Restifani Cahyami (Alumni Pascasarjana IAKN Toraja)
Berkat adalah sesuatu yang dinantikan atau diharapkan oleh setiap individu baik baik berkat kesehatan, kekuatan, materi, dan lain sebagainya. Ketika manusia atau individu tersebut telah merasakan atau menerima berkat, maka bersyukur merupakan tindakan yang lumrah untuk dilakukan. Hal ini karena bersyukur merupakan salah satu sikap yang seharusnya ditunjukkan oleh manusia ketika memperoleh sesuatu.
Bersyukur bukan hanya ditunjukkan oleh manusia kepada sesamanya, tetapi juga terlebih harus ditunjukkan kepada Tuhan yang menjadi sumber segala sesuatu bagi manusia. Bersyukur secara sederhana dapat dipahami sebagai sikap berterima kasih atau mengucapkan syukur (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Oleh karena itu, ketika manusia bersyukur kepada Tuhan, berarti manusia mengungkapkan rasa terima kasih kepada Tuhan yang dapat dinyatakan dalam berbagai bentuk dan cara baik dalam bentuk verbal maupun nonverbal. Bersyukur kepada Tuhan biasanya dipahami sebagai bentuk ungkapan iman manusia kepada Tuhan yang telah memberikannya hidup dan kehidupan.
Tradisi Pangkahingisam dan Pemaknaannya
Masyarakat di wilayah Salumokanan, yang merupakan salah satu daerah di Provinsi Sulawesi Barat memiliki cara yang unik sekaligus khas dalam mengungkapkan rasa terima kasih mereka kepada Allah. Ungkapan rasa syukur tersebut secara khusus akan dinaikkan atas hasil bumi yang didapatkan misalnya melalui pertanian, peternakan, perkebunan dan usaha-usaha mereka yang lainnya. Bentuk ungkapan syukur tersebut disebut dengan pangkahingisam.
Pangkahingisam merupakan salah satu tradisi pengucapan syukur masyarakat Salumokanan atas berkat yang diberikan oleh Tuhan melalui hasil panen bumi seperti padi, umbi-umbian dan lain sebagainya. Tradisi ini merupakan tradisi yang berlangsung sejak lama dan terus dipelihara oleh masyarakatnya bahkan telah mengalami kontekstualisasi menurut agama atau kepercayaan yang dipeluk oleh masyarakat Salumokanan.
Tradisi pangkahingisam di masa lalu biasanya dilakukan oleh nenek moyang di awal panen yang didahului dengan sebuah tradisi yang disebut mangngukuih atau didoakan, yang kemudian disebut dengan istilah mangkahingi’ (Andriani, 2022). Alasan nenek moyang melakukan acara pangkahingisam di awal panen ialah karena mereka menganggap bahwa hasil bumi yang akan dipanen harus didoakan terlebih dahulu atau pertama-tama harus dipersembahkan kepada Tuhan meskipun mereka belum memiliki agama seperti agama-agama yang diakui di Indonesia pada saat ini.
Agama yang dipeluk oleh nenek moyang tersebut kemudian kini dikenal sebagai agama aluk todolo/aluk toyolo/aluk tomatua (agama orang tua terdahulu/agama tua) (Buijs, 2017). Oleh karena itu, ketika pangkahingisam itu tiba, maka masing-masing rumah tangga akan mangkahingi’ atau berdoa di rumah mereka masing-masing untuk selanjutnya melakukan panen atas hasil bumi mereka.
Selain dimaksudkan untuk menyatakan rasa syukur kepada Tuhan atas berkat melalui panen yang mereka nikmati, pangkahingisam juga sebenarnya memiliki nilai sosial yang patut dipertahankan. Hal ini karena selain mangkahingi’ di rumah masing-masing, masyarakat juga akan memanggil sesama mereka yang tidak memiliki lahan untuk melakukan panen sendiri atau mengambil gabah (ma’sangkin atau mepare) sendiri di ladang sesamanya yang sedang panen, sedangkan yang tidak kuat untuk ma’sangkin atau mepare diberikan sebagian dari hasil panen yang ada.
Selain itu, setiap keluarga biasanya juga akan memberikan makanan dari hasil pangkahingi’ atau dari hasil pertama satu dengan yang lainnya yang disebut sipambawa-bawaam. Selain untuk membangun keakraban dan kebersamaan, hal ini juga bertujuan untuk menunjukkan rasa peduli kepada sesama yang membutuhkan seperti janda, duda maupun anak yatim piatu (Andriani, 2022).
