Beranda Publikasi Kolom Bissu dan Wajah Pluralis di Tanah Bugis

Bissu dan Wajah Pluralis di Tanah Bugis

2369
0

Nurfadillah (Dosen Universitas Sawerigading Makassar)

Ini adalah sebuah ekspedisi alam yang saya kunjungi di daerah tetangga. Saya menyebutnya negeri para Bissu yang terletak di Segeri Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan. Daerah ini merupakan wajah pluralis di tanah Bugis Sulawesi Selatan, karena mereka mengenal 5 hirarki Gender. Diantaranya adalah laki-laki, perempuan, calabai (laki-laki yang bertabiat seperti perempuan atau waria), calalai (perempuan yang bertabiat seperti laki-laki), dan Bissu yang dianggap sebagai kombinasi dari semua jenis kelamin yang ada. Menurut Sharyn Graham Davies, Bissu bisa dikatakan sebagai Androginus.

Daerah ini menjadi sangat kompleks dan kaya dengan keberagaman, karena jejak agama leluhur masih melekat di suku Bugis, yang hidup bertalian dengan Agama Samawi. Namun, mereka senantiasa hidup berdampingan dengan damai, saling membantu, dan menghormati satu sama lain. Bissu ini tak banyak yang tahu tentang keberadaannya, mereka adalah kelompok minoritas yang sempat termarginalkan di tengah masyarakat karena status gendernya yang kontoroversial, praktik ritual, hingga agama yang dipertanyakan.

Bertahannya Bissu hingga sekarang dilalui dengan proses yang panjang, penuh dengan konflik, pergulatan, kekerasan, bahkan banyak dari mereka yang dibunuh. Perjuangan mereka dari masa ke masa hingga sekarang bukanlah hal yang mudah untuk dilalui, hingga mereka masih bertahan sampai sekarang meski dengan jumlah yang minim.

Bissu: Manusia Perantara Dewata

Di tanah Bugis Sulawesi Selatan tepatnya di Segeri Kabupatan Pangkep terdapat kelompok minoritas dengan corak keragaman yang menarik. Mereka adalah waria dengan segudang modal sosial, kultur, agama, dan seni. Waria ini disebut dengan “Bissu” mereka dikategorikan sebagai Transgender yang “Aseksual”. Bissu secara fisik adalah laki-laki, tetapi jiwa dan perasannya adalah perempuan. Selain itu, untuk menjadi Bissu salah satu syaratnya adalah mereka harus terlepas dari hasrat duniawi terutama seks dengan jalan tidak menikah.

Dalam kitab La Galigo, sebuah sastra terpanjang di dunia tentang peradaban suku Bugis mengisahkan bahwa Bissu lahir bersamaan dengan munculnya suku Bugis itu sendiri, (R.A. Kern,1989). Dalam kitab tersebut Bissu digambarkan sebagai titisan dewa yang berperan sebagai penghubung antara dua dunia yaitu dunia atas dan dunia bawah. “Bissu adalah waria, tetapi tidak semua waria adalah Bissu dan Bissu tidak menyalahi kodrat melainkan menjalani kodrat” ungkap Bissu Eka. Bissu juga tidak seperti waria pada umumnya, dimana keberadaan waria oleh “sebagian” orang sering dihubungkan dengan patologi sosial. Sebaliknya Bissu justru memiliki kedudukan istimewa di tanah Bugis.

Bissu merupakan figur spiritual di zaman kerajaan Bugis, yakni sebagai perantara manusia dengan dewata, wakil raja sekaligus penyambung lidah raja dengan rakyat, dan hingga kini sebagai pemimpin ritual upacara Mappalili (upacara menjelang tanam padi) di daerah Segeri yang digelar setiap akhir tahun ketika masuk waktu tanam padi. Di zaman kerajaan tidak ada kegiatan upacara adat atau ritual kerajaan tanpa kehadiaran para Bissu sebagai pelaksana sekaligus pemimpin upacara. Maka tidak heran jika kelompok Bissu dahulu mendapat perlakuan khusus dalam eksistensinya, sebagaimana peran mereka yang turut menentukan hajat hidup rakyat.

Pergulatan Bissu dari Masa ke Masa

Kemunculan Bissu sejak awal jauh sebelum Islam masuk ke Sulawesi Selatan, mereka adalah penganut sekaligus imam agama leluhur (Attoriolong) suku Bugis. Masyarakat Sulawesi Selatan sudah mempunyai “Kepercayaan Asli (ancestor belief) dan menyebut tuhan dengan sebutan “Dewata Seuwae”. Hingga agama Islam mulai masuk di Sulawesi selatan pada abad 16 alhasil raja, rakyat, dan Bissu mulai memeluk agama Islam, (Pelras, 2006). Penerimaan agama Islam sebagai agama dan peradaban di kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan memakai pola “Top Down” yaitu agama Islam pertama-tama diterima langsung oleh raja, kemudian turun ke bawah hingga rakyat.

Berbagai negosiasi ditempuh agar kepercayaan leluhur tetap dipertahankan hingga terjadi sinkretisme dimana pertemuan agama dan tradisi menjadi “Dua Temmassarang” (dua hal yang tak terpisahkan). Setelah agama islam masuk ke Sulawesi Selatan terlebih ketika menjamurnya ormas Islam sekitar tahun 1950-an hingga tahun 1965-an, (Halilintar Lathief, 2016). Kehidupan Bissu mulai terancam karena ritual dan kepercayaan Bissu yang dinilai sesat. Kegiatan Bissu dianggap menyembah berhala, sehingga alat-alat upacara dan para pelakunya harus disingkirkan. Selain itu, eksistensi Bissu cenderung fenomenal karena mereka adalah bagian dari waria yang selalu didekatkan dengan seks bebas dan isu-isu LGBT.

Hidup Bissu memang dilalui dengan berbagai kontroversi, selain persoalan gender, agama mereka juga dipertentangkan. Tidak berhenti disitu, sejak agama Islam masuk ke Sulawesi Selatan seakan menjadi mimpi buruk bagi para Bissu. Banyak yang menyoroti benda pusaka atau Arajang yang digunakan dalam upacara Mappalili dari kalangan Islam puritan. Selain mereka dituduh melakukan praktik ritual yang sesat, mereka juga dipaksa menjadi laki-laki tulen karena dianggap menyalahi kodrat. Alat-alat upacara mereka juga dihancurkan, dibakar, bahkan ditenggelamkan di laut.

Rasa takut dan trauma tentu masih membekas di diri mereka, setiap melihat kerumunan, secara refleks mereka akan ketakutan karena mengingat masa lalu saat insiden pengejaran Bissu. Mereka dilarang berkeliaran karena dianggap menyembah setan, buaya, berhala dan semacamnya (Bissu Saidi, 2011). “Yang paling sadis adalah alat vital kami ingin dipotong, digunduli dan kami ingin di tenggelamkan di laut, bahkan mereka ingin membakar barang-barang kami jika tidak ingin menjadi laki-laki tulen”, tutur Bissu Mata yang pada saat itu sempat merasakan penderitaan tersebut.

Bissu mengalami konflik dan pergulatan dari masa ke masa, karena tradisi yang dipertentangkan dan identitas mereka yang bertalian dengan LGBT, tetapi sebagian masyarakat masih peduli dengan eksistensi Bissu. Terlebih peran sentralnya dalam ritual kebudayaan masih dipertahankan oleh masyarakat sekitar, sehingga Bissu masih survive hingga sekarang. Kendatipun identitas Bissu dan tradisi mereka mendapat diskriminasi, tetapi mereka adalah manusia yang punya hak untuk hidup.

Bissu mempunyai peran dan melakukan pekerjaan untuk bertahan hidup diantaranya pemimpin ritual, sanro (dukun), jennang (juru masak), tukang cukur, indo’botting (perias pengantin) dan pengetahuan tentang peradaban suku Bugis membuat Bissu dihormati. Adanya peran Bissu di masyarakat maka Bissu juga telah membangun relasi dari proses interaksi dengan masyarakat untuk membentuk tatanan sosial. Mereka juga melakukan aktivitas seperti bertani, bercocok tanam, beternak dan bertambak.

Meskipun manifestasi Bissu bak perempuan dan masih kental dengan kepercayaan leluhur, tetapi mereka dengan tegas mengakui bahwa Bissu telah beragama Islam. Dalam praktik sehari-hari mereka terkadang berdandan seperti perempuan dan memakai baju kebesaran Bissu pada ranah praktik ritual atau perhelatan kebudayaan. Namun, dalam hal peribadatan Bissu tetap akan menahbiskan diri sebagai laki-laki dengan menggunakan atribut laki-laki dalam shalat.

Bahkan di tahun 2023 Puang Matowa selaku pemimpin Bissu melakukan perjalanan umrah di bulan puasa hingga lebaran di Mekah. Disusul oleh salah satu Bissu yakni Bissu Eka yang juga tengah melaksanakan ibadah haji setelah kurang lebih 12 tahun masuk dalam daftar tunggu. Ini adalah terobosan baru sebagai bentuk perlawanan kultural dalam memperlihatkan perjalanan spiritual keislaman Bissu di masyarakat.

Kini jumlah Bissu semakin hari semakin minim karena usia dan kematian yang tidak bisa dihindari dan meregenarasi Bissu bukanlah dari keturunan, tetapi melalui panggilan spiritual para “Dewata”. Saat ini Bissu telah merdeka, sebagian masyarakat sudah menerima para Bissu. Pemerintah dan tokoh adat hingga tokoh agama sudah memberikan mereka ruang yang layak di masyarakat. Ritual maupun atraksi yang biasa mereka lakukan menjadi budaya khas di daerah Segeri.

Sehingga perlahan-lahan Bissu mulai diterima, selain dari masyarakat yang memang masih bergantung dengan tradisi Mappalili, pemerintah khusunya bagian pariwisata juga mendukung kegiatan tersebut sebagai bagian dari warisan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan. Meskipun jumlah Bissu semakin hari semakin berkurang, saya berharap mereka tetap eksis karena Bissu adalah salah satu elemen pluralisme dan bagian dari sejarah peradaban orang Bugis yang harus kita jaga, dengan mengedepankan rasa kemanusiaan dan toleransi agar bisa hidup dengan damai. “karena meski berbeda mereka tetap manusia”.

Referensi

Wawancara dengan Bissu

Akhmar, Andi Muhammad. Islamisasi Bugis: Kajian Sastra atas La Galigo Versi Bottinna I La Dewata Sibawa I We Attawe (BDA). Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2018.

Graham, Sharyn. Keberagaman Gender di Indonesia, cet. 1. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2018.

Kern, Rudolph. A. I lagaligo, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1989.

Lathief, Halilintar. Bissu Dalam Masyarakat Bugis Kontemporer Kajian Keberadaan Komunitas Bissu di Era Globalisasi, Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, 2016.

Pelras, Christian. Manusia Bugis. Forum Jakarta Paris, 2006.

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini