Beranda Publikasi Kolom Saung Kerukunan Umat Beragama di Lampung

Saung Kerukunan Umat Beragama di Lampung

1730
0

Nicorius (Pendeta di Gereja Kristen Sumatra Bagian Selatan, Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu, Lampung)

Penduduk desa dimana saya tinggal di Kabupaten Pringsewu, Lampung, tergolong majemuk baik secara agama maupun asal-usul suku (Jawa, Lampung, Palembang, Padang, dan Batak). Mereka juga memiliki sikap toleransi satu dengan yang lain. Tentu kondisi semacam ini menjadi idaman serta kebanggaan saya pribadi selaku warga. Karena dengan suasana aman, rukun dan damai terbukti dapat memberikan rasa aman dan  nyaman bagi seluruh penduduk atau masyarakat. Berbeda jika yang terjadi adalah konflik sosial. Tentu akan menimbulkan rasa cemas dan takut.  

Tidak dapat dipungkiri acapkali yang menjadi penyebab konflik dalam masyarakat salah satunya adalah perbedaan agama dan suku. Di Indonesia sendiri telah terjadi banyak kasus pertikaian yang melibatkan para pemeluk agama. Hanya gara-gara berbeda keyakinan atau agama, maka timbulah rasa benci yang berujung pada tindakan anarkis. Akibatnya kehidupan yang harusnya harmonis, rukun dan damai harus diciderai oleh pertikaian. Bahkan tak jarang memakan korban jiwa. Maka dari itu tak heran jika pemerintah terus berupaya mencanangkan soal sikap toleransi dan moderasi/kerukunan umat beragama di semua wilayah dan daerah.

Untuk saat ini peran pemerintah dalam menciptakan kehidupan yang rukun antar umat beragama sudah cukup baik. Melalui diklat Kementrian Agama kerap kali memberikan penyuluhan maupun pelatihan moderasi beragama kepada para tokoh agama. Harapan yang ingin dicapai adalah para tokoh agama tersebut dapat menyalurkan pemahaman tentang moderasi beragama kepada umat masing-masing.

Sebab jika umat beragama memiliki kesadaran dan pemahaman yang baik tentang moderasi beragama, maka hal ini akan menjadi kontribusi besar dalam menjaga kerukunan dan kedamaian di masyarakat. Tanpa adanya kesadaran tersebut, akan menjadi rentan terjadinya konflik sosial. Misalnya, dalam suatu wilayah masyarakat terjadi permusuhan antar pemeluk beragama, maka sikap permusuhan tersebut bisa menjadi pemicu terjadinya konflik sosial.   

Saya merasa senang bisa tinggal di lingkungan penduduk desa yang memiliki kesadaran tinggi tentang toleransi beragama. Sehingga bisa dipastikan bahwa di wilayah kami ini tidak pernah terjadi konflik antar umat beragama.

Belajar dari Desa Waringinsari Timur

Dari sekian banyak desa yang ada di daerah kami, ada satu desa yang penduduknya sangat majemuk tetapi memiliki toleransi tinggi, yaitu Desa Waringinsari Timur, Kecamatan Adiluwih, Kabupaten Pringsewu, Lampung. Bahkan desa ini mendapat julukan “desa sadar kerukunan” dan di sini pula dibangun “saung kerukunan” oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten Pringsewu.  Alasan FKUB kabupaten Pringsewu mendirikan saung kerukunan di desa tersebut adalah karena desa Waringinsari Timur ini menjadi representatif hadirnya lima agama antara lain, Islam, Katolik, Kristen (Protestan), Hindu dan Buddha. Bahkan ada pula beberapa warga yang masih memeluk kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Dan mereka semua mampu hidup harmonis satu sama lain.

Saung kerukunan sendiri telah diresmikan oleh wakil bupati Pringsewu pada tahun 2021. Dalam sambutannya, wakil bupati (Dr. H. Fauzi) kala itu mengatakan “Saung kerukunan umat beragama ini merupakan yang pertama kali dan satu-satunya di lingkup Kanwil Kemenag Provinsi Lampung. Adanya desa sadar kerukunan ini merupakan wujud nyata kebersamaan yang diidam-idamkan dalam rangka terciptanya kerukunan antar umat beragama di Kabupaten Pringsewu”. Ia juga menyampaikan saran bahwa wilayah yang aman, nyaman dan damai serta rukun, akan menjadi peluang di kalangan pengusaha untuk berinvestasi sehingga akan  menggerakkan roda perekonomian masyarakat.

