Beranda Publikasi Kolom Tradisi Tabot di Bengkulu

Tradisi Tabot di Bengkulu

1331
0
Sumber Gambar: https://travel.kompas.com/read/2023/07/13/164000427/mengenal-festivasl-tabut-bengkulu-tradisi-menyambut-tahun-baru-islam?page=all

Eikel Karunia Ginting (Mahasiswa Kajian Konflik dan Perdamaian UKDW)

Sebagai budaya, Tabot memiliki nilai religius yang sangat kuat. Perlu diketahui Tabot berasal dari kata “Tabut” dari bahasa bahasa Arab “At-tabutu” yang berarti kotak kayu. Masyarakat Bengkulu memaknai tabot sebagai bangunan yang dihiasi dengan berbagai macam dekorasi.

Variasi dari bentuk Tabot dapat berupa kepala ikan, rumah adat, manusia, dan masjid. Miniatur Tabot diarak dalam peringatan bulan Muharram tahun 61 Hijriyah sebagai peringatan gugurnya cucu Nabi Muhammad SAW Husain bin Ali bin Abi Thalib. Tabot awalnya merupakan tradisi kaum Syi’ah yang memuliakan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ragam bentuk Tabot merupakan simbol dari peti mati Imam Husain bin Ali yang gugur dibunuh.

Ada beberapa versi masuknya upacara Tabot di Bengkulu. Versi pertama menyebutkan Tabot dibawa oleh umat Islam dari India di abad ke XVII. Kelompok Islam tersebut didatangkan oleh kolonial Inggris sebagai pekerja ketika mereka menjajah Bengkulu. Sayangnya tidak ada catatan pasti kapan upacara Tabot dilaksanakan pertama kali di Bengkulu.

Versi lain, dari Kerukunan Keluarga Tabot (KKT), menyebutkan Tabot dibawa oleh Syekh Burhanudin atau Imam Senggolo. Syekh Burhanudin menjadi tokoh Islam yang membawa Tabot karena pernah bermukim di Punjab, Pakistan. Upacara Tabot yang berakar pada tradisi Islam berpadu dengan budaya Nusantara (Indonesia) sehingga dilaksanakan juga di beberapa daerah selain Bengkulu, seperti Sumatera Barat, Pidie Aceh, Banyuwangi, dan Gresik (Dahri, 2009, 76).

Simbol Asimilasi Budaya-Agama

Perjumpaan budaya yang terjadi dalam Tabot menjadi simbol asimilasi budaya turun-temurun masyarakat Bengkulu. Penyelenggaraan upacara Tabot berlangsung sebelum tanggal 1 Muharram selama 10 hari, yaitu dari tanggal 1 sampai 10 Muharram.

Perubahan terjadi dari tradisi umat Islam menjadi tradisi massal yang melibatkan masyarakat umum menjadi simbol relasi sosial di Kota Bengkulu. Bahkan tradisi Tabot juga dihadiri oleh kelompok-kelompok lintas agama sebagai bentuk kebersamaan. Sebagai warisan budaya terjadi interdependensi budaya dan tradisi agama yang beragam.

Masyarakat Bengkulu yang mayoritas Melayu dan beragama Islam berjumpa dengan beragam suku seperti Jawa, Tionghoa, Batak, Minang, dan lainnya. Selain budaya, terjadi juga dalam upacara Tabot perjumpaan agama dari Islam, Kristen, Budha, dan lainnya (Hariadi et al., 2014, 46-48).

Tabot dan Resiliensi Sosial

Keunikan perayaan Tabot terletak pada representasi kolektif masyarakat Bengkulu yang majemuk. Perayaan Tabot yang awalnya berasal dari agama Islam aliran Syi’ah mengakomodasi berbagai unsur lokal. Misalnya dengan menggunakan sesajen seperti kemenyan, daun bunga melur (melati), daun selasih, beras dan kunyit.

Setiap elemen masyarakat Bengkulu memaknai Tabot bukan sebagai upacara agama tetapi sebagai simbol pluralitas Kota Bengkulu. Hal tersebut dapat dilihat dari antusiasme masyarakat dalam mempersiapkan sebelum dan selama hari pelaksanaan upacara Tabot berlangsung.

Wilayah Teluk Sepang dan berbagai wilayah di Kota Bengkulu memiliki ikatan Kerukunan Keluarga Tabot (KKT) sebagai kelompok yang mengkonsolidasi pelaksanaan upacara Tabot. Partisipasi masyarakat dari berbagai golongan usia dan kelompok terlihat antusias dalam mempersiapkan bangunan-bangunan Tabot, mempersiapkan lingkungan, dan berbagai persiapan lainnya.

Beragam suku seperti Minang, Melayu, Tionghoa secara sukarela ikut terlibat. Masyarakat menyadari Tabot bukan hanya ritual Melayu Islam sehingga mendorong kesadaran untuk berkontribusi secara dana dan tenaga dalam pembuatan Tabot serta partisipasi selama acara. Seperti masyarakat Tionghoa yang secara rutin memberikan pertunjukan barongsai, masyarakat Jawa menampilkan reog ponorogo dan kuda lumping, serta berbagai budaya dari berbagai etnis lainnya (Hariadi et al., 2014, 22-27).  

Perayaan Tabot dimaknai sebagai wadah merayakan keberagaman suku dan agama di Bengkulu. Budaya yang beragam diberikan ruang untuk ditampilkan dan disaksikan oleh seluruh masyarakat menjadi gambaran perjumpaan budaya yang memperkaya dan memperkuat relasi sosial masyarakat Bengkulu.

Ritual agama menjadi resiliensi sosial yang memberikan kesadaran kolektif secara komunal. Eksistensi Tabot mengalami transformasi menjadi wadah akulturasi budaya dan sebagai penguat relasi sosial dari upaya memecah belah keberagaman yang ada di Bengkulu.

Tabot dan Perdamaian Interkultural

Perdamaian interkultural istilah komunikasi dan interaksi dengan budaya yang beragam sehingga terjadinya perdamaian yang aktif. Budaya dapat dimaknai juga sebagai kultur agama yang berbeda.  Dalam perjumpaan yang berlangsung terjadi kesadaran untuk saling mengenal dan belajar dari yang berbeda. Pengaruh dari perjumpamaan dapat menghilangkan stigma negatif terhadap sesama (Marthin & Nakayama, 2022, 31; Ginting, 2023, 7).

Kesadaran untuk saling terbuka menjadikan ikatan personal maupun komunal akan semakin menguat. Kesadaran bertumbuh dari sikap rendah hati (cultural humility) sekaligus perasaan memiliki satu dengan yang lain sehingga membentuk ikatan emosional terlepas dari identitas agama ataupun etnis yang berbeda (Marthin & Nakayama, 2022, 23).

Tabot dari sudut pandang perdamaian interkultural adalah simbol perdamaian aktif yang menjadi perekat komunal. Tabot berdampak dalam kesadaran masyarakat sehari-hari. Kemajemukan suku dan agama menjadi relasi dinamis sebab satu dengan lainnya saling menghargai tanpa merasa terancam.

Budaya Tabot sebagai media edukasi sekaligus juga penyadaran bahwa masyarakat Bengkulu hidup dalam heterogenitas. Menurut Emile Durkheim, masyarakat yang berpartisipasi dalam tindakan secara bersamadisebut dengan collective effervescence (Durkheim, 1995, 45).

Tabot menjadi salah satu bentuk dari partisipasi yang didorong oleh kesadaran masyarakat sehingga memunculkan ikatan sosial yang kuat dan menumbuhkan rasa damai antar masyarakat. Tabot dapat disebut sebagai simbol perdamaian interkultural masyarakat Bengkulu yang wajib terus dikembangkan dan dihidupi sekaligus sebagai simbol keberagaman di Indonesia berbasis local wisdom (kearifan lokal). [NI]

Daftar Pustaka

Dahri, H. (2009). Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu. Pemikat Citra.

Durkheim, E. (1995). The Elementary Forms Of Religious Life (Karen E. Fields (ed.)). The Free Press. https://monoskop.org/images/a/a2/Durkheim_Emile_The_Elementary_Forms_of_Religious_life_1995.pdf

Ginting, E. (2023). Pendekatan Interkultural Dalam Pemberdayaan Pemuda Gereja Bagi Perdamaian Lintas Iman. DA ’ AT : Jurnal Teologi Kristen DA ’ AT : Jurnal Teologi Kristen, 4(2), 13–36.

Hariadi, Refisrul, & Arios, R. L. (2014). Inventarisasi Karya Budaya Bengkulu: Tabut. Balai Peestarian Nilai Budaya (BNPB) Padang.

Marthin, J. N., & Nakayama, T. K. (2022). Intercultural Communication In Context (8th ed.). McGraw Hill LLC.

https://travel.kompas.com/read/2023/07/13/164000427/mengenal-festivasl-tabut-bengkulu-tradisi-menyambut-tahun-baru-islam?page=all

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini