Oleh: Sunarto (Pengajar Filsafat dan Musikologi pada: Jurusan Sendratasi, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang)
Pendahuluan
Pada masa pra-Indik (dalam wilayah studi etnomusikologi, daerah Indonesia Bagian Barat-Daya, yang meliputi: Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara) memiliki 2 macam aliran kebudayaan kuno dari benua Asia, yaitu: 1) Aliran Asia Tengah yang ditandai dengan adanya musik, tari, dan drama kuno di Birma dan Asia Tenggara.
Hal tersebut mungkin dikenal sebagai tradisi musik dan seni pertunjukan kuno Malaysia (Melayu); dan 2) Aliran Asia Timur, secara antropologis, merupakan aliran Asiatik yang juga ditandai oleh seni pertunjukan dan musik sebagai suatu tradisi. Kedua tradisi tersebut memiliki sifat dasar yang sama, yaitu ditandai adanya musik Pentatonik. Musik Jawa (Gamelan dan tembang Jawa [Macapat]), yang merupakan limpahan dari aliran Asia Tengah, memiliki skala Pentatonik.
Musik tradisional Jawa berhubungan erat dengan: tari, teater, sastra, adat-istiadat, kepercayaan, dan tradisi, yang kesemuanya merupakan ungkapan karakter masyarakat Jawa. Salah satu tradisi musik tradisional Jawa, khususnya Yogyakarta dan Surakarta, adalah “Macapat” (musik vokal). Macapat merupakan bentuk ungkapan estetis masyarakat Jawa yang dituangkan dalam nyanyian yang bersifat resitatif, yang lebih banyak bertutur tentang moralitas dan kesejarahan. Macapat hadir di dalam komunitas masyarakat umum dan lingkungan keraton.
Ada beberapa definisi tentang kata “Macapat” (Mocopat): 1) Moco (Jawa), berarti“membaca”; dan “papat”, berarti membaca yang terhubung dengan tiap empat suku kata sandangan (empat guru wilangan). 2) kata “pat” merujuk pada sejumlah tanda diakritis atau disebut dalam aksara Jawa. 3) dalam konteks dengan kosmologi Jawa, Macapat berarti “membaca empat anasir alam (angin, api, air, dan tanah)” atau “empat penjuru mata angin” (timur, selatan, barat, dan utara).
Mocopat adalah seni melagukan atau menembangkan syair dari suatu tembang Jawa. Macapat biasanya dilakukan oleh satu orang atau sekelompok orang, dan dapat dilakukan dengan atau tanpa iringan (yang biasanya Gamelan). Macapat selalu hadir dalam seni pertunjukan Jawa, seperti dalam: wayang (kulit atau orang) dan kethoprak. Di dua kerajaan besar Jawa, Yogyakarta dan Surakarta, menjadikan Macapat sebagai “seni adiluhung”, disamping Gamelan.
Macapat dalam Lingkup Keraton dan Masyarakat Umum
Periode kebangkitan kesusastraan klasik Jawa di Jawa Tengah berlangsung pada masa antara tahun 1700 hingga 1900 Masehi dan untuk masyarakat Jawa, disebabkan kuatnya pengaruh tradisi lisan (oral). India adalah negeri di mana tradisi oral merupakan yang paling utama. Semua ritual Hindu berdasar pada kepercayaan bahwa doa yang dipanjatkan sangat berpengaruh dan mujarab; dan kesusastraan mesti berjalan beriringan dengan musik, tari, dan teater. Pada paruh kedua abad ke-18 menjelang abad ke-19 seni dan kesusastraan berkembang di Surakarta dan Yogyakarta secara berbeda satu dengan yang lain.
Setelah pemisahan dinasti kerajaan Mataram menjadi dua kerajaan yang lebih kecil, yaitu: Surakarta (Kasunanan) dan Yogyakarta (Kasultanan) di tahun 1756, Surakarta menikmati masa damai yang panjang, tak terganggu oleh perang, hal inilah yang menjadikan pengembangan kesenian Jawa. Sebaliknya, sejarah politik Yogyakarta mencatat adanya gangguan dikarenakan oleh dua peperangan: 1) selama masa peralihan pemerintahan oleh Inggris pada tahun 1811 sampai 1814; dan 2) akibat Perang Dipanegara melawan Belanda tahun 1825 hingga 1830. Namun, Yogyakarta telah menguatkan identitasnya di dalam kesenian Jawa.
Sebelum kemunculan Gamelan di dalam tradisi masyarakat Jawa, Macapat mestinya sudah ada. Macapat dianggap sebagai puisi yang dilagukan adalah unsur yang paling tua dan berawal sejak sebelum Hindu masuk. Nada di dalam Macapat, secara rinci berbeda dari skala instrumen Barat yang mengunakan Diatonis (Mayor dan Minor), sedangkan Macapat menggunakan Pentatonis (Slendro dan Pelog). Nada di dalam Macapat barangkali terdengar sangat kuno dan eksotis. Kelihatannya sangat mungkin bahwa skala tembang-tembang Macapat berhubungan erat dengan lagu permainan anak-anak.
Di masa sebelum Perang Dunia II di Jawa, meskipun Macapat dapat dinikmati sebagai musik tradisional, semata-mata dihubung-hubungkan dengan sejenis penyembahan masyarakat kepada arwah leluhur telah memperkenalkan suatu teori bahwa musik di masa lalu muncul atas hasrat orang-orang primitif untuk memiliki suatu bahasa yang berbeda dari bahasa sehari-hari untuk berkomunikasi dengan makhluk supranatural. Macapat selalu dinyanyikan pada jam 21.00 hingga larut atau bahkan hingga esok paginya di dalam beberapa ritual.
Dalam proses inilah sinilah kesakralan Macapat ditunjukkan. Sangat mungkin bahwa pemilihan waktu berhubungan dengan kepercayaan bayangan sebagai sebuah jiwa orang mati (arwah para leluhur) Salah satu ritual Agama asli orang Jawa adalah berupa penyembahan kepada arwah leluhur (keluarga). Dalam proses ritual ini menggunakan sarana, seperti:
- Kemenyan,
- Berbagai jenis bunga,
- Daun sirih (Di dalam praktek persiapan penyambutan mistisisme Jawa di abad ke-19 Masehi, sirih telah digunakan dan untuk persembahan ketika pementasan Wayang, sirih dan buah pinang dibagikan untuk menarik khalayak, terutama pada masa sebelum perang),
- Beberapa jenis makanan (sesajen),
- Sajian musik (Sejak kemunculan Muslim di Jawa di abad ke-13 yang datang dari India dan Persia, sikap perlawanan terhadap musik tidaklah lazim bagi mereka sebagaimana yang berlaku di dalam negara-negara Islam Timur Tengah. Di bawah bendera Muslim, perhatian berubah dari pura dan aktivitas perayaan masyarakat ke kebutuhan upacara sembahyang kepada leluhur dan hiburan terkecuali untuk Bali, di mana para biarawan Hindu pada waktu itu bergabung dengan kalangan bangsawan).
- Tari (Di dalam tradisi Hindu-Bali, tarian juga merupakan suatu bentuk persembahan kepada dewa di pura. Kebanyakan raja-raja Jawa pandai menari tradisional, dan beberapa dari mereka juga seorang koreografer. Di dalam konsep pendidikan keraton di Jawa, pelajaran tari adalah yang terpenting).
Macapat, sebelum mengacu ke tembang Jawa-Timuran, seperti: Kakawin, Sekar Kawi, atau Sekar Ageng; bersifat sakral atau lagu-lagu dari kesusastraan Sansekerta. Tidak seperti Macapat, lagu-lagu Sansekerta tidak berpola, dan harus dipelajari dengan kepatuhan dan kerajinan yang luar biasa kepada gurunya (biasanya di dalam keraton). Secara bentuk lagu-lagu tersebut berhubungan dengan melodi-melodi mikroskopis dan pola syair lagu India. Sejak era Islam di Jawa, lagu-lagu Sansekerta hanya dikenal di kalangan keraton dan lebih berfungsi sebagai tradisi oral pada masyarakat umum Jawa (kemungkinan juga tradisi di kalangan keraton), khususnya Yogyakarta.
Namun setelah tradisi keraton di Jawa Timur mulai dapat mengganti kesusasteran Sansekerta disebabkan aura religi-politik di sekitar keraton, tembang-tembang Macapat hanya populer di kalangan masyarakat umum. Tetapi semenjak dimulainya periode Islam di Jawa, irama Macapat mulai dipopulerkan kembali. Irama Macapat, berjumlah sekitar lima belas judul, dianggap sebagai gabungan bentuk-bentuk syair yang dimiliki oleh sejumlah besar penyair pribumi Jawa, yang untuk waktu lama tetap tidak berbentuk dan tidak terstruktur).
Ketika masyarakat Hindu pertamakali datang ke Jawa, Macapat sebagai sebuah tradisi telah diperkuat oleh datangnya orang-orang India. Orang-orang India memiliki tradisi puisi yang kuat. Masyarakat India sangat suka mendeklamasikan syair-syair. Di masa kini, di beberapa bagian di India, terdapat banyak “pesta-puisi” di mana banyak penyair berjumpa dan berkumpul untuk membaca sajak mereka sebelum kepada para penonton. Jika teori musik pada tradisi Hindu telah dikenalkan sebagai suatu bagian dari tingkat pertama pada tradisi Keraton Jawa-Hindu, Macapat pasti telah dikenalkan juga. Macapat yang berdasar bahasa Sanskrit, pasti telah diajarkan di dalam perkembangan embrional (awal) dari suatu tradisi yang besar pada penampilan kesenian Jawa
Sebagai sebuah istilah, Macapat dihubungkan dengan prinsip orang Jawa pribumi tentang kesatuan empat–lima di titik yang berbeda ketika suatu desa baru akan didirikan. Pola empat-lima dalam masyarakat Jawa telah dipergunakan di dalam: pewayangan, mistisisme, pemerintahan, hukum, dan sastra.
Syarat bahwa setidaknya setiap baris terdiri dari empat suku kata (Macapat, secara harfiah berarti dibaca dalam empat kesatuan) dan gagasan tentang gatra/gotro, yang berarti suatu bentuk yang terdiri dari empat ketukan sebagai kesatuan terkecil dalam permainan gending (salah satu komposisi Gamelan) menunjukkan suatu kemungkinan percampuran antara musik tradisional Jawa dengan bumbu agama. Gagasan tentang penyatuan dua unsur yang saling berpengaruh dan berimbang sebagaimana yang tampak pada proses evolusioner kelahiran susunan Pelog dan Slendro juga dianjurkan untuk memikirkan kemungkinan percampuran lain dari filsafat China kuno, Yin-Yang.
Gambaran kasar tentang kerajaan-kerajaan Jawa sebagaimana yang dikatakan oleh Max Weber di dalam studinya tentang China dan India kuno. Seperti di China, kaisar adalah juga seorang pemuka agama, yang merupakan penghubung antara alam baka dan dunia. Kaisar juga seorang dewa, mengikuti apa yang dikatakan ajaran Hindu bahwa kaisar adalah reinkarnasi Shiwa. Kedua aspek tersebut memastikan kedekatan hubungan antara kerajaan dan agama. Seperti di China, raja dikelilingi birokrasi. Birokrasi di Jawa tidaklah bersifat jujur dan rasional seperti China, namun keduanya memiliki maksud yang sama di mana manusia di dunia memiliki tugas untuk bersifat santun dan mampu mengontrol diri.
Tugas keraton dianggap sebagai tugas dunia untuk bekal nanti di akhirat, dan kewajiban raja sebagaimana para birokrat adalah untuk menunaikan tugas ini. Yin dan Yang yang muncul dalam proses interaksi berfungsi untuk menghasilkan segala hal, dan ini dalam giliranya akan menghasilkan dan menghasilkan ulang, sehingga transformasi dan perubahan berlanjut tanpa akhir. Gagasan tersebut barangkali mengingatkan akan Gamelan keraton Jawa berhubungan dengan gagaku. Di dalam gagaku baik unsur formal maupun unsur progresif telah dikurangi porsinya, hanya menyisakan keindahan suara, makhluk erotik yang merupakan tetesan warna kuning keabuan. Fenomena ini hanya dapat ditemui di dalam orkes musik Gamelan Jawa.
Penutup
Sebagai sebuah bentuk, suatu irama Macapat memiliki jumlah baris yang pasti, bahwa jumlah suku kata di setiap baris, menentukan pilihan huruf vokal yang akan mengakhiri baris, dan ini dikaitkan dengan keadaan jiwa pada masa lalu yang ditujukan kepada para leluhur. Kenyataan bahwa Macapat adalah istilah umum untuk menamai irama di dalam syair lagu Jawa dan seluruh kerangka musikal berhubungan dengan perasaan yang memberi kemungkinan untuk suatu metamorfosis.
Saat ini Macapat, khususnya di Yogyakarta, kalau boleh dikata, telah ‘menghilang’ tanpa jejak Hal yang menarik lain adalah bahwa lagu-lagu permainan anak (Tembang Dolanan) kini juga mulai ikut menghilang terutama disebabkan hasil kebijakan pendidikan Pemerintah yang tidak berbeda jauh dengan masa kolonial, yang pelan-pelan mulai menghilangkan Macapat dalam dunia pendidikan. Ada beberapa kegiatan Macapat, walau sepertinya “mati suri”: 1) kegiatan Macapat di keraton; 2) Macapat di Sekolah Taman Siswa; dan 3) kelompok Macapat “Sekar Turi” (Desa Bangunkerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, dengan Marjuki, sebagai koordinatornya).
*Keterangan: naskah ini semula dibacakan dalam Konferensi Asia Pacific Society of Ethnomusicology (APSE), 13 November 2021, di Manila).
Daftar Pustaka
Arps, Bernard. 1992. Tembang in Two Traditions: Performance and Interpretation of Javanese Literature. London: School of Oriental and African Studies.
Frankfort, Henri. 1978. Kingship and the Gods: A Study of Ancient Near Eastern Religion as the Integration of Society and Nature. Chicago: The University of Chicago Press.
Geettz. Clifford, 1975. The Religion of Java. Chicago: The University of Chicago Press.
Hastanto, Sri. “Tembang Macapat in Central Java”. Proceedings of the Royal Musical Association. Vol. 110 (1983 – 1984), pp. 118-127. https://www.jstor.org/stable/766240
Hatch, Martin. “The Song Is Ended: Changes on the Use of Macapat in Central Java”. Asian Music. Vol. 7, No. 2, Symposium on the Ethnomusicology of Culture Change in Asia. (1976), pp. 59-71 – https://doi.org/10.2307/833789 – https://www.jstor.org/ stable/ 833789
Hood, Mantle. 1958. Javanese Gamelon in the world music. Jogjakarta: Penerbit Kedaulatan Rakjat
Kartomi, Margaret J. 1973. Matjapat Sonqs in Central and West Java. Canberra: Monash University and Australian National University Press.
Kunst, Jaap. 1973. Music in Java. Vol. I and II. The Hague: Martinus Nijhoff.
Lentz. Donald A. 1965. The Gamelan Music of Java and Bali: An Artistic Anomaly complementary to Primary Tonu1 Theoretical Systems. Lincoln: University of Nebraska Press,
Ossenbrugen. F. Van. 1975. Asal-usul Konsep Jawa tentang Macapat dalam hubungannya dengan Sistem-sistem Klassifikasi Primitif. Jakarta: Bhratara.
Pigeaud, Th.1967. Literature of Java- Vol. I: Synopsis of Javanese Literature 900–1900 A.D. The Hague: Martinus Nijhoff,
Yu-lan, Fung, and Derk Bodde (ed.). 1966. A Short History of Chinese Philosophy: A Systematic Account of Chinese thought from its Origins to the Present Day. New York: MacMillan Publishing Co., Inc.
Barbalet, Jack. 2017. Confucianism and the Chinese Self Re-examining Max Weber’s China. Singapore: Palgrave Macmillan.