Izmy Khumairoh (Dosen Antropologi di Universitas Diponegoro)
Kerap kali khalayak memilih menggunakan kacamata moralitas dalam memandang praktik pernikahan dini yang masih marak terjadi di Indonesia. Hal ini selaras dengan respons umum yang mencuat saat menanggapi kasus pernikahan di bawah umur, terlebih yang disebabkan oleh faktor ‘kecelakaan’, sebagai sebuah gejala degradasi akhlak di kalangan generasi muda.
Sehingga tidak jarang pula muncul anggapan bahwa pernikahan dini adalah konsekuensi dari gempuran budaya Barat yang diaplikasikan dalam bentuk gaya hidup bebas demi mengikuti kiblat modernitas. Akibatnya, praktik pernikahan dini terkadang diposisikan sebagai antitesis dari budaya ketimuran, atau dengan kata lain hanya diperbincangkan di tataran etika belaka.
Realitasnya, fenomena pernikahan dini terlalu pelik untuk disimplifikasi sebagai urusan personal. Dalam memahaminya, tidak cukup hanya bersandar pada perspektif tunggal, melainkan membutuhkan interseksi dari berbagai sudut pandang.
Selama mendalami berbagai kasus pernikahan dini beberapa tahun ke belakang, penulis menyadari bahwa persoalan ini sangat kompleks yang membutuhkan penanganan khusus setiap kasusnya. Dengan kata lain, persoalan ini tidak dapat digeneralisir. Pemicu yang hadir mulai dari faktor dogma agama, adat-istiadat, rendahnya tingkat pengetahuan reproduksi seksual, dan yang tidak kalah penting dan mungkin memiliki andil paling besar dalam keputusan menikah muda adalah masalah ekonomi (Grijns, 2018).
Pergeseran Konsep Nikah
Untuk mengurai asumsi di atas, izinkan penulis membagikan pengalaman awal berkenalan dengan fenomena “kawin bocah” (baca, nikah usia dini). Tak sedari awal penulis menilai bahwa pernikahan dini adalah sebuah anomali. Semula saya menduga semua bentuk pernikahan adalah selalu tentang kisah romantis dan menjadi sebuah “ritus peralihan” yang dialami semua orang.
Perspektif ini perlahan bergeser saat saya berelasi dengan banyak remaja perempuan dari sebuah daerah pedesaan di Jawa Barat. Tidak sedikit dari mereka yang telah menikah, memiliki satu-dua anak, bahkan telah bercerai. Padahal di masa itu mereka seharusnya tengah duduk di bangku sekolah menggunakan seragam putih-abu, alih-alih menyapih sembari membanting tulang.
Setelah menyelami kisah dinamika kehidupan mereka, saya sadar bahwa tidak semua orang mampu melakukan ikatan matrimoni yang sakral atas nama cinta dari dua insan.
Pernikahan untuk sebagian orang kiranya menjadi sebuah harapan di tengah ketidakpastian hidup. Untuk dapat melakukan mobilitas secara vertikal dan keluar dari jerat kemiskinan, seseorang tidak mesti selalu menerapkan kerja ala teori labor power (Marx, 1992) dengan menukarkan tenaganya, sebagai alat produksi, menjadi sepeser uang.
Bagi sebagian orang, pemulihan kondisi ekonomi dapat dilakukan dengan instan melalui pernikahan. Semakin cepat menikah maka semakin menguntungkan. Hal ini bukanlah sebuah jalan keluar yang terbilang nirlogis, yakni kelebihan beban rumah tangga = mengurangi anggota rumah tangga. Sayangnya, urusan tentang manusia tidak dapat dituntaskan secara enteng melalui logika dan rumus penjumlahan matematika.
Menumbalkan satu anggota keluarga demi kesejahteraan semua orang kenyataannya bukan menuntaskan masalah. Justru sebaliknya, muncul probabilitas lahirnya polemik baru.
Dampak dari pernikahan dini semakin jelas terlihat dan mampu saya rasakan saat melakukan penelitian di pedesaan daerah perbatasan Jawa Barat-Jabodetabek. Sebuah keluarga batih yang tinggal bersama dalam satu atap justru makin terperangkap dalam kemiskinan struktural setelah menyegerakan pernikahan bagi seluruh anak perempuannya.
Angan berbagi beban dengan pasangan si anak setelah menikah kandas karena sang pasangan tidak memiliki pekerjaan yang layak lantaran tidak tamat sekolah. Impian menikahkan putrinya demi harta menjadi sia-sia, malah semakin banyak perut lapar yang harus diberi asupan. Di sisi individu, pelaku pernikahan dini juga dihantui soal ketidaksiapan mengemban peran sebagai orangtua di usia muda sehingga memengaruhi kondisi fisik serta mental mereka. Tentu hal ini akan sangat berpengaruh pada kestabilan rumah tangga mereka di berbagai aspek, termasuk ranah finansial.
Walaupun pemerintah dalam beberapa tahun terakhir sudah melakukan langkah yang terbilang cukup progresif dalam mengentaskan praktik pernikahan dini, namun bagi saya solusi yang ditawarkan tidak memberikan perubahan yang menyeluruh. Selain itu, faktor ekonomi sebagai pemicu pernikahan dini masih belum menjadi perhatian khusus serta basis dalam penyusunan regulasi.
Studi Kasus Pernikahan Dini
Untuk menegaskan pernyataan ini, saya akan mengambil studi kasus yang terjadi di masa pandemi, di mana perubahan UU No. 1 Tahun 1974 di tahun 2019 terkait usia batas minimum melakukan pernikahan bagi perempuan menjadi 19 tahun, dapat dinilai kurang berhasil menekan angka pelaku pernikahan dini. Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Jawa Tengah, terdapat 5.239 kasus pernikahan di bawah umur 19 tahun pada tahun 2019 di Jawa Tengah. Akan tetapi, muncul ekskalasi kasus di tahun 2020 hingga 2021 yang bertepatan dengan momen puncak pandemi, sehingga jumlah kasus bertambah signifikan hingga menyentuh angka 13.595.
Meningkatnya tren pernikahan dini saat pandemi dijustifikasi dengan temuan Komnas Perempuan, bahwa di tahun 2019 terdapat 23.126 kasus pernikahan dini yang diberikan dispensasi oleh pengadilan dan meningkat tajam di tahun 2020 sebanyak 64.211 kasus. Permohonan dispensasi mulai agak melandai di tahun 2021 di mana terdapat 59.709 kasus yang dikabulkan pengadilan.
Lonjakan fenomena pernikahan dini sejumlah hampir 300% menunjukkan beberapa indikasi dan pemicu lain yang lebih kompleks. Jika dianalisis melalui relevansinya dengan resesi yang terjadi di hampir seluruh belahan dunia serta meningkatnya angka anak perempuan putus sekolah tingkat SMA di Indonesia (Muflihah, 2022), maka pandemi bukanlah perkara kesehatan dan ekonomi saja, namun juga soal gender.
Dengan turut berkontribusi dalam menanggulangi perkara ekonomi keluarga melalui menikah muda, maka anak perempuan akan selalu berada dalam posisi yang rentan. Dan fenomena ini tidaklah berlaku temporal. Masalah demi masalah yang akhirnya naik ke permukaan secara alamiah di kala pandemi, pada akhirnya menjadi sebuah momentum berharga bagi kita semua untuk menyadari bahwa pernikahan dini tidak dapat dipisahkan dengan problem ekonomi.
Strategi Preventif
Sudah semestinya pemerintah mampu menyusun strategi tindakan preventif pernikahan dini secara holistik dengan turut melibatkan pihak dari lintas kepakaran dan bidang yang bersinggungan. Kelindan masalah yang datang dari berbagai penjuru, kemudian membelit anak Indonesia, khususnya anak perempuan, dalam belenggu pernikahan dini yang kian erat dan menempatkan mereka dalam posisi rentan (Candraningrum dkk., 2016).
Meminimalisir tendensi kemiskinan dirasa akan jauh lebih memberikan pengaruh dan mampu menjawab persoalan lain yang sama-sama berakar pada kesejahteraan. Kebutuhan atas resolusi yang “mangkus nan sangkil” atas fenomena pernikahan dini semakin genting karena tiap anak perempuan yang menukar masa depan mereka dengan pernikahan berpotensi mengantarkan mereka semakin dekat menuju jurang feminisasi kemiskinan.
Referensi
Candraningrum, D., Dhewy, A. & Pratiwi, A.M. 2016. “Takut Akan Zina, Pendidikan Rendah, dan Kemiskinan: Status Anak Perempuan dalam Pernikahan Anak di Sukabumi Jawa Barat.” Jurnal Perempuan 88 21 (1): 149-86.
Grijns, Mies., et al. 2018. Menikah Muda di Indonesia: Suara, Hukum dan Praktik. Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia.
Marx, Karl. 1992. Capital: A Critique of Political Economy. London: Penguin Classics.
Muflihah, Isti’anatul. 2022. Dampak Pandemi COVID-19 Terhadap Kesetaraan Gender. Pijar Foundation. https://pijarfoundation.org/insights/dampak-pandemi-covid-19-terhadap-kesetaraan-gender/ (Diakses pada 17 Desember 2023).