Oleh: Cahyono Alumnus Magister Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, Jawa Tengah
Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi ekspresi tradisi perayaan Idul Fitri (Lebaran) sebagai identitas kultural masyarakat Muslim Cirambeng di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Secara khusus, tulisan ini hendak merumuskan dua makna fundamental tradisi perayaan hari raya Idul Fitri, yakni tradisi sebagai ritual simbol keagamaan dan cermin kesalehan sosial.
Idul Fitri merupakan ruang komunal yang dimaknai secara beragam oleh khalayak masyarakat Muslim di Indonesia, tak terkecuali masyarakat Muslim di Dusun Cirambeng. Oleh masyarakat setempat, Idul Fitri selalu dirayakan dengan kegembiraan dan kebaruan meskipun hari raya tersebut dirayakan berulang kali setiap tahunnya.
Secara umum masyarakat Muslim di Dusun Cirambeng adalah penganut “Islam tradisional” dan mayoritas warga nahdliyin (pengikut Nahdlatul Ulama). Oleh karena itu, tidak heran ketika mereka merayakan Idul Fitri dengan aneka ragam ritual tradisi keagamaan seperti Ngambeng, Nyekar, atau Nganjang.
Kampung Cirambeng terletak di Kecamatan Ketanggungan yang merupakan salah satu kecamatan yang unik di Kabupaaten Brebes. Di kecamatan ini, hanya 9 desa (dari 21 desa di kecamatan tersebut) yang menggunakan bahasa Jawa dalam komunikasi sehari-hari. Selebihnya masyarakat menggunakan bahasa “Sunda Brebes”. Dilihat dari komposisi penduduk, masyarakat Kecamatan Ketanggungan terdiri dari berbagai suku. Selain Jawa dan Sunda (sebagai suku mayoritas), juga terdapat komunitas Arab, Cina, Batak, Madura dan Minang.
Idul Fitri sebagai “Ruang Sosial”
Idul Fitri merupakan sebuah “ruang sosial” yang mampu memperluas jaringan komunikasi masyarakat dari berbagai latar belakang sosial dan profesi. Di kecamatan tersebut ada sebuah pasar tradisional dengan beragam barang dagangan yang bisa berfungsi sebagai “ruang publik” dan medium komunikasi lintas-kultural bagi masyarakat. Satu hari sebelum bulan Ramadan tiba (diistilahkan prepegan) dan satu hari menjelang hari raya Idul Fitri (disebut galungan), masyarakat Muslim Cirambeng selalu menghabiskan waktunya untuk berbelanja segala kebutuhan mereka di pasar tersebut.
Menurut Henri Lefebvre, ruang sosial memiliki keragaman obyek, alam dan sosial, termasuk didalamnya jaringan dan jalur yang mampu memfasilitasi pertukaran suatu barang dan informasi. Ruang sosial tidak hanya berfungsi sebagai jaringan pertukaran barang saja tetapi juga membangun relasi antarindividu dan antarkelompok masyarakat. Ruang sosial dapat membentuk masyarakat secara alami tanpa harus mempengaruhi secara materi.
Spirit keagamaan dalam bingkai tradisi lokalitas yang kental, menjadikan magnet solidaritas sosial masyarakat Muslim di Kampung Cirambeng. Tradisi ini sebagai strategi adaptasi masyarakat Muslim setempat dalam menghadapi dinamika zaman. Secara lebih luas, tradisi bisa dimaknai sebagai bentuk konstruksi simbol komunal yang mengikat bersama.
Tradisi Ngambeng sebagai Simbol Kesalehan Sosial
Tradisi Ngambeng di Dusun Cirambeng digelar dua kali, yaitu malam hari saat “takbir kemenangan” dan siang hari menjelang shalat Dzuhur. Ritual Ngambeng yang digelar malam hari usai shalat Isya, warga yang membawa sesaji adalah kaum perempuan, umumnya diikuti anak-anak mereka. Sesaji yang didalamnya berisikan berbagagai macam makanan, minuman dan cerek, teko, drigen atau jenis lain yang digunakan untuk tempat / wadah air tawar khusus yang nantinya akan didoakan oleh imam.
Makanan dan minuman yang dibawa tersebut kemudian diletakkan persis ditengah-tengah hadirin yang duduk melingkar dengan dipimpin oleh seorang imam. Uniknya, sajian yang diistilahkan sebagai ambeng tersebut, terdapat minuman dan beragam sesaji yang konon disukai keluarganya yang telah meninggal semasa mereka hidup. Proses ritual tradisi Ngambeng yang dipimpin imam tadi diawali dengan ritual tahlil yang dikhususkan untuk mendoakan arwah keluarga dan sesepuh, dilanjut makan bersama dengan menu makanan yang telah disajikan. Air tawar yang sudah diberi doa oleh imam tersebut kemudian dibawa dan disiramkan ke makam anggota keluarga masing-masing yang sudah meninggal.
Selepas doa, imam memberikan semacam ceramah singkat tentang esensi tradisi Ngambeng dan keutamaan hari raya Idul Fitri. Ceramah dilakukan sekitar 30 menit sebelum dilanjutkan menyantap ambeng yang telah disediakan. Dalam sambutannya, Muhajirin mengatakan, “Setelah melewati satu bulan Ramadhan, kita berharap satu bulan puasa ini menjadikan hati bersih dan iman kita ditingkatkan. Pertemuan rutin ini harapannya mendorong kita untuk saling memaafkan dan gotong royong yang tetap terjaga.”
Ruh hari raya Idul Fitri menjadi magnet refleksi untuk memperbaiki individu masing-masing dalam bermasyarakat dan beragama. Refleksi ini yang menuntut masyarakat untuk saling memaafkan, menjalin solidaritas sosial yang kuat, serta menuju hari yang fitri atau kembali bersih, di mana kualitas iman seseorang ditunjukkan dari hati dan pikiran yang bersih.
Tradisi Ngambeng, salah satu kekuatan kultural yang masih dijaga oleh masyarakat Muslim Pesisir di Cirambeng. Ritual ini digelar usai masyarakat bersalam-salaman satu kampung yang dilakukan dengan keliling dari hilir hingga hulu kampung. Dipastikan tidak ada warga yang terlewatkan untuk disalamin sebagai bentuk saling memaafkan (lebaran) satu sama lain.
Konteks pencapaian keagamaan masyarakat Muslim sarat dengan nilai-nilai amalan sebagai kesalehan sosial, baik material maupun nonmaterial. Dalam Islam kita mengenal shadaqah (sedekah) ataupun infak sebagai salah satu aktifitas keagamaan yang diproyeksikan sebagai nilai-nilai kesalehan sosial. Pada aspek ini, secara substansi, masyarakat Muslim didorong oleh norma agama untuk saling memberi pada sesama manusia. Bagi masyarakat Muslim urban, barangkali ini bagian dari komunikasi simbolik–sebagai ekspresi keagamaan yang kerap menjadi prioritas dibanding praktik keagamaan secara personal. Komunikasi masyarakat urban melalui tanda (bahasa) mampu membangun simbol-simbol yang dapat diabstraksikan dari pengalaman sehari-hari, selain mengembalikan simbol-simbol itu sebagai unsur-unsur obyektif dalam kehidupan sehari-hari.
Ritual tradisi Ngambeng ini dimaknai sebagai solidaritas kolektif dalam upaya menjaga tali silaturahmi, gotong royong, semangat berbagi, dan persaudaraan. Masyarakat yang hadir dalam majlis didominasi laki-laki dan anak-anak. Sedangkan perempuan sebagai penyedia sesaji dengan bingkisan makanan dan minuman yang telah ditentukan. Setiap hadirin telah menyediakan masing-masing tiga paket makanan yang nantinya ditukar dengan warga lain yang hadir di acara tersebut.
Ambeng merupakan simbol keberuntungan (rizki) yang patut dirayakan bersama dan berbagi dengan sesama. Upaya masyarakat Muslim Cirambeng dalam menjaga tradisi Ngambeng sebagai kekuatan kultural, bagaimana masyarakat dapat merepresentasikan solidaritas sosial, kesalehan sosial melalui ritual tradisi keagamaan.
Tradisi Nganjang Bagi Pemuda
Di samping tradisi Ngambeng, masyarakat Dusun Cirambeng juga mempraktikkan tradisi Nganjang. Nganjang diistilahkan sebagai suatu aktivitas seseorang atau kelompok yang berkunjung ke rumah perempuan (umumnya pacar atau pasangan). Tradisi Nganjang dilakukan di malam takbir kemenangan. Saya belum mendapatkan informasi atau sumber akademis yang jelas tentang kapan persisnya tradisi ini dimulai dan berkembang. Tetapi cerita tutur masyarakat setempat mengatakan bahwa tradisi ini berkembang sekitar tahun 1980an.
Tradisi ini merupakan salah satu agenda besar anak muda kampung Cirambeng dalam menyambut hari raya Idul Fitri. Nganjang menjadi ajang silaturahmi untuk saling memaafkan antar pemuda dan pemudi, meski hanya sebentar waktu yang dihabiskan dari satu rumah ke rumah lainnya. Untuk pasangan pemula, kunjungan ini kerap diwarnai suara petasan rantai sebagai ucapan selamat.
Ada nilai-nilai yang dibangun dalam tradisi ini, baik nilai sosial maupun religiusitas (keagamaan). Masing-masing berperan dalam tradisi tersebut. Dalam konteks agama, tradisi ini mengandung nilai silaturahmi, sedangkan dalam konteks sosial, tradisi ini bisa menjadi medium saling memberi dan memaafkan. Pihak perempuan menyediakan hidangan aneka ragam makanan, sedangkan pihak laki-laki memberi hadiah uang sesuai kemampuan masing-masing.
Jadi, jelaslah bahwa masyarakat Muslim Cirambeng merepresentasikan Idul Fitri tidak semata-mata hanya sebagai ekspresi ritual keagamaan, tetapi juga sebagai “ruang komunal” untuk membangun masyarakat yang damai, harmonis dan toleran. Selain itu, Idul Fitri dengan aneka tradisi dan budaya lokal yang kental juga menjadi bagian dari “identitas kultural” masyarakat Cirambeng yang terus lestari hingga kini [NI].