Beranda Publikasi Kolom Tafsir Waktu dalam Kosmologi Budaya

Tafsir Waktu dalam Kosmologi Budaya

2602
1

Oleh: Tjahjono Widijanto (Penulis adalah pendidik, penyair dan esais. Alumnus Program Doktor Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret Solo. Tinggal di Ngawi, Jawa Timur).

Dalam sejarah kebudayaan manusia pergantian waktu atau pergantian tahun selalu disikapi sebagai pengulangan kosmogoni, sesuatu yang ditafsirkan sebagai permulaan waktu lagi dari awal. Di dalam akhir tahun dan pengharapan akan “tahun baru” terkandung pemahaman atau pengulangan mistis dari chaos (kekacauan) menuju sesuatu yang kembali cosmos (keteraturan).

Pemahaman dan penafsiran pergantian waktu seperti di atas sudah tampak sejak zaman-zaman peradaban kuno yang dilukiskan pada acara-acara festival pergantian tahun atau musim. Misalnya peringatan tahun baru di masa Babilonia yang disebut akitu. Perayaan akitu dapat dilaksanakan pada saat siang atau malam yang lamanya sama di musim semi, di bulan Nisan, juga pada saat yang sama di musim gugur yang di sebut bulan Tisrit.

Di dalam berlangsungnya perayaan akitu dikenal apa yang disebut sebagai epic Penciptaan (enuma elis) yang diceritakan dalam bentuk lakon di kuil Marduk. Dalam lakon itu dikisahkan pertarungan antara Dewa Marduk dan raksasa laut bernama Tiamat yang merupakan simbol dari pengakhiran kekacauan melalui kemenangan akhir dewa. Dewa Marduk menciptakan kosmos dari potongan badan Tiamat yang hancur dan menciptakan manusia dari darah demon Kingu, mahluk kaki tangan Tiamat yang dipercaya untuk menyimpan “tablet nasib”.

Peringatan atas penciptaan yang pada hakikatnya merupakan reaktualisasi aksi kosmogonik ini juga ditemukan pada upacara tahun baru yang dilakukan bangsa Hittites, pada bangsa Mesir kuno dan bangsa Ras Shamra. Dimana dilakonkan juga pertarungan antara dua kelompok aktor seperti halnya Marduk dan Tiamat. Hal ini berarti mengulang atau mengaktualisasikan kembali perjalanan kosmogoni, perjalanan dari chaos menuju kosmos.

Di kalangan masyarakat Jawa untuk mengaktualisasikan kembali perjalanan menuju keteraturan ini, pada pergantian tahun baru Sura (1 Muharam) dilakukan tradisi nglanglang berjalan mengitari desa, kraton, atau tempat-tempat tertentu dengan berdiam diri (hening).

Sikap hening ini dipercayai dapat memyimpan potensi diri untuk menangkap “sasmita” untuk pergantian tahun berikutnya. Sikap henig  merupakan manifgestasi pula dari sikap awal yakni awal mula keberadaan (awal/ purwa atau sangkan) yang kemudian bergerak menjadi madya yang kemudian berputar lagi mejadi ketiadaan atau wasana.

Tiga serangkai proses perjalanan kosmogoni dari chaos ke kosmos ala Jawa  ini dikenal dengan nama purwa-madya-wasana atau dikenal pula dengan konsep sangkan paraning dumadi. Seperti halnya pertarungan antara Marduk dan Tiamat, proses kosmogoni Jawa juga digambarkan dengan perang kembang, perang antara tokoh Arjuna dan Cakil yang digambarkan dalam setiap lakon wayang pada jam 12 malam, jam yang bagi masyarakat Jawa merupakan pergantian dari malam ke siang, dari gelap ke terang, dari chaos ke kosmos.

Pemahaman akan pengulangan abadi aksi kosmogonik ini juga mengakibatkan kesadaran akan kematian menuju kehidupan. Maka sering tampak pula perayaan sebagai produk pemahaman tahun baru yang dirangkaikan dengan kultus kematian. Dari penafsiran ini muncul berbagai kepercayaan dimana orang yang meninggal kembali pada keluarganya, sering dianggap kembali sebagai “kematian yang hidup”.

Di dalam bangsa Semitik terdapat sebuah teks Pahlavi yang diberitakan oleh Darmasteter yang mengisahkan di bulan Fravardin, di hari Xuurdath, Tuhan Ormazd membangkitkan dan membuat badan kedua dan dunia akan diselamatkan dari setan, racun, bencana, dan sejenisnya. Manusia akan terbebas dari ruh jahat dan dari kematian untuk selama-lamanya karena dari langit akan ditumpahkan hujan (air) yang bisa menyucikan manusia. Dari sini tampak bahwa air menjadi simbol penting bagi kosmogoni dan ide penciptaan.

Simbol air menjadi simbol universal bagi sesuatu yang memunculkan atau menerbitkan hal-hal yang baik dan menumbuhkan kelahiran, penciptaan atau kehidupan. Di Jawa, lakon wayang sufistik yang sangat masyhur, yakni Dewa Ruci atau Bima Sumi dimulai dengan adegan Bima diperintahkan gurunya, Drona, untuk mencari tirta (air) amerta. Air kehidupan yang dapat membuat yang busuk menjadi segar, yang jahat menjadi baik, yang rusak menjadi baik, yang tua menjadi kembali muda.

Pengulangan simbolik atas penciptaan dengan air sebagai sarana penting juga diperlihatkan pada festival tahun baru yang diselenggarkan oleh orang Mandaens di Irak dan Iran. Juga pada  permulaan tahun orang Tatar di Persia ada upacara menanam biji dalam guci yang dipenuhi tanah dibarengi dengan siraman air.

Tradisi Jepang juga memiliki konsep yang sama  tentang tafsir akhir tahun dengan kematian yang mungkin dapat digolongkan dalam bentuk psiko-fisiologi mistis, yang oleh Masao Oka disebut sebagai “kompleks tama (tama complex). Tama merupakan subtansi spiritual yang ditemukan pada manusia di dalam ruh orang mati dan di dalam “orang suci”, yang ketika musim gugur berganti menjadi musim semi.

Perubahan musim ini dapat mendorong orang yang telah mati menuju ke arah kediaman orang-orang yang masih hidup. Tama merupakan substansi spiritual yang ditemukan pada manusia, di dalam roh orang mati dan di dalam “orang suci” yang ketika  musim gugur akan berganti dengan musim semi bergerak dan berusaha meninggalkan jasad.

Peralihan musim dari musim gugur ke musim semi ini merupakan simbol reaktualisasi chaos menuju kosmos, kerusakan menuju keteraturan. Tama merupakan penanda tidak dapat dihindarinya kekacauan yang harus diakhiri pada satu epos historis tertentu dalam rangka pembaharuan dan regenerasi, memulai kembali sejarah pada awalnya. Dalam tama ini pengalaman primitif menemukan pertanda tidak dapat dielakkannya kekacauan yang harus diakhiri pada satu epos historis tertentu dalam rangka memungkinkan pembaharuan dan regenerasi, dimulainya kembali sejarah pada awalnya.

Di India (konsep Hindu) dalam Aitareya Brahmana, VII, 7,2, dikenal istilah “prajapati adalah tahun, kematian adalah tahun berganti. Tahun sama dengan kematian dan siapa saja yang mengetahui hakekat bahwa tahun (baru) merupakan kematian, hidupnya tidak akan hancur”.

Di dalam Prajapati terdapat simbol-simbol waktu kosmik. Lima lapis terdiri dari altar api (masing-masing altar sebagai satu musim), lima  musim dalam setahun. Karena ada lima musim maka ada lima lapisan, maka Tuhan membangun dirinya dengan lima musim tersebut dan setiap tahun dalam prajapati dapat dihidupkan kembali, waktu diregenerasikan melalui kebaruan yang diciptakan ulang.

Bagi manusia primitif, regenerasi waktu juga terus menerus terjadi yang dikaitkan selain dengan matahari juga dengan bulan. Bulan adalah mahluk pertama yang harus mati sekaligus pula yang pertama harus hidup kembali. Dalam perspektif yang berhubungan dengan bulan, kematian individu dan kematian periodik manusia diperlukan bagi regenerasi mereka. Yang kematian individu itu dibingkai dengan kematian waktu dan kelahiran waktu yang ditandai dengan pergantian matahari atau tahun baru. Segala sesuatu mulai dan mulai lagi pada permulaannya pada setiap saat.

Pembelajaran akhir yang dapat dicatat dari penafsiran manusia tentang kala atau waktu di sepanjang sejarah kebudayaan manusia adalah masa lampau tidak lain merupakan prefigurasi bagi masa depan. Tidak ada kejadian yang dapat diubah dan tak ada transformasi yang bersifat final. Segala sesuatu merupakan pengulangan yang memungkinkan penampakan dan eksistensi bagi segala sesuatu. Waktu tidak memiliki pengaruh akhir pada eksistensi manusia karena waktu terus menerus akan mengalami regenerasi. [NI]

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini