Oleh: Engelbertus Viktor Daki (Mahasiswa STF Driyarkara dan Pencinta Budaya)
Dalam berbagai budaya, adanya kelas sosial di dalam masyarakat adalah hal lumrah. Kelas sosial berdampak pada perbedaan cara bertindak, berpikir, dan sebagainya dalam masyarakat. Tidak lupa pula, kelas tersebut menentukan aturan/norma sosial yang berlaku, baik mulai persoalan pelaksanaan upacara adat, perkawinan dan masih banyak lagi.
Di wilayah Indonesia tengah, kelas sosial dapat dijumpai di dalam budaya Bajawa, Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur. Ngada merupakan nama sebuah kabupaten di tengah Pulau Flores. Letaknya di pantai selatan Flores, di kaki gunung Inerie, sebuah gunung api yang masih aktif. Inerie atau Ibu Agung dalam mitologi dianggap sebagai ibu orang Ngada.[1]
Berdasarkan sejarah, Ngada adalah nama ibu asal dari klan yang paling utama dan juga merupakan nama suku. Pada masa kolonial, pemerintah Belanda memakai nama Ngada untuk pengertian yang lebih luas yang mencakup wilayah daerah Riung dan Nagekeo. Corak budaya dan ragam sosialnya sangat bervariasi yang juga tercermin pada perilaku masyarakat Kabupaten Ngada
Ibu kota kabupaten Ngada adalah Bajawa. Kendati demikian, orang lebih mengenal kabupaten ini sebagai Bajawa. Kabupaten Ngada diapit oleh kabupaten Manggarai Timur di sebelah Barat dan Nagekeo yang sejak tahun 2006 menjadi kabupaten sendiri sendiri di sebelah timur. Kabupaten ini dibentuk pada tahun 1958 melalui Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II dalam wilayah Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.[2]
Nenek Moyang Orang Ngada
Orang Ngada meyakini nenek moyang mereka berasal dari daratan Asia Selatan, sebuah tempat yang secara lisan turun-temurun disebut ‘Dzhava Cone’. Paul Arndt SVD seorang antropolog asal negeri Kincir Angin menyebutkan sejumlah elemen kebudayaan orang Ngada mirip dengan budaya di Timur-Laut India, begitu pun tradisi megalithikum Ngada memiliki tautan kuat dengan Hinduisme, kendati kini 93% penduduk Ngada menganut Katolik.[3]
Penduduk Ngada hidup dari bercocok tanam. Ngada merupakan tanah yang subur karena berada di lembah dan lereng gunung Inerie dan beberapa gunung di sekitarnya.[4]
Kelas Sosial atau Rang dalam Masyarakat Ngada
Menurut Paul Arndt, orang Ngada mengenal lapisan masyarakat, tingkat sosial atau kelas-kelas sosial atau dalam bahasa Ngada disebut sebagai rang. Terdapat tiga kategori rang.[5] Pertama, rang Ga’e Meze. Ini adalah kelas bangsawan. Kedua, rang Ga’e Kisa. Ini adalah kelas masyarakat biasa. Ketiga, ata ho’o atau pelayan. Ini adalah kelas sosial untuk kaum budak-pelayan.
Para anggota lapisan pertama yakin bahwa mereka agak lebih baik dari yang lain, dan lapisan di bawahnya tidak mempersoalkan hal ni. Sampai sekarang umumnya orang berpendapat bahwa pembagian lapisan ini harus tetap dipertahankan dalam suku bangsa mereka.
Sikap dan Karakter
Pengelompokan ini terjadi atas dasar perbedaan sikap dan karakter. Kelompok “Ga’e” biasanya dianggap sebagai golongan orang suci dan penuh sopan santun yang fokus pada pekerjaan dan tidak biasa terlibat dalam masalah orang lain serta. Mereka memiliki gaya bahasa yang diplomatis dan sedikit berbeda dari bahasa masyarakat lainnya.
