Dewi Ayu Larasati (Akademisi & Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya)
Gairah kopi sedang bersemi di Indonesia. Kedai kopi tumbuh dimana-mana dan menjadi tren yang meluas di seluruh kota-kota besar di Indonesia. Namun sebelum fenomena menikmati secangkir di gerai kopi modern dan kekinian seperti saat ini, ternyata minuman kopi sudah sangat melekat dalam keseharian masyarakat leluhur kita tempo dulu. Bahkan beberapa daerah di Indonesia memiliki tradisi sendiri untuk menikmati secangkir kopi.
Di daerah Sumatra Barat, daun kopi telah dikonsumsi sebagai minuman teh yang dikenal dengan Kawa Daun atau Kopi Kawa. Minuman kawa daun merupakan minuman tradisional yang ditradisikan secara turun temurun dan telah dikenal luas oleh berbagai lapisan masyarakat Minangkabau. Penyajiannya juga terbilang cukup unik karena menggunakan tampuruang atau gelas batok kelapa (sayak dalam Bahasa Minang) yang diberi tatakan bambu.
Kawa Daun (Sumber: Dokumen Pribadi)
Konon kawa daun telah ada jauh sebelum datangnya masa kolonial dan era cultuurstelsel (tanam paksa). Minuman tersebut biasa dikonsumsi sehari-hari untuk menemani aktivitas, bahkan dalam beberapa acara atau upacara adat, minuman air kawa menjadi salah satu menu wajib yang harus disediakan.
Meskipun saat ini kemunculan beragam jenis minuman lain yang mewarnai dinamika trend dan gaya hidup masyarakat, namun kawa daun tetap eksis dan menyebar di berbagai tempat. Bahkan kawa daun kini disajikan dengan konsep ala café yang juga menyediakan beragam menu makanan khas ranah Minang. Oleh karena itu, kawa daun sesungguhnya telah ada dan mengakar di budaya Urang Minang.
Sejarah Kawa Daun di Ranah Minang
Tidak ada catatan siapa yang membawa kopi pertama dan bagaimana penyebaran kopi di Sumatra Barat sebelum kedatangan bangsa Eropa. Namun, dilihat dari segi linguistik, kata kawa daun sendiri berasal dari bahasa Arab “qahwah” yang berarti kopi. Kemudian, masyarakat Minangkabau menyesuaikan kata tersebut dengan dialeknya sendiri menjadi kawa daun atau “aia kawa”. Tampaknya, kopi mulai merambahi Nusantara melalui pedagang-pedagang Arab yang singgah untuk berdagang. Mereka datang jauh sebelum pedagang Eropa tiba di kawasan kepulauan ini.
Ihwal kawa daun juga disinggung dalam novel Max Havelaar (1860) karya Multatuli, nama pena dari Eduard Douwes Dekker, seorang Belanda yang menentang sistem tanam paksa. Dalam novel tersebut dikisahkan bagaimana seorang Komandan Garnisun Letnan Duclari terkejut saat mendengar ada minuman “kopi daun”. Menurut tokoh Pengawas Verbrugge, “kopi daun” tersebut sesungguhnya sudah biasa diminum orang-orang di Sumatra. Disebutkan bahwa itu adalah minuman dari daun kopi yang diseduh seperti teh yang berasal dari Sumatra Barat dan Kerinci.
Oleh karena itu, perihal sebutan “aia kawa” atau kawa daun di Sumatra Barat menunjukkan pengaruh perkenalan kopi yang dibawa oleh pedagang-pedagang Arab. Tradisi ini sudah ada sebelum bangsa kolonial Belanda tiba di wilayah itu.
Hal ini juga sejalan dengan pendapat Rusli Amran dalam bukunya Sumatera Barat Plakat Panjang (1985) bahwa kebiasaan masyarakat Minangkabau meminum kawa daun diadopsi dari kebiasaan pedagang Arab yang suka meminum minuman dari hasil proses perebusan jenis dedaunan tertentu saat itu. Kemudian masyarakat Minangkabau menjadikan daun kopi sebagai bahan rempah untuk direbus dan diminum.
Masyarakat Minang pada masa itu juga berkeyakinan bahwa menikmati daun kopi layaknya membuat olahan teh dianggap lebih baik secara kualitas dibanding biji kopinya. Mengkonsumsi daun kopi dianggap dapat menyegarkan tubuh dan juga mempertahankan stamina.
Konon menurut cerita, orang melihat kambing makan daun kopi akan lebih sehat dan lebih gesit sehingga orang tidak minum kopi dari biji tapi dari daun kopi, sehingga keluar istilah Melayu Daun Kopi.
Pendapat itu juga diungkapkan oleh Mestika Zed dalam jurnalnya yang berjudul “Dari Melayu Kopi Daun Hingga Kapitalisme Global” (2010) bahwa bagi orang Minang, yang sudah mengenal tanaman kopi jauh sebelum kedatangan Belanda, daun kopi lebih penting daripada buahnya. Daun kopi dikonsumsi untuk minum kawa (Arab, qahwa), yakni semacam minuman teh dari daun kopi, dengan cangkir dari batok kelapa (tempurung) yang dituangkan dari tempat penyimpanannya berupa perian bambu dengan tutupnya dari bahan ijuk.
Istilah Melayu Kopi Daun tersebut sebenarnya juga merupakan ungkapan sarkastik Belanda terhadap orang Minang karena kebiasaan orang Minang hanya tahu menikmati daun kopi untuk bahan minum “kawa”, tetapi buah kopi mereka serahkan untuk Belanda.
Bagi Belanda, buah kopi justru jauh lebih berharga. Bukan saja untuk dikonsumsi sendiri, tetapi sebagai komoditas yang laku di pasar dunia. Oleh karena itu, melihat keberhasilan tanam paksa kopi yang terjadi di Pulau Jawa pada tahun 1830, Van Des Bosch selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda, juga ingin menerapkannya di Sumatera. Topografi wilayah Sumatra Barat yang dikelilingi perbukitan dan kondisi alam yang baik untuk membudidayakan kopi, membuat Belanda ingin menerapkan sistem tanam paksa kopi di wilayah itu.
Namun Perang Paderi memaksa Belanda menunda pelaksanaannya di Sumatera Barat. Setelah Perang Paderi berakhir pada tahun 1847, barulah penanaman kopi mulai marak di Sumatera Barat. Orang Minangkabau pun diperintahkan untuk menanam sejumlah bibit tanaman kopi di atas tanah yang ditetapkan oleh pemerintah. Hasil panen kopi nantinya harus disetor ke gudang kopi (pakhuis) pemerintah.
Usaha pembudidayaan ini bertujuan untuk menyediakan komoditas ekspor ke kawasan Eropa dan tentunya untuk mendapatkan keuntungan bagi bangsanya sendiri. Kala itu, kopi adalah adalah komoditi bernilai tinggi di Eropa.
Seiring berjalannya waktu, komoditi kopi yang dihasilkan masyarakat Minang semakin diburu dan menyebabkan harga jualnya melesat tinggi. Keuntungan yang diraup pemerintah Belanda sungguh luar biasa. Akibat harga yang tinggi, semua biji kopi harus diserahkan ke gudang kopi alias koffiepakhuis tanpa boleh tercecer sebijipun.
Masyarakat Minang diwajibkan untuk menjual semua biji kopi yang dihasilkan kepada VOC (perusahaan perdagangan Belanda yang didirikan tahun 1602) untuk selanjutnya diekspor ke Eropa. Keadaan ini menyebabkan masyarakat tidak dapat menikmati sama sekali biji kopi yang dihasilkannya sehingga mereka kemudian hanya dapat mengolah daun kopinya saja.
Bagi masyarakat Minang, mengecap daun kopi untuk dijadikan minuman tentu bukanlah masalah, soalnya lidah orang Minang lain dari lidahnya orang Belanda. Apalagi bagi orang Minang, yang sudah mengenal tanaman kopi jauh sebelum kedatangan Belanda, daun kopi lebih penting daripada buahnya.
Namun sebagaimana halnya sistem tanam paksa di Jawa dalam periode yang sama, tanam paksa kopi di Minangkabau yang disertai kerja rodi juga bersifat eksploitatif dan represif, sehingga menimbulkan kesengsaraan pada rakyat pribumi. Hal inilah yang mendorong sikap perlawanan rakyat Minangkabau karena mereka merasa dibodohi oleh pihak VOC.
Oleh karenanya, ketika komoditi kopi semakin naik harganya, rakyat Minangkabau malah bersedia menanam bibit kopi lebih banyak daripada yang ditetapkan Belanda. Tapi hasilnya tak lagi sepenuhnya diserahkan ke gudang kopi Belanda, melainkan dijual sendiri kepada pihak lain di pesisir timur Sumatra. Kala itu kawasan pesisir timur Sumatra sudah menjadi pelabuhan terbuka bagi pasar internasional, dan harga kopi di pantai timur lebih tinggi daripada yang ditetapkan VOC kepada mereka.
Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab gagalnya kebijakan cultuurstelsel di Sumatra Barat, yaitu karena sulitnya mengontrol wilayah ini, sehingga tanam paksa kopi terpaksa dihapuskan pada tahun 1908. Namun tradisi minum kawa daun tidak ikut berhenti karena sudah berlangsung turun temurun.
Fungsi Sosial
Dibalik cita rasanya yang segar nan unik, kawa daun juga memiliki fungsi sosial. Dari proses awal komunitas masyarakat memilih, memetik daun kopi yang muda, lalu mengumpulkan dan secara berganti-gantian mengasapi daun kopi tersebut hingga menjadi kering dan sampai akhir menjadikan teh kawa diseduh, telah menunjukkan karakter masyarakat yang berintegrasi dan membangun ikatan batin.
Apalagi pada saat berkumpul menikmati dan menghirup air daun kawa, akan terjadi interaksi antara satu dan yang lainnya sesama warga penikmat air daun kawa tersebut. Ditemani aneka kue tradisional di tengah hamparan pegunungan yang alami tentu akan menimbulkan sensasi tersendiri yang tentunya sangat berbeda saat kita memasuki café atau kedai kopi modern.
Hal inilah yang menunjukkan bahwa tradisi minum kawa daun di lapau-lapau atau kedai memiliki nilai sosial yang tinggi yaitu sebagai sarana komunikasi, penguat kekerabatan serta relasi sosial.
Manfaat Kesehatan
Menurut beberapa ahli, selain sebagai minuman yang menyegarkan, kawa daun juga sangat baik untuk kesehatan. Dengan kandungan antioksidan yang tinggi dan kadar kafein yang rendah dibandingkan biji kopi, daun kopi juga mengandung zat kimia alami yang disebut mangiferin yang berkhasiat sebagai antiinflamasi untuk mengatasi peradangan, menurunkan resiko diabetes dan kolesterol, serta menurunkan hipertensi.
Dengan melestarikan tradisi minuman kawa daun, berarti kita telah berupaya menjaga kearifan lokal racikan leluhur bangsa di tengah menjamurnya budaya ‘ngopi’ modern saat ini. Karena sejatinya menyeruput kawa daun tidak hanya meninggalkan rasa dan aroma, tetapi juga meninggalkan jejak sejarah bangsa yang sempat kelam oleh penjajah.
DAFTAR PUSTAKA
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan
Fibrianto, Kiki dkk. 2022. Kopi: Bukan Sekedar Biji Potensi Utilisasi Penggunaan dan Pengolahan Produk Turunan Kopi Non-Biji. Malang: Media Nusa Creative
Gardjito, Murdjiati, dkk.2019. Pusaka Nenek Moyang, Yang Pantas Disayang, Kuliner Minangkabau. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Larasati, Dewi Ayu. 2020. Eksotika Kota Serambi Mekah: Menyusuri Pesona Wisata Padang Panjang. Pemerintah Kota Padang Panjang: Dinas Perpustakaan dan Kearsipan
Kawa Daun Pariangan. 2021. Kemdikbud Jakarta. https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=2918 (diakses 1 Juni 2023)
Rahman, Aulia. 2013. Kawa Daun, Nostalgia Tanam Paksa Kopi. https://rangkiangbudaya.wordpress.com/2013/05/31/kawa-daun-nostalgia-tanam-paksa-kopi/ (diakses 1 Juni 2023)
Zed, Mestika. 2010. Dilemma Ekonomi Melayu: Dari Melayu Kopi Daun Hingga Kapitalisme Global. Jurnal TINGKAP Vol. VI No. 2 Th. 2010, 67-78
Zulfitra. 2017. Kawa Daun. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.