Nama saung sendiri berasal dari bahasa Sunda yang berarti rumah kecil atau gubuk. Saung kerukunan di Desa Waringinsari Timur ini menjadi wadah bagi umat beragama setempat dalam menjalin kerukunan. Saung kerukunan ini juga menjadi simbol rumah bersama bagi para pemeluk agama yang ada di Kabupaten Pringsewu. Para tokoh agama baik di tingkat kabupaten maupun yang ada di tingkat desa, kerap kali menggunakan saung kerukunan untuk acara pertemuan ataupun sekedar dialog.

Sebenarnya warga masyarakat Desa Waringinsari Timur telah lama melakukan dan memelihara tradisi yang baik, yakni kegiatan anjangsana atau silahturahmi ke rumah warga pada saat momen hari raya keagamaan. Jika hari raya keagamaan salah satu agama tiba, maka biasanya warga masyarakat saling berkunjung untuk silahturahmi dan mengucapkan selamat hari raya, baik itu di hari raya keagamaan Islam, Kristen, Hindu mapun Buddha. Hal ini berlangsung setiap tahunnya dan telah menjadi tradisi turun temurun. Ada pula kegiatan yang mencuri perhatian, yakni di saat desa berulang tahun, pemerintah desa menyelenggarakan doa bersama lintas agama di balai desa, dan di akhir acara tersebut biasanya diisi dengan ramah tamah makan bersama.

Tak kalah menarik, ada pula tradisi gotong royong yang masih dilakukan sampai sekarang oleh warga setempat. Biasanya warga menyebutnya dengan istilah Jawa yaitu “sambatan” atau “rewang”. Sambatan adalah bantuan dalam bentuk tenaga yang diberikan warga kepada salah satu warga yang sedang membangun atau merehap rumahnya. Warga sekitar akan dengan sigap berduyun-duyun datang dari pagi sampai sore untuk membantu pembangunan rumah.

Sedangkan rewang adalah bantuan tenaga yang diberikan oleh warga pada salah satu warga yang sedang menyelenggarakan hajatan (pernikahan atau sunatan). Biasanya tuan rumah akan membentuk kepanitiaan yang melibatkan warga penduduk sekitar, sehingga  acara hajatan dapat berjalan dengan baik.  

Toleransi dan Teladan Kerukunan

Kehidupan harmonis yang ditampilkan oleh warga Desa Waringinsari Timur di atas menjadi contoh keteladanan yang positif bagi masyarakat di wilayah lainnya. Dari situ kita bisa mengambil pelajaran bahwa kedamaian dan perdamaian dalam suatu kelompok sosial yang majemuk hanya bisa tercipta dengan sikap toleransi. Menurut Syaiful Karim, seorang dosen dan ustad, dalam video ceramahnya, mengatakan “Toleransi adalah sikap saling memahami dan menghormati perbedaan. Sehingga dengan sikap yang toleran akan menghasilkan keharmonisan atau kerukunan sosial.”

Oleh karena itu, kita sebagai anak bangsa Indonesia hendaknya memiliki sikap toleransi, sehingga hal itu menjadi modal kita untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Menjaga dan melestarikan tradisi yang guyup (saling membantu) seperti yang ada di masyarakat Desa Waringinsari Timur tadi merupakan upaya menjaga nilai-nilai spiritualitas. Hal ini juga menjadi sarana pencegahan terhadap para oknum  anti toleransi yang ingin memecah belah persatuan dan kesatuan, serta ingin merusak tatanan kehidupan masyarakat yang harmonis.

Sebagai warga masyarakat yang baik sekaligus sebagai umat beragama, sebaiknya kita terus waspada terhadap isu-isu provokasi yang dapat merusak keharmonisan bangsa. Memang tidak salah jika kita sebagai pemeluk agama memiliki sikap fundamental terhadap agama masing-masing. Namun kita juga perlu menjadi pemeluk agama yang inklusif dan toleran terhadap umat beragama lainnya. Tujuannya adalah agar tercipta kehidupan yang rukun, aman, damai, dan harmonis dalam sosial masyarakat.

Referensi

https://lampung.poskota.co.id/2021/06/22/desa-dan-saung-kerukunan-diresmikan-kemenag-lampung-di-pringsewu.

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini