Beranda Publikasi Kolom Hikayat Celeng

Hikayat Celeng

4369
2

Oleh: Trias Kuncahyono (penulis adalah wartawan senior Kompas)

Begitu dengar kata “celeng”, mendadak ingat Romo Sindhunata dan perupa Djoko Pekik. Romo membuat beberapa tulisan tentang celeng. Bahkan Romo Sindhu mengarang novel berjudul Menyusu Celeng (2019).

Djoko Pekik membuat lukisan celeng yang diberi judul “Berburu Celeng.” Lukisan cat minyak di atas kanvas itu menampilkan seekor celeng besar sekali, hitam, dengan badan terbalik, diikat pada bambu dan digotong oleh dua lelaki kurus yang digambarkan busung lapar.

Yang menarik, kerumunan rakyat di sekitar celeng itu bersuka-ria, penuh kegembiraan, sambil menari-nari. Rakyat menyambut tertangkapnya celeng hitam dengan suka-cita dan dilukis dengan penuh warna beda dengan warna celeng yang hitam legam.

Lukisan “Berburu Celeng” itulah yang menginspirasi Romo Sindhu menulis artikel berjudul Negeri Para Celeng (Kompas, 31/6/2011). Dalam artikel itu, Romo Sindhu antara lain menulis, “Lukisan itu dibuat setelah kejatuhan Orde Baru. Konteksnya fajar merekahnya era reformasi.

Menyambut lukisan tersebut, penulis mengeluarkan sebuah buku berjudul Tak Enteni Keplokmu, Tanpa Bunga dan Telegram Duka (1999). Seperti halnya rakyat waktu itu, penulis juga diliputi euforia reformasi. Toh, terpengaruh oleh kecemasan si pelukis, penulis bertanya: ”Celeng dhegleng sudah tertangkap, tapi mengapa di depan semuanya tambah gelap?”

Kata Romo Sindhu, dalam artikelnya, dalam masyarakat Jawa ada yang namanya pesugihan babi ngepet atau bagong liyer atau celeng gontheng. Seperti halnya kodhok ijo, kandhang bubrah, atau Nyai Blorong, pesugihan babi ngepet adalah sejenis upaya menumpuk kekayaan dengan cara menyerahkan diri kepada setan. Sebagai imbalan penyerahan diri, pemilik pesugihan akan dibantu kekuatan jahat memperoleh kekayaan dunia tanpa batas.

Dengan pesugihan babi ngepet atau celeng gontheng, orang dapat mengubah dirinya menjadi celeng. Ia dapat berkeliaran ke mana-mana, mencuri dan mengeruk barang, harta, atau kekayaan tanpa diketahui siapa pun. Ia bisa mengeduk apa saja, jagung, padi, ketela, dan palawija lain, lalu membawanya pulang ke rumah untuk dijadikan makanan berlimpah bagi dirinya sendiri dan sanak keluarga.

Celeng gontheng memang sangat rakus. Di desa-desa, celeng gontheng dikenal suka mendatangi orang yang sedang punya hajatan. Maklum, di sana ada banyak uang atau barang hasil hajatan. Dengan mudah, celeng gontheng itu menyedot semuanya. Karena itu dulu, jika sedang punya hajatan, orang suka menutup got atau peceren saluran air dan kotoran. Sebab, biasanya di sana celeng gontheng menunggu, lalu menyedot semua lewat saluran itu.

Itu bagian dari cerita Romo Sindhu dalam artikelnya Negeri Para Celeng.

Akhir-akhir ini celeng banyak disebut-sebut. Celeng itu, mula-mula muncul di Purworejo, Jawa Tengah dan mulai “berkeliaran” di berbagai wilayah Jawa Tengah lainnya, seperti Solo.