Kelompok Ga’e juga dikenal sebagai Mosa Uma karena keuletan mereka dalam bekerja sehari-hari. Kelompok Ga’e sangat disegani dan dihormati dalam kehidupan sosial masyarakat. Kelompok ini meyakini diri sebagai anak-anak langit dan matahari. Mereka tidak boleh memaki atau menghina kelas di bawahnya. Harus ada upacara rekonsiliasi jika hal itu terjadi.
Selain itu, kelas ini diyakini memiliki kekuatan magis, terberkati dan memiliki fungsi sosial melindungi dua kelas di bawahnya. Mereka dilambangkan sebagai matahari, sementara dua kelas di bawahnya, Kisa itu bulan, dan Ho’o itu bintang. Ata Ga’e bisa kehilangan nama baik dan kehormatan, bahkan turun kelas apabila melakukan kesalahan fatal. Mereka tidak boleh mencuri, bahkan jangan sampai diduga mencuri.[6]
Kelompok masyarakat kedua disebut “Gae Kisa”. Mereka adalah bagian masyarakat yang ceplas-ceplos saat berbicara, sedikit kasar sikap perilaku dan karakternya. Kelompok ini biasanya kurang berada (secara ekonomi) karena lebih sering bicara, sering berpesta pora dan suka terlibat dalam urusan atau masalah orang lain”. Mereka dianggap lebih rendah dan kurang bermutu dibanding Ga’e Meze. Dalam istilah orang Ngada mereka diumpamakan sebagai sebagai kayu yang kurang bermutu.[7] Kelompok inilah yang terbanyak masyarakat Ngada. [8]
Ada pun kelompok ketiga adalah golongan hamba sahaya atau bekas budak yang disebut “Azi Ana”[9] atau “So’o /ho’o”. Mereka biasanya tinggal di luar kampung seperti di kebun atau di tempat yang jauh dari perkampungan. Pada mulanya dalam lapisan sosial Ngada, menurut Paul Arndt, hanya ada dua lapisan masyarakat, yakni Ga’e dan Kisa. Banyak dari anggota Azi Ana sebelumnya merupakan anggota dari dua lapisan di atasnya. Meskipun demikian, entah karena endiri atau leluhur mereka dan oleh satu cara atau sebab lainnya mereka sudah turun ke lapisan yang lebih rendah.
Mereka ini adalah orang-orang terkucil. Barangkali, ungkapan h’oo mau menyatakan suatu penghinaan terhadap mereka yang sudah jatuh, karena pada umumnya mereka yang sudah jatuh dalam lapisan ini adalah orang-orang yang sudah pernah melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran serius.
Turun Kelas
Olaf H. Smedal menjelaskan bahwa pada awalnya semua orang Ngada memiliki satu kelas sosial yakni bangsawan[10] atau Gaé Meze. Kelas sosial lain yang lebih rendah muncul ketika pada suatu waktu terjadi pernikahan sedarah, sebagaimana yang dikisahkan dalam mitos Dala Ko. Oknum yang melakukan perkawinan sedarah itu kemudian dihukum dan diturunkan kelasnya. Pernikahan sedarah sampai garis menyamping tingkat lima dilarang dalam budaya Ngada. Para pelanggar itu kemudian beranak-pinak, dan ditambah dengan pelanggar yang baru, mereka ini membentuk kelas sosial yang lebih rendah sampai saat ini.
Pewarisan Lapisan
Menurut aturan, keanggotaan dari ketiga lapisan masyarakat ini didapat melalui kelahiran dan mengikuti posisi ibu. Menurut Arndt, hal ini menyebabkan dapat terjadi bahwa ayah berasal dari golongan atas, tetapi ibu termasuk lapisan paling bawah. Anak-anaknya akan menjadi lapisan bawah. Namun, tidak ada kemungkinan untuk naik ke tingkat lapisan yang lebih tinggi.[11]
Hukum tertinggi terkait lapisan-lapisan sosial ini adalah bahwa perilaku dan hubungan mereka, dalam hal ini pemuda atau laki-laki dalam lapisan rendah tidak boleh kawin dengan lapisan yang lebih tinggi daripadanya ataupun bergaul dengan mereka. Bagi mereka, bergaul dan kawin sama saja.[12]
Pelanggaran larangan ini adalah kejahatan yang paling besar untuk orang Ngada. Hukumnya dapat berupa hukuman mati, turun kelas, maupun diusir dari rumah dan kampung. Ini dikarenakan sistem kelas bagi masyarakat Ngada merupakan hal yang penting. Setiap masyarakat Ngada dianggap harus menjaga kelestarian golongannya, atau dengan kata lain menjaga martabatnya dalam kasta tertentu, terutama kasta kelas atas yakni kaum bangsawan (Ga’e Meze).
Kelas sebagai Anugerah
Dalam kajiannya terhadap masyarakat Ngada, Olaf H. Smedal mengatakan demikian:
“Since it originated in the dim past, nobility should perhaps most properly be understood as one of the greatest bestowals the ancestors were able to offer. To yield it by yielding to sexual desire is therefore much at the level of defiling a gift”[13]
Kebangsawanan kelompok masyarakat Ngada merupakan anugerah atau pemberian terbesar yang mereka terima atau diwarisi dari para leluhur. Oleh karena itu, harkat dan martabat kebangsawanan itu tidak boleh disia-siakan dan harus dijaga apapun caranya. Ini menjelaskan mengapa orang Ngada tidak segan-segan mengusir anggota keluarga mereka sendiri jika ada yang melakukan pelanggaran yang mencederai harkat dan martabat bangsawan atau kelas Gaé Meze.
Pelanggaran itu terjadi ketika adanya tindakan hubungan seksual terhadap anggota keluarga sendiri (Incest Marriage), dan hubungan seksual antara seorang wanita dari rang atas atau kelas bangsawan dengan seorang pria yang lebih rendah kelasnya. Bagi masyarakat Ngada, sebagaimana dinyatakan Olaf dalam artikelnya, tindakan seperti itu merupakan pencemaran bahkan penghinaan terhadap para leluhur. Pelanggarnya harus dihukum dengan berat.
Inilah mengapa, dalam dalam hal perkawinan misalnya, masyarakat Ngada umumnya akan sangat teliti dalam memeriksa apakah perkawinan yang terjadi merupakan perkawinan dengan kelas sosial atau rang sejenis atau tidak. Masyarakat Ngada beranggapan bahwa lebih baik tidak menikah daripada harus mencemari rang dengan menikahi pasangan yang kelas sosialnya lebih rendah. Ini menunjukkan bahwa perkawinan ideal masyarakat Ngada adalah perkawinan dengan kelas sejenis atau sama.
Meskipun demikian, aturan yang demikian ketat tersebut tidak terlalu ditekankan lagi dalam kehidupan bersama. Sudah banyak perubahan terjadi, perkawinan beda kelas, dan sejenisnya sudah cukup sering terjadi. Pada akhirnya tentang kelas sosial, perlu diperhatikan bahwa kendati aturannya sangat ketat, dalam pergaulan sehari-hari baik kelas atas maupun bawah membaur menjadi satu. Kelas hanya ditekankan dalam upacara-upacara adat maupun perkawinan dan sejenisnya.
Referensi
Paul Arndt, SVD. Masyarakat Ngadha : Keluarga, Tatanan Sosial, Pekerjaan, dan Hukum Adat. Pusat Penelitian Candraditya Maumere. Seri Etnologi Candraditya No. 08. Nusa Indah: Ende, 2009.
Olaf H. Smedal, “Demotion As Value: Rank Infraction among The Ngadha in Flores, Indonesia” Social Analysis: The International Journal of Anthropology, Winter 2016, Vol. 60, No. 4.
Valentino Louis & Mikael J. Leo. Soulful Ngada. Dinas Pariwisata Kabupaten Ngada. Hlm. 6-7. https://portal.ngadakab.go.id/panduan-wisata-kabupaten-ngada/ Diakses, 20/2/23 pk. 10.25 WIB.
Dinas Pendidikan Kebudayaan Pemuda dan Olahraga Kab. Ngada. “Upacara Perkawinan Etnis Ngada” Kemendikbud.go.id. https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=1504 diakses pada Kamis, 23 Februari 2023, pukul 21:05 WIB.
_____________
[1] Paul Arndt, SVD. Masyarakat Ngadha : Keluarga, Tatanan Sosial, Pekerjaan, dan Hukum Adat. Pusat Penelitian Candraditya Maumere. Seri Etnologi Candraditya No. 08. Nusa Indah: Ende, 2009, hlm. 3-4.
[2] https://Pemerintah Kabupaten Ngada.”Sejarah Kabupaten Ngada.” Ngadakab.go.id.https://portal.ngadakab.go.id/sejarah-kabupaten-ngada/ Diakses, 3/03/23 pk.12.40 WIB.
[3] Valentino Louis & Mikael J. Leo. Soulful Ngada. Dinas Pariwisata Kabupaten Ngada. Hlm. 6-7. https://portal.ngadakab.go.id/panduan-wisata-kabupaten-ngada/ Diakses, 20/2/23 pk. 10.25 WIB.
[4] Paul Arndt, SVD. Masyarakat Ngadha : Keluarga, Tatanan Sosial, Pekerjaan, dan Hukum Adat. Pusat Penelitian Candraditya Maumere. Seri Etnologi Candraditya No. 08. Nusa Indah: Ende, 2009, hlm. 5.
[5] Paul Arndt, SVD. Masyarakat Ngadha, hlm. 414.
[6] Paul Arndt, SVD. Masyarakat Ngadha, hlm. 436.
[7] Paul Arndt, SVD. Masyarakat Ngadha, hlm. 424.
[8] Paul Arndt, SVD. Masyarakat Ngadha, hlm. 433.
[9] Azi ana adalah ungkapan yang lebih halus untuk lapisan yang paling bawah. Azi adalah yang lebih muda, atau yang paling muda, yang bungsu dari banyak saudara. Ana ialah anak, jadi juga sebuah nama yang halus. Akan tetapi sebutan yang biasa untuk mereka tidak sehalus itu, ialah ho’o, hamba, penamaan yang sama dengan hamba sahaya yang sebenarnya, hamba-hamba yang dibeli. Mereka ini bukanlah hamba-hamba atau orang yang tidak bebas, melainkan keluarga dari keturunan darah yang sama dengan para anggota klan lainnya, orang-orang bebas seperti saudara-saudara mereka yang mulia, ialah gae dan kisa serta mempunyai juga hak seperti mereka. Mereka adalah hamba yang tidak memiliki tuan. Bdk. Paul Arndt, SVD. Masyarakat Ngadha, hlm. 421-422.
[10]“nobility being, as it were, the natural state.” bdk Olaf H. Smedal, “Demotion As Value: Rank Infraction among The Ngadha in Flores, Indonesia” Social Analysis: The International Journal of Anthropology, Winter 2016, Vol. 60, No. 4, 121.
[11] Paul Arndt, SVD. Masyarakat Ngadha : Keluarga, Tatanan Sosial, Pekerjaan, dan Hukum Adat. Pusat Penelitian Candraditya Maumere. Seri Etnologi Candraditya No. 08. Nusa Indah: Ende, 2009, hlm. 421.
[12] Paul Arndt, SVD. Masyarakat Ngadha, hlm. 432.
[13] Olaf H. Smedal, “Demotion As Value: Rank Infraction among The Ngadha in Flores, Indonesia” Social Analysis: The International Journal of Anthropology, Winter 2016, Vol. 60, No. 4, 122.