Oleh: Suherman (Dosen Pendidikan Seni di Universitas Muhammadiyah Enrekang, Sulawesi Selatan)
Di dunia akademik, pembicaraan mengenai kehidupan sosial-budaya yang dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan supranatural bukanlah hal baru. Hal itu karena dunia supranatural sangat erat dengan kehidupan manusia sejak zaman dahulu kala. Nusantara juga banyak dipenuhi oleh aneka ragam tradisi dan budaya, termasuk ritual-ritual keagamaan yang penuh dengan nuansa spiritual-religius.
Tulisan ini akan membahas salah satu produk budaya yang juga memilki nilai spiritual-religius yang tinggi, yakni Tau Tau di Toraja, Sulawesi Selatan. Secara khusus, tulisan ini mendiskusikan Tau Tau dalam konteks ajaran Aluk To Dolo.
Sekilat tentang Suku Toraja
Toraja merupakan salah satu wilayah yang berada di dataran tinggi Sulawesi Selatan. Albert C. Kruyt, N Adriani, dan R.W, Kaudern (dalam Umar, 2003:6-9) pernah merekonstruksi asal mula perpindahan dan penyebaran penduduk Toraja berdasarkan bukti budaya yang berkembang dalam masyarakat.
Menurut Kruyt, sebelum masuknya penduduk Toraja ke daerah pedalaman Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, ternyata wilayah tersebut sudah didiami oleh penduduk yang belum diketahui secara jelas identitasnya.
Dalam mitologi-mitologi suku Toraja, masyarakat suku Toraja yang terikat dalam suatu kesatuan yang disebut Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo memiliki leluhur yang masuk dari arah selatan melalui Sungai Sa’dan. Mereka berlayar dari Pulau Pongkok ke Sungai Sa’dan, kemudian setelah sampai di Enrekang mereka menambatkan perahunya karena sungai yang dilewati sudah tidak bisa lagi dilayari perahu.
Di Enrekang mereka berkumpul dan bermukim (ada yang tinggal menetap di sana) di daerah Rura dan Bambapuang yang terdapat di sebelah utara kota Enrekang sekarang. Dari Enrekang mereka kemudian menyebar terus ke Mengkendek, Makale, Sangngallak, Rantepao, dan terus ke Sulawesi Tengah (Tangdilintin, 1981:5; Sitonda, 2007:2).
Sistem kepercayaan suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut Aluk. Menurut Umar (2003:16-17), kepercayaan turun termurun ini dianggap sebagai agama dan atau kepercayaan asli suku Toraja, yang dulunya disebut Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau sering juga disebut Aluk Sanda Pitunna (7777), atau sering disebut Aluk To Dolo. Dalam Aluk inilah diatur segala macam sistem tatanan sosial-budaya masyarakat suku Toraja, baik dari segi kekuasaan, starata sosial, hingga ritual-ritual, termasuk didalamnya perlengkapan ritual yang salah satunya adalah Tau Tau.
Sekilas Tentang Tau-Tau
Tau Tau di Toraja merupakan sejenis patung yang dibuat sebagai personifikasi orang Toraja yang meninggal dunia, dan sekaligus sebagai simbol ruh nenek moyang masyarakat suku Toraja.
Jika ditinjau dari segi ide atau gagasan penciptaannya, Tau Tau di Toraja merupakan karya seni rupa (patung primitif) yang lahir dari dorongan kebutuhan spiritual masyarakat religius-arkhais suku Toraja. Menurut Sumardjo (2010:111), karya seni yang lahir dari dorongan kebutuhan spiritual adalah karya seni yang penciptaannya ditujukan untuk memenuhi kebutuan-kebutuhan spiritual manusia.
Dengan kandungan spiritualitas yang tinggi, Tau Tau hadir sebagai simbol dari realitas Yang Transenden, yang ditangkap oleh masyarakat religius-arkhais suku Toraja dalam wujud analogi dari “yang tidak ada” dirumuskan dalam “ada”, dan oleh karena itu kehadirannya terjadi dalam peristiwa ritual Rambu Solo’.
Wibowo (2015:113) pernah mengatakan bahwa patung yang diciptakan pada masa animisme merupakan manifestasi hubungan antara manusia, alam lingkungannya, serta alam semesta, dengan makna dan fungsinya yang erat terkait pada upacara keagamaan dan biasanya dianggap sebagai perwujudan nenek moyang atau wujud kehadiran dimensi alam lain.
Demikian halnya dengan Tau Tau di Toraja, sebagaimana penciptaannya sangat berkaitan erat dengan upacara Rambu Solo’, dan dianggap sebagai perwujudan ruh nenek moyang / leluhur masyarakat suku Toraja yang dianggap sebagai panutan dan pemberi berkah bagi masyarakat suku Toraja dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Ruh orang Toraja yang meninggal (nenek moyang) menjelma di dalam Tau Tau (Jayadi, 2001:379).
Sebagai visualisasi rasa syukur masyarakat suku Toraja terhadap ruh nenek moyang, Tau Tau bukan hanya dianggap sebagai benda estetik layaknya patung-patung biasa yang dipajang dipinggir jalan atau di dalam ruang tamu, tetapi juga dihormati dan bahkan diwaktu tertentu patung itu dijadikan sebagai objek pemujaan (disakralkan), seperti dalam upacara Ma’nene/Ma’bayui Tau Tau.