Oleh: Dhianita Kusuma Pertiwi (Program Officer Yayasan Kelola & Alumnus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia)
Lakon wayang kulit purwa yang dipertunjukkan di Indonesia sampai hari ini masih mempertahankan narasi epos India Kuno, Mahabharata dan Ramayana. Hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari proses penyebaran budaya India di kawasan Asia Tenggara yang dimulai sejak sekitar abad ke-2 Masehi, atau yang disebut dengan Indianisasi. Selama proses tersebut, lahir karya seni dan sastra yang mencerminkan interaksi dan akulturasi kebudayaan India dan Jawa. Akulturasi tersebut melibatkan penyesuaian narasi dalam adaptasi kitab India menjadi karya sastra Jawa, salah satunya lakon wayang kulit purwa.
Salah satu lakon wayang kulit purwa yang masih mempertahankan narasi utama kitab Mahabharata adalah Sesaji Raja Suya. Narasi tentang persiapan dan pelaksanaan upacara rajasuya yang terdapat dalam lakon tersebut bersumber dari kitab kedua Mahabharata, yakni Sabha-parva. Di antara sejumlah lakon Sesaji Raja Suya yang telah ditulis dan dipertunjukkan, lakon Sesaji Raja Suya yang digubah oleh Ki Purbo Asmoro telah diterbitkan dalam format paket edukasi oleh Yayasan Lontar pada 2013.
Dalam kajian karya sastra, adaptasi merupakan pengulangan, tetapi bukan replikasi (Hutcheon, 2012: 7), sehingga karya adaptasi melakukan pengulangan atas karya sebelumnya namun bukan merupakan replika. Hal tersebut disebabkan oleh transformasi pada karya adaptasi yang menjadikannya sebagai karya derivasi atau turunan. Hipertekstualitas, yang digagas oleh Genette (1997), merupakan teori kajian teks yang menggarisbawahi transformasi tekstual dalam adaptasi hipoteks atau teks pendahulu menjadi hiperteks atau teks turunan.
Adaptasi kitab Mahabharata menjadi lakon wayang purwa dapat dikaji menggunakan kerangka teori tersebut, dalam hal ini dengan menempatkan Sabha-parva sebagai hipoteks dan lakon wayang purwa Sesaji Raja Suya sebagai hiperteks. Adaptasi narasi persiapan dan pelaksanaan ritual rajasuya oleh Pandawa dan ritual Ludra oleh Jarasandha untuk dari Sabha-parva ke Sesaji Raja Suya melibatkan transformasi pada sejumlah unsur naratif teks, antara lain: (a) bentuk, (b) struktur fisik, (c) alur, (d) pengaluran, (e) tokoh dan penokohan, dan (f) latar tempat, di samping (g) penggunaan istilah. Transformasi tekstual melibatkan tiga teknik transformasi, yakni (a) pengeditan, (b) pengurangan, dan (c) pengembangan.
Teknik pengeditan diterapkan untuk mengubah bentuk teks dari sloka menjadi lakon wayang yang didominasi dengan dialog dan petunjuk laku boneka wayang. Selanjutnya, teknik pengurangan dan pengembangan digunakan untuk mentransformasi struktur fisik teks yang memengaruhi alur dan pengaluran. Teknik pengurangan diterapkan untuk mengambil narasi tentang rajasuya yang terdapat dalam Sabha-parva pada bagian VāXLV atau 40 dari total 81 bagian dari kitab tersebut. Sementara itu, kisah tentang pembangunan kerajaan Amarta dan permainan dadu antara Yudhistira dan Sengkuni yang menjadi bagian pembuka dan penutup dari hipoteks tidak turut diadaptasi.
Pada saat yang sama, terdapat pengembangan adegan pertempuran yang signifikan dalam hiperteks. Sesaji Raja Suya mengembangkan babak dan adegan yang menceritakan persiapan pasukan Pandawa dan Jarasandha (Paseban Njaba dan Adegan Sabrang), perjalanan pasukan (Budhalan dan Budhalan Sabrang), dan pertempuran di tengah hutan (Prang Gagal dan Prang Kembang). Selain itu, hiperteks juga mengembangkan babak dan adegan yang menampilkan dialog humor seperti Limbukan dan Gara-Gara dengan sejumlah tokoh baru yang tidak terdapat dalam hipoteks.
Pada aspek tokoh, ditemukan transformasi pada penggunaan nama yang disebabkan oleh penyesuaian aspek linguistik bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Jawa. Sebagai contohnya adalah Krishna yang ditulis dengan Kresna dalam hiperteks. Transformasi paling signifikan pada aspek penokohan terdapat pada konstruksi tokoh Yudhistira dan Jarasandha. Yudhistira merupakan raja yang akan diangkat sebagai pemimpin utama dalam prosesi upacara rajasuya. Dalam hipoteks, kemunculannya cukup signifikan untuk menggerakkan alur cerita sebagai seorang pemimpin yang aktif memberikan perintah kepada anggota kerajaannya untuk mempersiapkan dan melaksanakan rajasuya. Peran Yudhistira tersebut dikurangi secara signifikan dalam hiperteks.
Di samping teknik pengurangan, teknik pengembangan juga dimanfaatkan untuk mentransformasi penokohan. Dalam hiperteks, tokoh Jarasandha dikembangkan sifat-sifat buruknya. Jarasandha diceritakan membunuh Brihadrata dan menguliti tubuh ayahnya tersebut untuk kemudian digunakan sebagai bahan genderang yang diletakkan di puncak gunung Cetiyaka. Sementara itu, hipoteks menceritakan Brihadrata meninggal di usia tua dengan damai.
Sama halnya dengan nama tokoh, beberapa latar tempat dalam hiperteks juga menggunakan nama yang merupakan bentuk penyesuaian linguistik dari bahasa Sanskerta ke bahasa Jawa. Ditemukan juga sejumlah pengembangan latar tempat seperti hutan dan penggambaran bangunan istana yang spesifik (panangkilan kaprabawan, gapura kedhaton, kedhaton, paseban njaba, loka pusantara). Penambahan serupa juga ditemukan pada aspek penggunaan istilah. Salah satu contohnya adalah pertangga jiwa sebagai istilah yang digunakan untuk menamai buah mangga yang diberikan oleh dewata kepada Brihadrata, cikal bakal dari Jarasandha. Narasi tentang buah mangga sakti tersebut juga terdapat dalam hipoteks, namun nama pertangga jiwa hanya ditemukan pada hiperteks.
Beberapa bentuk transformasi tekstual yang telah diidentifikasi di atas dikaji lebih lanjut untuk mengetahui pergeseran konsep kekuasaan yang direpresentasikan dalam kedua teks, yakni konsep kekuasaan India Kuno dan Jawa. Kajian ideologis atas kedua korpus menemukan sejumlah aspek konsep kekuasaan yang hanya berlaku di kebudayaan Jawa. Beberapa tanda kekuasaan yang hanya berlaku dalam konteks kebudayaan Jawa antara lain: (a) kasekten, yang tidak hanya terbatas pada kasekten fisik namun juga kasekten spiritual dan supernatural, (b) kesuburan seksual, (c) kepemilikan bala tentara, (d) kepemilikan abdi, dan (e) identitas ke-Jawa-an sebagai nilai ideal.
Di samping itu, gagasan raja atau pemimpin ideal dalam kebudayaan Jawa terdiri atas sejumlah karakter atau sifat yang dianggap baik, seperti: (a) teguh, tanggon dan tanggung, (b) kesesuaian dengan aspek-aspek astabrata, (c) penghargaan atas leluhur, (d) kesederhanaan, (e) menunjukkan sifat dan sikap alus, anteng, meneng, jatmika, sembada, dan wiratama.
Transformasi penokohan Yudhistira merepresentasikan salah satu gagasan penting dalam konsep kekuasaan Jawa, yakni sabda pandhita ratu. Pengurangan signifikan pada dialog dan intensitas kemunculan Yudhistira dalam hiperteks menggambarkan epistem kebudayaan Jawa yang menjadikan kebijaksanaan dan karisma sebagai sifat ideal seorang raja, menjadikannya seorang pemimpin yang tidak banyak berbicara dan setiap dari perkataannya bersifat sakral dan dapat dipercaya (sabda pandhita ratu tan kena wola-wali).
Berdasarkan kajian terhadap Sabha-parva dan Sesaji Raja Suya, dapat disimpulkan bahwa adaptasi hipoteks ke hiperteks tidak hanya melibatkan transformasi tekstual namun juga transformasi ideologis. Ideologi yang bertransformasi dalam adaptasi tersebut adalah konsep kekuasaan.
Sabha-parva merepresentasikan konsep kekuasaan India Kuno, dan pada penciptaan hiperteks, diterapkan sejumlah transformasi untuk menyesuaikan cerita dengan nilai-nilai kebudayaan Jawa. Oleh karena itu, terlepas dari besarnya pengaruh kebudayaan India yang tersebar selama periode Indianisasi, masyarakat Jawa memiliki sistem pemikiran tersendiri yang termanifestasikan dalam konsep kekuasaan Jawa dan direpresentasikan dalam karya-karya sastra, termasuk lakon wayang purwa. [NI]