Oleh: Sumanto Al Qurtuby (Direktur Nusantara Institute, antropolog budaya di King Fahd University, dan senior fellow di Middle East Institute)
Ada empat seniman Jawa yang kematiannya sangat mengagetkanku: Ki Manthous, the King of Campursari (w. 2012); Ki Enthus Susmono, the Prince of Wayang Golek (w. 2018); Didi Kempot, the Lord of Broken Heart (w. 2020); dan Ki Seno Nugroho, the Master of Bagong (w. 2020).
Bagiku, keempatnya adalah seorang legenda yang sangat fenomenal di dunia seni. Ki Manthous sangat piawai dalam melantunkan lagu-lagu campursari Jawa dengan gaya klasik. Suaranya sangat empuk, merdu, dan mendayu. Banyak sekali lagu-lagu ngehits yang didendangkan oleh Ki Manthous dengan piawainya: Nyidam Sari, Yen Ing Tawang, Ngimpi, Konco Tani, Sakit Rindu, Mung Sliramu, Lamis dlsb.
Ki Enthus Susmono juga piawai dan kreatif dalam membawakan dan memerankan “wayang golek” (wayang terbuat dari kayu). Ciri khas Ki Enthus kalau sedang “ndalang” adalah memadukan seni pewayangan dengan ajaran keislaman dan dibumbuhi dengan kutipan-kutipan ayat, Hadis atau perkataan ulama. Ia juga menggunakan wayang sebagai medium kritik sosial.
Didi Kempot, adalah the king of campursari modern yang mampu mengolah dan mengombinasikan campursari dengan spirit milenial agar digemari generasi baru. Jika Ki Manthous adalah penyanyi gaya campursari klasik yang kebanyakan digemari oleh “generasi kolonial-rural”, maka Didi Kempot adalah penyanyi gaya campursari baru yang lagu-lagunya mampu membius generasi milenial (atau mungkin juga “generasi Z”), baik rural maupun urban, baik kelas bawah maupun kaum elit.
Bagaimana dengan Ki Seno?
Ki Seno adalah seorang dalang wayang kulit yang mampu menjadikan seni pewayangan menjadi pertunjukkan yang mengasyikkan bagi semua kalangan: muda-tua, kota-desa, kaya-kere dan seterusnya. Ki Seno saya kira adalah dalang pertama yang setiap “manggung” selalu streaming sehingga bisa dilihat dari berbagai macam negara. Ki Seno juga mempunyai channel khusus di YouTube (“Dalang Seno”) yang bukan hanya memuat saat ia pentas tetapi juga kehidupannya sehari-hari yang sangat sederhana.
Kekuatan dalang Ki Seno terletak pada gaya bahasa yang ia mainkan atau gunakan yang menggabungkan bahasa Jawa kuno dengan Jawa kontemporer, halus dan juga ngoko, bahasa resmi dan juga bahasa gaul. Karena menggunakan bahasa gado-gado inilah, Ki Seno mampu menjamah berbagai audiens di berbagai kalangan sosial, latar belakang profesi dan pendidikan. Hal ini berbeda dengan sejumlah dalang senior seperti Ki Anom Suroto atau Ki Mantep Sudharsono, misalnya.
Selain itu, humor juga menjadi kekuatan dan daya tarik sendiri pada diri Ki Seno. Ia dikenal sangat piawai dalam melucu atau “mbanyol” sehingga menyebabkan para penontong, pengrawit, dan sinden sering tergelak-tawa.
Biasanya, puncak lelucon bersamaan dengan munculnya sosok Bagong, salah satu anggota Punakawan yang “ndugal” dan “nggleleng” tapi “mitayani” (mampu menyelesaikan masalah, rumit sekali pun). Bagi Ki Seno, Bagong, anak bungsunya Semar ini, bukan hanya menjadi penghimbur para ksatria dengan tingkah polah, lawakan, dan banyolan-banyolannya tetapi juga simbol “wong cilik” yang tegas, “bloko telo” (jujur), pemberani, dan pengkritik kelas wahid.
Dengan gaya khasnya, Bagong akan mengkritik siapapun yang ia anggap keliru dan berdosa. Tak peduli raja, pangeran, begawan, atau bahkan dewa sekali pun. Memang “ndugal” dan “nggleleng”. Bethara Guru, Duryudana, Kresna, Janaka, Baladewa, Werkudara, semua tak luput dari kritikannya. Apalagi hanya seorang “begawan kucluk” seperti Durna atau “senopati gemblung-njemblung tombak cucukan” seperti Sengkuni.
Dalam membawakan atau memerankan sosok Bagong, Ki Seno tampak sangat lain dari para dalang pada umumnya yang saya kenal sehingga tak heran kalau saya sebut Ki Seno sebagai “the master of Bagong”. Berkat kepiawaian, kendugalan, kengglelengan, dan kembanyolan dalam memainkan sosok Bagong ini pulalah, Ki Seno menjadi sangat populer.
Sebagai penikmat wayang sejak dari kecil bahkan saya dulu juga suka “ndalang” (dengan wayang mainan) serta hobi nonton pertunjukan wayang kulit di kampung sampai berlarut-larut malam, saya tentu saja sangat kehilangan dengan berpulangnya Ki Seno yang videonya rajin saya tonton di YouTube karena bisa menjadi “hiburan otak” di saat penat sehabis membaca, menulis, atau mengajar.
Bukan hanya keluarga, sahabat, pengrawit dan sinden saja yang kehilangan, ribuan penggemar Ki Seno juga merasa kehilangan dengan kematian mendadak dalang fenomenal ini. Selamat jalan, selamat pulang, Ki Seno. Semoga Anda damai di alam baka dan semoga kelak akan muncul Ki Seno-Ki Seno baru di jagat pewayangan Indonesia.
Jabal Dhahran, Jazirah Arabia