Hal ini memperlihatkan bahwa meskipun orang tua zaman dahulu atau nenek moyang tidak memiliki satu agama yang resmi, namun sikap saling tolong menolong, peduli serta rasa kekeluargaan mereka sangat tinggi. Selain itu, hal ini juga memperlihatkan bahwa rasa peduli atau berbuat baik kepada sesama tidak harus didasarkan pada aturan atau norma keagamaan, tetapi seharusnya berasal dari dalam diri setiap orang yang tergerak melakukan kebaikan.
Meskipun tradisi pangkahingisam tersebut menyimpan banyak nilai dan makna yang baik bagi masyarakat, namun tradisi tersebut tidak lagi dilakukan dalam bentuk seperti yang dilakukan oleh nenek moyang masyarakat Salumokanan sebab tradisi tersebut telah banyak mengalami pergeseran seiring dengan perkembangan zaman. Ketika waktu pangkahingisam telah tiba (saat ini dilakukan ketika selesai masa panen), maka masyarakat Salumokanan yang beragama mayoritas Kristen, kini akan membawa hasil bumi mereka ke gereja.
Hasil bumi yang dibawa tersebut merupakan hasil yang terbaik sebab akan dipersembahkan kepada Tuhan. Selain diberikan sebagai persembahan, hasil panen yang dibawa oleh masyarakat juga akan diolah secara bersama-sama (namun tidak menutup kemungkinan juga jika diolah dari rumah masing-masing dan dibawa untuk dimakan bersama) untuk kemudian dinikmati. Kegiatan inilah yang kemudian disebut sebagai acara “pesta panen” bagi orang Kristen Salumokanan.
Kegiatan pesta panen ini kini biasanya dilakukan sebanyak dua kali dalam setahun atau disesuaikan dengan jumlah panen padi dalam satu tahun. Nenek moyang di zaman dulu biasanya hanya melakukan satu kali dalam setahun sebab jenis padi yang mereka tanam ialah jenis padi yang hanya memungkinkan untuk dipanen satu kali saja dalam setahun.
Satu hal yang penting untuk digarisbawahi bahwa meskipun prakteknya tidak lagi dilakukan sama seperti yang dilakukan oleh orang tua zaman dahulu, namun nilai dan maknanya tetap dipertahankan oleh masyarakat yaitu untuk menyatakan syukur serta bakti kepada Tuhan sebagai sumber berkat dan sekaligus untuk menyatakan kepedulian kepada sesama yang membutuhkan yang disebut dengan diakonia (Yance, 2024).
Pelayanan diakonia inilah yang juga terus menerus diberikan kepada sesama yang membutuhkan seperti janda, duda, anak yatim atau piatu, lansia dan kelompok-kelompok lainnya yang dianggap layak untuk diberikan pelayanan diakonia. Tujuannya ialah agar berkat yang diterima dari Tuhan dirasakan secara bersama-sama dan agar berkat tersebut merasa bagi manusia.
Penutup
Berdasarkan pada penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa pangkahingisam merupakan salah satu tradisi kekayaan masyarakat Indonesia khususnya di daerah Provinsi Sulawesi Barat yang menyimpan banyak nilai baik nilai spritualitas maupun nilai sosial dalam praktiknya. Tradisi seperti ini patut untuk dipertahankan dan dilestarikan dalam kehidupan masyarakat sebab selain untuk menjaga warisan nenek moyang, tradisi ini juga berguna baik dalam menjaga keutuhan, kesatuan dan kebersamaan di dalam masyarakat.
Selain itu, tradisi ini juga memperlihatkan bahwa bersyukur yang sebenarnya haruslah ditunjukkan melalui tindakan yang nyata melalui sikap berbagi kepada sesama yang membutuhkan sehingga bersyukur bukan saja soal konsep melainkan juga tindakan. Oleh karena itu, konsep bersyukur bagi masyarakat Salumokanan adalah ungkapan iman kepada Tuhan sebagai sumber berkat yang diwujudkan kepada sikap kepada sesama.
Referensi
Andriani, N. (2022). PANGKAHINGISAM: Tinjauan Teologis tentang Penerapan Pelayanan Diakonia pada Perayaan Pangkahingisam di Gereja Toraja Mamasa Jemaat Rante Klasis Salumokanan. Tana Toraja: IAKN Toraja.
Buijs, K. (2017). Agama Pribadi dan Magi di Mamasa, Sulawesi Barat. Makasar: Ininnawa.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. (n.d.).
Informan: Yance