Apakah celeng yang muncul belakangan ini dan menjadi trending topic di media-media sosial, media online,  sama dengan celeng yang digambar Djoko Pekik dan ditulis Romo Sindhu? Tentu beda. Celeng dilukis Djoko Pekik dan diceritakan Romo Sindhu adalah celeng rakus: rakus kekayaan, yang menghalalkan segala cara untuk mengeruk kekayaan negara, untuk memperkaya diri, untuk korupsi. Celeng mereka celeng yang sungguh-sungguh dikuasai nafsu kebinatangan—karena celeng memang binatang.

Celeng pada lukisan Djoko Pekik dan artikel Romo Sindu adalah celeng yang gemuk karena kerakusannya; ditangkap rakyat, karena kerakusannya itu merusak, menggerogoti, dan bahkan menghancurkan tatanan hidup berbangsa dan bernegara. Celeng rakus seperti itu, sekarang ini, muncul di mana-mana, dari tingkat daerah hingga tingkat pusat. Walau sudah banyak yang ditangkap, tetap saja masih bermunculan, beranak-pinak. Celeng, babi, kalau beranak bisa sampai 10 ekor bahkan lebih.

Rakus atau tamak berarti ingin memperoleh lebih banyak dari yang diperlukan; loba; tamak; serakah (KBBI). Rakus atau tamak juga diartikan sebagai cinta kepada dunia (harta) terlalu berlebihan tanpa memperhatikan hukum haram yang mengakibatkan adanya dosa besar. Di sini ada sikap yang selalu ingin memperoleh sesuatu yang banyak untuk diri sendiri. Orang tamak selalu mengharap pemberian orang lain, namun dia sendiri bersikap pelit atau bakhil. Ia ingin mengumpulkan harta untuk kepentingan diri sendiri tanpa memperhatikan aturan.

Yang muncul sekarang ini adalah “celeng purworejo”, “celeng perjuangan” yang oleh mantan walikota Solo FX Hadi Rudyatmo disebut “banteng celeng.” Kata Rudyatmo, “saya lebih senang jadi banteng celeng. Karena banteng celeng ini menurut saya yang tegak lurus” (Kompas.com, 14/10/2021).

Mengapa celeng yang satu ini muncul di Purworejo? Sebenarnya tidak muncul di Purworejo, tetapi dimunculkan di Purworejo. Adalah Ketua DPP PDI yang juga Ketua DPD PDIP Jateng Bambang Wuryanto, yang pertama menggunakan istilah celeng bagi para kader PDIP Purworejo yang secara terbuka mendukung Ganjar Pranowo maju ke Pilpres 2024. Mereka disebut telah keluar dari barisan kader (karena mendahului keputusan pusat) dan lebih layak disebut celeng dari pada benteng.

Dari sinilah muncul istilah Barisan Celeng Berjuang, di Purworejo. Namanya perjuangan, ya bisa berhasil dan juga bisa gagal. Itu risiko perjuangan, yang harus diketahui bahkan disadari oleh siapa saja yang menyebut dirinya pejuang. Ya, seperti pepatah saja homo proponit sed Deus disponit, manusia merencanakan tetapi Tuhanlah yang menentukan.

Dalam perjuangan ada ketidakpastian. Tetapi, para pejuang harus memastikan bagaimana yang tidak pasti itu bisa menjadi pasti? Dibutuhkan usaha, niat, tekad, dan perjuangan yang keras. Dalam bahasa orang beriman, perlu ada keselarasan dan relasi erat antara gratia operans (rahmat yang diberikan) dan gratia cooperans (rahmat yang diusahakan). Maka ada kata-kata bijak ora et labora, berdoalah dan bekerjalah.

Barisan Celeng Berjuang itu ada di Purworejo yang dari dulu, memang, kota perjuangan. Sejarah bercerita, Purworejo di zaman Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) menjadi basis pasukan Pangeran Diponegoro. Karena itu, Belanda lalu mendirikan tangsi militer dan benteng di kota yang dulu bernama Kedung Kebo, di tepi  Sungai Bogowonto. Perang hebat tidak bisa dihindarkan, Belanda yang dibantu pasukan dari Kerajaan Surakarta yang dipimpin oleh Pangeran Kusumayuda beserta Ngabehi Resodiwiryo berhadapan dengan Pangeran Diponegoro yang dibantu oleh pasukan laskar Rakyat Bagelen.

Purworejo juga terkenal dengan kambing Etawa-nya (sekarang ditambah celeng). Di sana juga ada kesenian Dolalak. Makanan khasnya adalah Clorot. Clorot terbuat dari adonan tepung beras dan gula merah yang dikukus. Rasanya manis dan kenyal. Dibungkus daun kelapa muda, janur.

Yang tak kalah menarik, tahun lalu, di Purworejo muncul “kerajaan” baru yang bernama Kerajaan Agung Sejagat (KAS), berpusat di Bayan. Raja  KAS yang menyebut dirinya Totok Santoso Hadiningrat atau Sinuhun dan memiliki istri bernama Dyah Gitarja atau Kanjeng Ratu mengklaim bahwa kerajaannya sebagai penerus Kerajaan Majapahit (Kompas.com, 15/1/2020).

Itulah Purworejo.

Dari Purworejo muncul kisah-kisah menarik sekaligus ramai. Benar, yang dikatakan seorang sahabat. Lewat pesannya yang lumayan panjang. Sahabat itu menulis:

Bung, kita, di negeri ini, hidup dengan politik yang sangat ramai tapi sepélé. Sepélé, Bung. Sepélé.  Ya memang … Tak ada hal-hal mendasar yang dipertarungkan. Yang dipersoalkan bukanlah hal-hal yang menggetarkan pikiran, apalagi hati. Dan, juga bukan perkara  yang menjadi hajat hidup orang banyak. Yang saya maksudkan dengan “orang banyak” adalah masyarakat, rakyat, bukan orang banyak itu kelompoknya sendiri.

Yang ada hanyalah kebisingan, hirup-pikuk, kegaduhan, Bung. Orang lagi enak-enak menikmati hidup karena level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) diturunkan, tiba-tiba muncul celotehan dari tokoh politik, ya tokoh yang sekadar mencari perhatian, atau melunasi janji kepada para konstituennya.

Masyarakat juga diganggu gonjang-ganjing yang terjadi dalam tubuh partai, misalnya urusan AD/ART.  Padahal, itu urusan mereka sendiri. Urusan rakyat sekarang adalah bagaimana lolos dari pandemi Covid-19, dan memulihkan kehidupannya yang compang-camping karena pandemi.

Ah, ya sudahlah Bung. Kita ikuti saja ke mana angin bertiup dan air mengalir.

Begitu, pesan sahabat lewat WA. Dan, pesan itu tidak pernah saya balas. Saya memilih mengikuti sarannya untuk mengikuti ke mana angin bertiup dan air mengalir, sambil mengikuti bagaimana akhir kisah celeng itu: setragis celeng-nya Djoko Pekik yang diusung dua lelaki kurus  atau sebahagia massa rakyat yang menonton celeng raksasa Djoko Pekik. [NI]

*Keterangan: Tulisan ini semula dipublikasikan di homepage triaskun.id dan dimuat di portal Nusantara Institute atas ijin penulis.

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

2 KOMENTAR

  1. Sepakat dengan tulisan ini. Ya beginilah yg terjadi di bumi nusantara sekarang. Dan seperti pesan WA itulah yg saya kerjakan, cuma melihat dan mengikuti kemana arah air mengalir.

  2. Bahkan celeng celeng kecil ….. yang berbaju Korpri juga masih banyak berkeliaran. Meskipun baju nya lain, tetapi tetap celeng, sama rakus rakus-nya. Apalagi kalau melihat project. Celeng jenis ini pinter sekali meng-endus bau bau sedap.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini