Oleh: Siti Mariatul Kiptiyah (Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Dosen STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta)
Ini adalah salah satu halaman kitab suci Taurat yang mengalami penyalinan ke dalam bahasa dan aksara Jawa. Selain Taurat, ada pula kitab lain yang mengalami kondisi serupa, yakni Zabur, Injil (Perjanjian Baru), dan Al-Qur’an. Keempatnya merupakan kitab suci agama samawi. Di halaman sampul kitab Zabur bahkan tertulis: “Kitab Zabur saking Basa Ngibrani: Kabasakaken Jawi”, yang berarti “Kitab Zabur dari Bahasa Ibrani: Dialihbahasakan (ke dalam) Bahasa Jawa”.
Penulis belum dapat memastikan kapan tepatnya kitab-kitab suci tersebut disalin secara rapi sebagaimana gambar di atas. Hanya kitab Prajanjiyan Hanyar (Perjanjian Baru) yang menunjukkan secara jelas diterbitkan pada 1933 oleh British and Foreign Bible Society, Singapore. Sedangkan Al-Qur’an, yakni Kur’an Jawi ditulis kisaran awal abad ke-20. Dengan melihat pola penulisan yang serupa, penulis berasumsi bahwa penyalinan kitab-kitab suci agama samawi di Jawa terjadi pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 di mana tradisi penyalinan atau penulisan teks-teks beraksara Jawa telah seragam menggunakan mesin ketik standar.
Keberadaan salinan sejumlah kitab suci agama samawi dalam bahasa dan aksara Jawa mengingatkan penulis pada tulisan Bekki (1975). Salah satu kutipannya tertulis sebagaimana berikut:
“…syncretism is very conspicuous in the religion of Java. This perhaps results from the flexibility of the Javanese people in accepting various incoming religions from the outside world. In historical times, upon their underlying animistic beliefs, Javanese had successively accepted Hinduism, Buddhism, Islam and Christianity, and “Javanized” them all.”
Kata-kata Bekki (1975:20) di atas di masa lalu sering digunakan para Indonesianis sebagai penegasan betapa sinkretis-nya agama-agama di Jawa, termasuk Islam. Dengan mengacu pada kutipan yang sama, penulis ingin menyoroti bagaimana keterbukaan orang Jawa terhadap masuknya agama-agama dan bagaimana agama-agama itu melalui kitab sucinya kemudian dijawakan.
Argumen Bekki, hemat penulis, relevan dengan bukti-bukti adanya kitab suci agama-agama yang disalin ke dalam bahasa dan aksara Jawa. Keberadaan bukti-bukti tersebut paling tidak akan sedikit memperlebar diskusi tentang agama-agama di Jawa yang tidak melulu berpijak pada praktik atau ritual keagamaan melainkan pada teks kitab sucinya.
Sebagai unsur penting dalam agama, diskusi tentang kitab suci menjadi selalu menarik. Beberapa sarjana Barat mendiskusikan kitab suci dari segi isinya dalam kaitannya dengan historisitas dan juga kandungannya yang sering dibaca secara hermeneutis. Persoalan kitab suci yang mengalami vernakularisasi bahasa di sisi lain juga perlu didiskusikan, terutama vernakularisasi ke dalam bahasa Jawa. Proses vernakularisasi ini jika dijabarkan tidak hanya mengubah huruf asli dengan huruf Jawa, tetapi juga menjelaskan makna teks, sekaligus menyelaraskan konsep dan nilai ajaran agama-agama ke dalam alam budaya Jawa.
Dengan begitu, konsep dan ajaran agama-agama di dalam kitab suci didialogkan dengan kearifan pandangan hidup yang dipahami orang Jawa kebanyakan. Dari sini, muncul pertanyaan mengapa perlu dilakukan pelokalan bahasa terhadap kitab suci agama-agama? Sebagaimana jamak diketahui, bahasa memainkan peran penting dalam transmisi pengetahuan. Keterbukaan masyarakat Jawa terhadap masuknya agama-agama diikuti dengan kesediaannya menjadi bagian dari agama-agama tersebut. Sementara itu, agama-agama samawi turun dan berkembang di tempat yang jauh dari komunitas Jawa dengan bahasa yang tidak dimengerti orang Jawa.
Bahasa juga menyesuaikan identitas tertentu. Dengan menggunakan bahasa Jawa, maka identitas baru yang muncul adalah Kristen Jawa, Muslim Jawa, dan sebagainya.
Penyebaran agama-agama samawi ke Jawa dengan demikian memerlukan media perantara berupa bahasa Jawa agar mudah diterima oleh komunitas Jawa. Dalam hal ini, penyalin melakukan audience design yang mengubah cara berkomunikasi sesuai dengan situasi dan konteks di mana mereka berada. Selain itu, bahasa juga menyesuaikan identitas tertentu. Dengan menggunakan bahasa Jawa, maka identitas baru yang muncul adalah Kristen Jawa, Muslim Jawa, dan sebagainya.
Para penganut agama samawi membahasa-jawakan kitab sucinya masing-masing, mengganti huruf asalnya dengan huruf Jawa, serta memasukkan unsur-unsur bahasa dan budaya Jawa ke dalamnya. Contoh sederhananya adalah sebutan “Pengeran” untuk Tuhan yang sesuai dengan alam pikiran Jawa. Penggunaan istilah “Pengeran” tidak hanya muncul dalam salinan kitab suci Al-Qur’an melainkan juga kitab lainnya.
Penggunaan istilah “Pengeran” tidak hanya muncul dalam salinan kitab suci Al-Qur’an melainkan juga kitab lainnya.
Persoalan penyalinan kitab suci ke dalam bahasa lokal Jawa muncul pada kitab suci Al-Qur’an. Berbeda dengan beberapa kitab suci lain, penyalinan Al-Qur’an ke dalam bahasa ‘ajam (bahasa lokal) menuai kontroversi yang serius. Perdebatan itu lahir atas pertimbangan teologis dan kebahasaan Al-Qur’an yang mengandung i‘jaz (mukjizat). Bahasa Al-Qur’an tidak dapat digantikan dengan bahasa yang lain. Perdebatan inilah yang memicu adanya fatwa keharaman menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa lokal, sementara menafsirkannya diperbolehkan. Sebagaimana banyak dikutip (Ichwan 2001; Kaptein 2014), fatwa itu di antaranya diberikan oleh seorang Mufti Betawi bernama Sayyid Usman (w.1914).
Di luar perdebatan tentang penyalinan Al-Qur’an ke dalam bahasa dan aksara lokal Jawa, ada banyak hal menarik dari sejumlah kitab suci beraksara Jawa yang membutuhkan diskusi lebih lanjut. Jika Pollock (2006) menemukan kata kunci “Sanskrit Cosmopolis” atas penelitiannya terhadap teks-teks India yang tersebar di berbagai kawasan dan mengalami vernakularisasi, dan diteruskan oleh Ricci (2011) terhadap teks-teks Arab yang kemudian disebut “Arabic Cosmopolis”, kitab-kitab suci agama samawi dari berbagai bahasa yang disalin ke dalam bahasa Jawa adalah kebalikan dari kajian keduanya. Dengan adanya salinan sejumlah kitab suci, bahasa dan aksara Jawa pada masanya telah berperan penting dalam transmisi ajaran agama-agama besar dunia di Nusantara, khususnya Jawa.[]