Beranda Publikasi Kolom Agama dan Krisis Lingkungan

Agama dan Krisis Lingkungan

1530
0

Krisharyanto Umbu Deta (Asisten Peneliti di Intersectoral Collaboration for Indigenous Religions dan Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Universitas Gadjah Mada)

Sejauh mana agama berperan dalam krisis lingkungan masih menjadi pertanyaan mendasar yang terus didiskusikan dalam studi agama dan ekologi. Paling tidak ada dua argumen yang membingkai diskursus ini. Pertama, agama telah ikut serta dalam degradasi lingkungan lewat (re)produksi paradigma yang melanggengkan ‘superioritas’ manusia atas alam. Kedua, agama memiliki peran signifikan dalam upaya restorasi alam melalui rekonstruksi paradigma maupun langkah-langkah praktis, mengingat sentralitas agama dalam peradaban hari ini.

Banyak studi telah menunjukan bahwa agama-agama sebenarnya memiliki basis ekologi yang kuat (lih. misalnya Daan van der Leij, 2021). Contoh lain adalah keberagaman dinamika agama dan ekologi di Indonesia yang diulas dalam Varieties of Religion and Ecology in Indonesia (2021). Namun demikian, bagaimana sebenarnya agama -terutama di akar rumput- menginspirasi gerakan sosial ekologis pada ranah praktis adalah sisi yang perlu ditelisik lebih jauh.

Bagian inilah yang diulas Jonathan Smith, Ronald Adam, dan Samsul Maarif dalam penelitiannya How Social Movements Use Religious Creativity to Address Environmental Crises in Indonesian Local Communities (2023)dan dipresentasikan sebelumnya oleh Smith dalam serial Wednesday Forum Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Universitas Gajdah Mada, berjudul Lived Eco-Religion: How Social Movements in Indonesian Local Communities Respond to Environmental Crises in Creative Ways.

Tulisan ini berupaya meninjau bagaimana gerakan-gerakan sosial pada komunitas lokal di Indonesia menciptakan praktik-praktik ekologis berbasis sumber daya keagamaan dalam keseharian. Kajian eko-agama dalam ranah praktis, alih-alih teoretik ini, ditempatkannya pada konteks Indonesia yang memiliki ratusan gerakan lingkungan dan dinamika keberagaman dan praktik keagamaan. Ditemukan setidaknya ada 244 studi mengenai gerakan lingkungan di 37 provinsi yang ada di Indonesia mulai dari 1990-2022. Isu yang menjadi fokus dari gerakan-gerakan ini di antaranya adalah adaptasi terhadap perubahan iklim, manajemen tanah, sampah, dan air, polusi tambang dan industri, biodiversitas dan konservasi, dan kesadaran lingkungan.

Gerakan Sosial, Komunitas Lokal, dan Agama Keseharian

“Gerakan sosial” dalam hal ini ditempatkan dalam kerangka yang lebih luas melampaui institusionalitasnya. Untuk itu, apa yang disebut sebagai gerakan sosial tidak hanya mencakup formal organisasi tertentu, tetapi juga berbagai jejaring yang di dalamnya ada pelibatan diri secara kolektif oleh individu-individu ataupun kelompok tertentu. Secara spesifik, gerakan sosial yang dimaksud adalah yang berorientasi pada keadilan lingkungan dan mengupayakan perubahan perilaku individu atau kelompok di aras lokal dalam merespons tantangan ekologis.

Komunitas lokal dalam hal ini sengaja dipilih untuk melihat bagaimana proses-proses kreatif dan perubahan ekologis terjadi. Proses-proses tersebut dapat dilihat dalam kompleksitasnya yang terbentuk dari dinamika di aras lokal yang di antaranya meliputi; pengadopsian ragam strategi dan pesan -termasuk dari agama- untuk merespon persoalan sesuai konteks lokalnya masing-masing, penggunaan lintas narasi sebagai penghubung kelompok-kelompok lokal yang berbeda, dan gerakan yang menciptakan bingkai-bingkai aksi kolektif.

Sementara itu, “agama” dalam penelitian ini juga didefinisikan secara luas dengan menghindari kecenderungan esensialisasi dan marginalisasi. Di sini, yang digunakan adalah konsep agama keseharian (lived religion) sebagaimana digunakan Elisabeth S. Hurd (2015) dalam tipologi agamanya. Alih-alih terjebak pada konsep agama resmi (official/governed religion) yang ditentukan oleh pemerintah atau institusi, ataupun agama sebagaimana didefinisikan akademisi (expert religion), konsep lived religion menangkap lebih luas praktik-praktik keagamaan pada aras lokal dan keseharian, bukan pada bentuk institusionlitas atau doktrinnya.

Sintesis Kreatif Eko-Agama Keseharian

Salah satu respons yang timbul dalam gerakan lingkungan adalah kreatifitas keagamaan (religious creativity) yaitu menemukan cara-cara baru untuk membingkai ulang (re-framing) dan menyesuaikan (adapting) keyakinan-keyakinan (keagamaan) untuk merespon persoalan lingkungan. Studi ini setidaknya membagi kekayaaan sumber daya keagamaan sebagai basis gerakan lingkungan ke dalam tiga kategori (operasional untuk identifikasi).

Pertama, praktik dan keyakinan keagamaan keseharian (lived) dan sehari-hari (daily) dari agama-agama resmi seperti Buddha, Konghucu, Kristen (Katolik dan Protestan), Hindu, dan Islam. Kedua, sistem dan nilai-nilai komunitas lokal yang selalu terkait dengan konteks lokasi mereka. Termasuk dalam kategori ini misalnya sistem dan nilai masyarakt adat. Ketiga adalah kepercayaan, tradisi, dan kearifan lokal. Beberapa contoh konkret dari sumber daya keagamaan keseharian ini misalnya konsep fangshen dalam Buddhisme, penatalayanan (stewardship) dalam kekeristenan, hutan sakral/adat, praktik slametan, sedekah sampah, nyadran, nigari dan sasi adat, dan banyak lagi.

Kekayaan basis keagamaan inilah yang digunakan oleh gerakan-gerakan lingkungan dengan cara menghubungkannya dengan berbagai konsep ekologis, ekonomi, dan hukum. Selain itu, sistem-sistem tradisional pada ranah lokal dan keseharian ini juga dihubungkan dengan sistem-sistem sosial dan hukum yang lain. Proses-proses ini kemudian mengiring pada proses dinamis dari apa yang disebut sebagai sintesis kreatif dengan beragam improvisasi. Cara-cara ini misalnya menghasilkan ragam tindakan dan konsep baru seperti praktik, ritual, tradisi, dan sistem-sistem yang menjembatani nilai-nilai ekologis dan kultural/keagamaan.

Namun demikian, sintesis-sintesis ini sesungguhnya bukan sama sekali baru, melainkan sudah ada pada lived religions. Sistem tradisional pada dirinya sendiri meruapakan sintesis dari ihwal material dan non-material. Apa yang dilakukan oleh gerakan-gerakan sosial umumnya adalah membangun bingkai aksi kolektif dengan mengkonsolidasikan ragam kelompok dengan ragam kepentingan untuk tujuan bersama akan lingkungan.

Di antara contoh dari sintesis kreatif ini misalnya, komunitas Buddha (Jawa) yang mengadaptasi ritual nyadran dari Jawa -sebagai bukan hanya praktik Jawa tetapi sebagai praktik Buddhis- untuk upaya kolektif konservasi air. Gerakan komunal ini bahkan -dengan ke-jawa-an nyadran sebagai basis kultural- ikut melibatkan individu atau kelompok lain yang beragama non-Buddha. Contoh lain adalah sinkronsiasi sistem Islam-Minangkabau untuk manajemen hutan di Sumatera Barat. Sinkronisasi ini menyintesiskan berbagai sistem, konsep, dan nilai dari tradsi Islam dan Minangkabau yang dapat digunakan untuk tujuan konservasi hutan.

Eko-Agama dalam Konteks dan Kontestasi

Konteks yang mendorong upaya sintesis agama dalam gerakan lingkungan setidaknya dapat dilihat dari empat segi. Pertama, di antara sumber daya alam termasuk tanah yang terancam atau sudah terdampak secara destruktif adalah tanah atau hutan atau laut yang sakral -signifikan terhadap keberagamaan- bagi komunitasnya.

Kedua, konteks di mana ada identitas keagamaan tertentu dalam posisi tidak diuntungkan -bahkan terancam- namun ada juga yang dalam posisi didukung oleh pemerintah. Agama leluhur misalnya adalah di antara yang masih memperjuangkan rekognisi identitas keagamaannya. Namun demikian, pengakuan akan hak ulayat terhadap masyarakat adat adalah satu posisi menguntungkan bagi komunitas untuk mempertahankan tanah atau alamnya.

Ketiga, pengaruh para pemimpin agama yang sudah mendapatkan kepercayaan dari komunitas. Dengan posisi yang demikian, gerakan-gerakan lingkungan berupaya untuk menggandeng mereka untuk memperkuat gerakan sosial-ekologinya. Keempat, terganggunya sistem dan praktik tradisional oleh pembangunan, degradasi lingkungan, dan kebijakan lingkungan yang tidak berbasis pelibatan.

Dalam konteks inilah, sintesis kreatif eko-agama muncul. Kreatifitas itu didorong lebih kuat oleh kontestasi dan dinamika kekuasaan dalam ranah praktis keseharian. Baik dalam komunitas maupun kelompok-kelompok keagamaan, selalu ada dikotomi antara yang menolak dan mendukung gerakan. Kontestasi ini selalu muncul secara dinamis dan menentukan sejauh mana gerakan dapat menciptakan praktik-praktik sosio-ekologis dengan pelibatan kolektif berbagai segmen dari komunitas lokal.

Akhirnya, dengan eko-agama keseharian sebagai perspektif, penggunaan lensa yang lebih luas dalam memahami agama -dalam hal ini lived religion– membuka jalan untuk mengkaji hubungan-hubungan antara agama, budaya, adat, dan praktik-praktik ekologis, yang di dalamnya dapat ditemukan persinggungan beragam pandangan dunia dan bentuk pengetahuan. Lived religion juga kemudian dapat mengkonkretkan subjek bahasan diskursus agama dan ekologi dengan melihat ranah praktis kesehariannya.

Daftar Pustaka

Bagir, Z.A., M. Northcott, and F.J.S. Wijsen (eds). (2021) Varieties of Religion and Ecology: Dispatches from Indonesia. Belgium: LitVerlag.

eta, K.U. (2023) ‘Sejauh Mana Agama Berperan dalam Krisis Lingkungan?’, in A.A. Fachrudin (ed.) Kapita Selekta Studi Agama: Geliat Agama dalam Isu-Isu Kontemporer. Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies, Universitas Gadjah Mada.

Hurd, E.S. (2015) Beyond Religious Freedom–The New Global Politics of Religion. Princeton and Oxford: Princeton University Press.

Leij, Daan van der (2021). The Possibilities for Interreligious Dialogues on Ecology in Indonesia: a Literature Review. Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies, Universitas Gadjah Mada.

Smith, J. D., Adam, R., & Maarif, S. (2024). How social movements use religious creativity to address environmental crises in Indonesian local communities. Global Environmental Change84, 102772.

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini