Beranda Publikasi Kolom Agama-Agama Nusantara yang Dipinggirkan

Agama-Agama Nusantara yang Dipinggirkan

9389
0
ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar/foc.

Oleh: Petrik Matanasi (Penulis buku-buku sejarah, kolumnis di tirto.id)

Tak ada satu pun agama resmi, yang diakui pemerintah, yang betul-betul asli Indonesia. Mulai dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha sampai Konghucu, semuanya impor dari luar. Agama asli Indonesia sendiri justru sedang menuju kepunahan.

Secara resmi, Indonesia hanya mengakui enam agama. Padahal, di luar itu, banyak agama-agama lokal, yang merupakan agama asli dari Indonesia yang sudah ada sejak berabad-abad silam.

Berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1965 dan Undang-Undang (UU) Nomor 5 tahun 1969, agama-agama yang dianut penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Namun, Konghucu dipinggirkan di masa Orde Baru. Berdasar Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri tahun 1974, kolom agama di KTP harus diisi dengan pilihan agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu ,dan Budha.

Di luar lima agama itu, hanya dianggap aliran kepercayaan saja, termasuk agama lokal. Padahal, menurut Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003, pernah ada 245 agama lokal di Indonesia. Karena tidak diakuinya agama lokal, muncul anggapan bahwa orang Indonesia tidak beragama sebelum abad pertama.

Hanya segelintir orang Indonesia saja yang tahu soal adanya agama lokal. Apalagi generasi yang dilahirkan setelah 1974, setelah keluarnya SK Menteri Dalam Negeri soal kolom agama yang wajib diisi salah satu dari lima agama pilihan.

“Menurut Kuntjaraningrat, dalam bukunya Kebudayaan, Mentaliteit dan Pembangunan (1974), istilah agama digunakan untuk menyebut enam agama yang diakui resmi oleh negara, seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Sedangkan semua sistem keyakinan yang tidak atau belum diakui secara resmi disebut religi (agama).”

Menurut Parsudi Suparlan dalam buku Agama Dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologis (1988), agama sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhan, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Secara khusus, agama didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci.

Mengikuti Parsudi Suparlan, jika agama itu seperangkat peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, maka tak hanya keenam agama yang diakui pemerintah yang layak disebut agama. Aliran kepercayaan pun layak disebut agama.

Dipunahkan oleh Politik

Tak jauh dari petilasan Ario Penangsang, di desa Jipang, Cepu, Kabupten Blora, yang dialiri Bengawan Sore, sebuah gereja berdiri. Rupanya, penduduk desa itu dulunya adalah pemeluk agama lokal, Kejawen. Tahun 1965, pemerintahan Orde Baru lahir. Keluar ketentuan baru untuk mencantumkan agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri tahun 1974, kolom agama di KTP harus diisi dengan memilih salah satu dari lima agama pilihan pemerintah. Pilihannya hanya Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha saja. Kejawen yang dianut warga Jipang tak ada dalam pilihan. Tak mengisi, bisa dicap komunis atau PKI. Cap PKI tentu akan membuat hidup mereka sulit. Anak mereka tak bisa jadi PNS dan TNI jika ada cap PKI. Warga desa Jipang yang buta politik wajib mengisi kolom agama itu.

Mereka pernah bermusuhan secara kultural dengan orang pesantren beragama Islam yang ada di seberang sungai. Mereka tentu tak ingin memilih Islam. Akhirnya mereka memilih Kristen. Lalu Kejawen, agama asli mereka, pun terpinggirkan.

Cerita pilu lain soal agama lokal juga terjadi di Jawa Barat. Sekelompok orang-orang Sunda Wiwitan terancam juga di masa Orde Baru. Meski tak punya permusuhan kultural dengan orang-orang Islam, di awal orde baru mereka juga terancam dan memilih masuk Kristen. Agama asli mereka ditinggalkan sementara meski tak hilang. Belakangan, mereka keluar lagi dan menegakkan kembali agama lokalnya.

Di tempat lain, tentu banyak agama lokal yang tak menjadi pilihan dari SK Menteri Dalam Negeri tahun 1974. Terpaksalah mereka memilih salah satu dari lima agama pilihan pemerintah itu. Islam paling banyak dipilih karena cukup mengucapkan dua kalimat syahadat.

Salat, puasa di bulan Ramadhan, membayar zakat, dan naik haji, adalah soal nanti bagi mereka. Barangkali ini akar mula dari fenomena yang disebut Islam KTP. Yakni orang-orang yang mencantumkan kata Islam di KTP saja agar tak dituduh PKI, tetapi tak menjalankan syariat Islam. Sastrawan Besar Indonesia Pramoedya Ananta Toer, menyebutnya sebagai Islam Statistik. Secara statistik penganut Islam lebih banyak daripada agama lain.

Agama Konghucu pun tak jauh beda nasibnya dengan agama lokal, tak diakui oleh orde baru. Orang-orang Tionghoa yang menganut Konghucu pun tak berdaya. Tak heran banyak orang Tionghoa beragama Kristen, Katolik atau Budha di masa orde baru. Mereka yang menganut Konghucu seharusnya beribadah di Klenteng. Namun, karena penganutnya menulis Budha dalam kolom agama di KTP, Klentengnya pun beralih fungsi seperti Vihara.

Setelah Konghucu diakui lagi sebagai agama, berdasar Keputusan Presiden nomor 6 tahun 2000, di masa masa kepresidenan Abdurahman Wahid alias Gus Dur, Klenteng pun diramaikan lagi oleh penganut Konghucu. Namun, Klenteng setelah orde baru tak hanya menampung Konghucu saja, tapi juga penganut kepercayaan Laotze dan sebagian pemeluk agama Budha. Klenteng bisa digunakan untuk ibadah tiga agama.

Ragam Agama Lokal

Hindu diyakini masuk pada abad pertama Masehi, tak lama disusul Budha. Islam sendiri masuk kira-kira seabad setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Di abad ke-7 sudah ada kerajaan Islam Perlak di Aceh. Lalu Agama Kristen masuk bersama orang-orang Eropa ke Indonesia. Konghucu tentu masuk bersama pada pedagang dan imigran dari daratan Tiongkok ke Indonesia.

Sebelum kedatangan agama-agama dari luar, dalam buku sejarah di sekolah, hanya disebutkan aliran kepercayaan seperti Animisme dan Dinamisme saja. Buku pelajaran sejarah yang beredar di sekolah tak menyebut dengan jelas agama-agama asli Indonesia.

Padahal, ada banyak agama asli Indonesia sebelum masuknya agama-agama dari luar. Ada Kaharingan sebelum agama Kristen dan Islam masuk ke Kalimantan. Agama ini dianut orang-orang Dayak. Sunda Wiwitan dan Buhun juga tumbuh di daerah berlatar budaya Sunda di sekitar Jawa Barat. Di daerah Banten, orang-orang Badui sebelum Islam sampai, sudah berkembang Urang Kanekes. Di daerah berbahasa Jawa di Jawa Tengah dan Jawa Timur setidaknya ada beberapa kepercayaan seperti Kejawen, Purwoduksino, Budi Luhur. Di zaman kolonial, setelah masuknya Islam, muncul agama Samin.

Di Sulawesi Selatan, ada agama Aluk Tadolo yang dianut orang-orang Tana Toraja sebelum Kristen berkambang di sana. Selain itu ada juga agama Tollatang di Sulawesi Selatan sebelum Islam masuk. Sebelum Kristen masuk, agama Tonaas Walian dianut orang-orang Minahasa di Sulawesi Utara. Agama Wetu Telu yang mirip Islam berkembang di Lombok. Sebelum Kristen berkembang, agama Naurus jadi pegangan orang-orang di Pulau Seram, Maluku. Agama Marapu juga berkembang di Sumba sebelum Kristen dan Islam berjaya di Pulau Sumba. Marapu pun tak hilang dari ingatan. Nama Marapu dijadikan nama Band Reagea di Yogya.

Di Sumatera Utara, selain Islam berkembang di selatan Danau Toba dan Kristen di Utara Danau Toba, berkembang di sana agama Mulajadi Nabolon dan Parmalim dianut orang-orang Batak. Tak banyak catatan soal agama-agama lokal yang mulai lokal yang justru menuju kepunahan setelah Republik Indonesia berdiri.

Berdasar data dari Sensus Penduduk Indonesia 2010 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), dari 237,6 juta penduduk Indonesia, sebanyak 87,18 persen penganut Islam, 6,96 persen penganut Kristen, 2,9 persen penganut Katolik, 1,69 persen penganut Hindu, 0,72 persen penganut Budha dan 0,05 persen penganut Konghucu. Sebanyak 299,6 ribu orang atau 0,13 persen penduduk diketahui menganut di luar agama resmi pemerintah. Sementara itu sebanyak 896 ribu orang lebih atau sekitar 0,38 persen, belum diketahui apa agamanya.

Data Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003 menyebutkan, sebanyak 400 ribu orang Indonesia menganut agama lokal Indonesia, yang tidak diakui sebagai agama oleh pemerintah. Sekitar 25 persennya merupakan penganut agama Buhun di Jawa Barat. Sisanya agama lain.

Saat ini, jumlah pengikut agama lokal bisa jadi berubah. Agama-agama lokal yang dianut penduduk di daerah yang adat istiadatnya kuat dan kadang terpencil ini, bisa jadi tergerus oleh agama-agama yang diakui pemerintah. Belum lagi agama lain macam Baha’i atau Yahudi juga masuk ke Indonesia. Sifat agama lokal biasanya hanya dianut oleh komunitas tertentu dan turun temurun. Tak masif pula dalam berdakwah. Perlahan agama lokal ini punah. Dari semua unsur kebudayaan Indonesia asli, hanya sistem kepercayaan atau agama yang lebih cepat hilang ketimbang yang lain.[]

Sumber: tirto.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini