklèk klawan gandarwa manguré, bowong ana ring ayun, janggitan humangsĕh dulur hilu-hilu, raré bajang angawé..” (Jêjêngklèk dan gendruwo mengurai rambut, bowong ada di depan, janggitan tak bergerak, diikuti ilu-ilu, dan anak bajang melambai-lambaikan tangannya …”)

Selanjutnya, istilah “kêbo dhungkul” juga muncul dalam Kidung Wårå Wédhå, sebuah tembang magis yang konon digubah oleh Kanjeng Sunan Kalijaga sebagai mantra tolak bala: “Ajiku gajah panudya, kêbo dhungkul bråmå rêp sirêp sami, sarap lêlårå puniku, asuwung canthung jagad, tuking måtå manik ingsun, panahku sapu buwånå, dadèknå kusumå adi.

***

Bocah Bajang nggiring angin. Anawu banyu sêgara, ngon-ingone kêbo dhungkul, sasisé sapi gumarang”. (Jinêman Gårå-gårå, Pathêt Sångå).

Empat baris kata di atas dijumpai dalam pagelaran wayang purwa Jawa. Metafora bocah bajang atau anak kerdil yang menggiring angin dan menguras samudra ini, dilantunkan sebagai jinêman (tembang) pada adegan gårå-gårå, barbareng dengan munculnya sosok Kyai Semar. Hal itu bukan suatu kebetulan, melainkan benar-benar mengekspresikan makna spiritual yang penting dan mendalam.

Sosok Kyai Semar juga menggambarkan “loro-loroning atunggil”. Sejatinya, ia adalah titisan Sang Hyang Ismaya, dewa yang “ngéjawantah”. Kesempurnaan Ilahi yang mendarah daging dalam kesudraan nan papa. Hitam, cebol dan buruk rupa, namun menyimpan dua aspek yang paradoksal dan ambivalen. Kepalanya seperti laki-laki tetapi dadanya seperti perempuan, bibirnya bak senyum gembira, namun matanya basah bak sedih menangis. Rambutnya kuncung seperti bocah, namun memutih seperti orang tua.

Jadi, dalam sosok Kyai Semar, telah menyatu maskulinitas dan feminitas, tua dan belia, masa lalu dan masa depan, suka dan duka, bahkan surga di bumi, keperkasaan Ilahi dalam kelemahan insani. Nah, apakah kebetulan kalau “Bocah bajang nggiring angin” ini dilantunkan bersamaan dengan manggungnya sosok Semar? Tentu saja tidak! “Têmbung Semar iku samar” (Kata “Semar” artinya “samar”), inilah kedalaman spiritual yang hendak diwejangkannya. “Awit akèh kang samya ngarani åpå déwa åpå titah, yen titah kok måwå téjå, yen déwa wujudé påpå sudrå ngulamdårå” (Sebab banyak yang menyebutnya Dewa, sekaligus manusia. Insani namun bercahaya ilahi, Dewa namun nyatanya sudra dan miskin papa).

Siapakah “Gusti” yang dipanggil Sang Kyai dalam doa ini? “Dhuh Yesus Sang Ratuning Gêsang” (Wahai Yesus Sang Raja kehidupan)”, begitu Ki Ajar Kelud mengajarkan puji sembah dalam ibadah

Selanjutnya, sosok bocah bajang dapat dimaknai sebagai sifat kelemahan kodrati manusia yang sejak lahir ke dunia ini dalam keadaan “sukérta” (cacat). Sekalipun diciptakan sebagai makhluk yang lemah, namun manusia berusaha “menggiring angin dan menguras air samudra”. Inilah tugas manusia sebagai خليفة الله في.الأَرْضِ “Khalîfatullah fî al-ardh” (wakil Allah di dunia). Sebaliknya, Kyai Sang Hyang Ismaya adalah cermin kesempurnaan. Jadi, Semar yang mendampingi bocah bajang maknanya kesempurnaan hidup yang tinggal dalam kelemahan manusia.

Selanjutnya, dalam spiritualitas Jawa, kêbo dhungkul dan sapi gumarang adalah dua aspek yang juga tak terpisahkan dalam diri manusia, bak dua sisi dari mata uang yang sama. Lebih dalam lagi, dilatarbelakangi oleh relasi “Brahman-atman” dalam Monisme Hindu, simbol kêbo dhungkul merujuk sifat kelemahan insani, namun “atman” (inti terdalam) dalam diri manusia yang sehakikat dengan Brahman (Tuhan) sendiri, sejatinya cerdas cendekia laksana “sapi gumarang”.

***

Dahulu, Sunan Kudus membawa sapi gumarang untuk menarik perhatian rakyat kota Tajug (yang akhirnya disebutnya Kudus, tiruan dari القدس “al-Qudûs” atau Yerusalem, kota suci ketiga Islam setelah Makkah dan Madinah). Gunung di dekat kota itu dinamakan Muria, seperti ְּהַר הַמֹּורִיָּה “Har HaMoria” (Arab: جَبَلِ الْمُرِيَّا, “Jabal al-Marya”, Bukit Moria) di Yerusalem (2 Taw. 3:1). Rakyat kota Kudus yang waktu itu majoritas Hindu berbondong-bondong datang ke halaman masjid, karena sapi itu mengingatkan mereka kepada sosok Lembu Andini, kendaraan Dewa Siwa. Dan Kanjeng Sunan Kudus pun berkhotbah tentang سورة البقرة “Sûrat al-Baqarah” (Sapi Betina). Banyak umat Hindu kemudian tertarik masuk Islam.

Di wilayah yang sama, Kyai Tunggul Wulung menyebut dalam rapalnya “anak-anak kêbo dhungkul”. Kêbo dhungkul dan sapi gumarang adalah “Loro-loroning atunggil”. “Kita ini hanya anak-anak kêbo dhungkul yang lemah”, begitu kira-kira pemikiran Kyai Tunggul Wulung. Namun Roh suci Allah yang cerdas cendekia akan selalu menuntun dan memampukan makhluk yang lemah ini untuk “menggiring angin dan menguras air samudra”. Untuk itu, “ancak-ancak” (tempat sesaji dari bambu), simbol Ambengan Agung harus dipersembahkan kepada Yesus Sang Ratuning Gesang, agar “si ali kêbo janggitan (para wadyabala lêlêmbut) tidak berani menganggu. Dan kerinduan keselamatan agung itu hanya mungkin dikerjakan Allah Sang Tritunggal: “Rama Allah, Putra Allah, Roh Suci Allah, tetelune tunggal sawiji” (Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus, ketiganya yang esa).

Dengan nama Tritunggal Mahakudus itu, bahkan jagad rat ini harus diruwat, ibu pertiwi harus disucikan kembali, supaya lempanglah jalan menyambut Kerajaan-Nya di bumi: “Lêmah sangar, aku angkêr, upas racun dadi tåwå, idi Gusti manggih slamêt selaminyå” (tanah dan kayu angkêr serta racun, kiranya hilang kuasanya, dengan izin Tuhan, selamat semuanya). Siapakah “Gusti” yang dipanggil Sang Kyai dalam doa ini? “Dhuh Yesus Sang Ratuning Gêsang” (Wahai Yesus Sang Raja kehidupan)”, begitu Ki Ajar Kelud mengajarkan puji sembah dalam ibadah, “Putranipun Allah ingkang sampun ngawonkên ing pêjah, sawêr Tuwan rêmuk sirah…. (Sang Putra Allah yang telah mengalahkan maut, yang telah meremukkan kepala ular…), Amin” (Sukoco dan Lawrence M. Yoder, 2010:67).

Refleksi Akhir

Sebelum menyalakan obor Injil di sekitar Gunung Muria, wilayah itu sebelumnya telah disyahadatkan oleh Sunan Kudus dan Sunan Muria. Karena itu, Kyai Tinggul Wulung mengambil sisi lain dari spiritualitas Jawa, yang mendamba harapan yang sama. Kalau dakwah Sunan Kudus menampilkan sapi gumarang, Tunggul Wulung bertitik tolak dari kehina-dinaan insan, mengambil ibarat “anak-anak kêbo dhungkul”. Ada etika yang harus dipindahkan bersama. “Aku di sini engkau di sana”, “Aku begini engkau begitu”, jangan semua ada di sini, jangan semua begini, supaya tidak ada benturan. Padahal setiap agama mengemban misi yang tidak berbeda, Islam dengan “dakwah”-nya, Kristen dengan “evangelisasi”-nya. Begitu juga Hindu, Buddha dan yang lainnya, asal pada tempatnya masing-masing. “Aku di sini engkau di sana, sama saja”, begitu suara merdu Broery Marantika yang legendaris itu, menutup refleksi ini.[]

 

 

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini