Beranda Publikasi Kolom Slametan di Bulan Suro

Slametan di Bulan Suro

267
0

Dewi Ayu Larasati (Akademisi dan Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya)

Bulan Suro (Sura) bagi masyarakat Muslim Jawa merupakan bulan yang memiliki keistimewaan dan makna khusus. Satu Suro dalam penanggalan Jawa bertepatan dengan Tahun Baru Islam, yaitu satu Muharram dalam kalender Hijriah.

Adalah Sultan Agung Hanyokrokusumo, pemimpin Kerajaan Mataram Islam yang menetapkan satu Suro sebagai awal tahun baru Jawa sebagai bagian dari proses Islamisasi kebudayaan Jawa. Suro yang semula perhitungannya berdasarkan Tahun Saka dengan sistem peredaran matahari diubah menjadi mengikuti tahun Hijriah yang menganut sistem peredaran bulan. Penyatuan kalender Saka dan kalender Hijriah menjadi kalender Jawa dimulai sejak Jumat Legi bulan Jumadil akhir tahun 1555 Saka atau 8 Juli 1633 Masehi (dikutip dari indonesiakaya.com).

Asal-usul kata Suro oleh kalangan masyarakat Islam Jawa sebagaimana dilansir dari buku Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa (2010:83) oleh Muhammad Sholikhin, dirunut dari bahasa Arab ‘asyura’ yang artinya sepuluh, yakni tanggal 10 bulan Muharram. Solikhin menambahkan, sistem kepercayaan Islam Jawa yang menunjukkan arti penting Suro yaitu ke sepuluh hari pertama dalam bulan Muharram, dianggap paling keramat.

Terdapat beberapa sebab mengapa bulan Suro atau Muharram disakralkan oleh kalangan masyarakat Muslim Jawa, diantaranya; (1) bulan Muharram termasuk salah satu bulan yang dimuliakan Tuhan; (2) oleh Rasulullah Muhammad SAW, bulan Muharram dinyatakan sebagai “bulan para Nabi” (3) tanggal 10 Muharram Nabi Nuh bersama pengikutnya selamat dari bencana banjir bandang; (4) tanggal 1 Muharram merupakan awal ekspedisi hijrah Nabi Muhammad dari Mekah menuju Madinah; (5) bulan Muharram, atas prakarsa Sultan Agung menjadi bulan awal tahun baru bersama-sama antara Islam dan Jawa. Juga terdapat keyakinan di sebagian masyarakat Jawa, bahwa bulan Muharam adalah bulan kedatangan Aji Saka di tanah Jawa, dan membebaskan Jawa dari cengkeraman makhluk-makhluk raksasa (banul jan) yang menjajah manusia generasi pendahulu Aji Saka. Selain itu bulan tersebut juga diyakini sebagai bulan kelahiran huruf Jawa; (6) terdapat keyakinan tentang kaitan sakral antara bulan Muharram dengan Ratu atau Penguasa laut selatan, atau yang lebih dikenal dengan Ratu Kidul; (7) tanggal 10 Muharram atau Asuro, dalam sejarah Islam pernah terjadi peristiwa yang sangat mengharukan umat Islam, yaitu pembantaian terhadap 72 keturunan nabi dan pengikutnya, yang ditandai dengan gugurnya Sayyidina Husein (Solikhin, 2009:46-48).

Mengingat kesakralan dan kemuliaan bulan Suro yang ditandai dengan berbagai peristiwa penting yang terjadi dalam sejarah peradaban Islam, tidak heran jika adanya bulan tersebut selalu diperingati oleh semua kalangan, baik melalui tradisi kejawen yang sangat kental maupun tradisi Islam.

Ditambah lagi adanya keyakinan masyarakat Jawa yang menganggap bulan Suro sebagai bulan prihatin, karena banyaknya musibah-musibah yang terjadi di bulan Suro, membuat masyarakat Jawa cenderung menghindari pesta atau hajatan di bulan ini. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Salam (1988:110) bahwa bulan Suro diartikan sebagai bulan prihatin, karena kebetulan di dalam sejarah banyak musibah-musibah yang terjadi di bulan Suro.

Oleh karena bulan Suro dianggap bulan prihatin, maka untuk menyambut kedatangan bulan Suro ini masyarakat Jawa lebih menempuh laku prihatin, diantaranya dengan puasa dan bertapa, tirakatan, dzikir bersama, termasuk juga selamatan atau slametan (Jawa).

Slametan merupakan puncak dari ritual di bulan Suro. Bahkan bagi sebagian masyarakat Jawa meyakini jika tradisi ini tidak dilaksanakan, akan terjadi bencana besar di wilayah tersebut (Mu’alifah, 2021:87).

Slametan yang berasal dari kata “slamet’” merupakan istilah yang berasal dari bahasa Arab yakni “salamah” yang berarti damai dan selamat (Ariyadi, 2021:57). Dalam bahasa krama (tinggi), slametan disebut wilujengan. Selain itu, slametan juga dikenal dengan istilah kenduri (Ridwan, 2012).

Slametan pada dasarnya merupakan salah satu tradisi turun temurun yang sangat penting bagi masyarakat Jawa. Hampir dalam setiap peristiwa besar dalam alur hidup manusia seperti kelahiran bayi, pernikahan, upacara kematian, dan juga acara keagamaan seperti halnya di bulan Suro, selalu diadakan ritual selamatan. Koentjaraningrat dalam hal ini berpendapat (1984:344) bahwa slametan atau wilujengan adalah suatu upacara pokok atau unsur terpenting dari hampir semua ritus dan upacara dalam sistem religi orang Jawa pada umumnya, dan penganut Agama Jawi khususnya.

Bahkan muncul anggapan bila seseorang tidak melakukan slametan atau kenduri, maka ia akan dianggap sebagai orang Jawa yang tidak berakhlak. Ungkapan “Orang Jawa kok tidak Njawani” dan “orang tidak berakhlak” merupakan label yang diberikan kepada kelompok masyarakat yang tidak mau menyelenggarakan slametan atau kenduri (Salehudin, 2007:119).

Pada bulan Suro, masyarakat Muslim Jawa biasanya melaksanakan beberapa jenis selametan atau kenduri, diantaranya; slametan pada malam tanggal 1 bulan Muharram, slametan pada malam tanggal 8 bulan Muharram, dan slametan tanggal 10, atau Asura (Solikhin, 2009:238).

Secara tradisional acara slametan dimulai dengan doa bersama dipimpin oleh pemuka adat atau tokoh yang dituakan di satu lingkungan, dengan duduk bersila di atas tikar, melingkari nasi tumpeng dengan lauk pauk dan kemudian dilanjutkan dengan menikmati nasi tumpeng tersebut secara bersama-sama.

Slametan Bulan Suro sebagai Ekspresi Spiritual

Bagi masyarakat Jawa, perayaan Satu Suro merupakan momen spiritual paling penting dalam kehidupan mereka. Malam satu Suro dipercaya sebagai waktu yang penuh dengan energi spiritual dan keberkahan.

Jika masyarakat barat atau generasi modern menyambut tahun baru Masehi dengan mengadakan pesta pora, atau masyarakat Cina Tiongkok menyambut tahun baru Imlek dengan suasana meriah, sebaliknya masyarakat Jawa dalam menyambut tahun baru Suro dengan lebih menitikberatkan pada ketenteraman batin dan keselamatan.

Masyarakat Jawa biasanya meyakini bahwa sepanjang bulan Suro mereka harus terus bersikap eling dan waspada sepanjang bulan Suro. Seperti dikutip dari laman indonesiakaya.com, eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya kita dan di mana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sementara waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan.

Ritual slametan bulan Suro dengan memakai benda-benda makanan (uba rampe) merupakan simbol penghayatan masyarakat Jawa terhadap Sang pencipta. Konsep ini dipercayai sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan berkah untuk awal tahun yang baru.

Di samping itu, ritual slametan bulan Suro merupakan upaya untuk menghadirkan rasa selamat dan menghindari marabahaya. Hal ini seperti yang dinyatakan Syam (2005:159) bahwa slametan yang dianggap sebagai salah satu cara untuk sadaqah, diyakini sebagai memiliki kekuatan untuk menangkal bala. Itulah sebabnya, di kalangan masyarakat Jawa, slametan menjadi penting sebab dengan melakukan slametan berarti dia telah melakukan upacara untuk menolak bala.

Slametan Bulan Suro sebagai Refleksi Kesatuan Sosial

Slametan pada dasarnya tidak hanya sebagai eskpresi spiritual, yaitu kegiatan batiniah yang bertujuan mendapat ridha dari Tuhan Sang Pencipta, namun juga sebagai wahana untuk membentuk kesatuan sosial.

Hal ini seperti yang diungkapkan Geertz (1989:13) bahwa slametan melambangkan kesatuan mistis dan sosial yang ikut serta di dalamnya, termasuk handai tolan, tetangga, rekan sekerja, sanak keluarga, arwah setempat, nenek moyang yang sudah mati, dan dewa-dewa yang hampir terlupakan, semuanya duduk bersama mengelilingi satu meja dan karena itu terikat ke dalam suatu kelompok sosial tertentu yang diwajibkan untuk tolong-menolong dan bekerja sama.

Keterlibatan masyarakat secara menyeluruh dalam ritual slametan satu Suro memiliki fungsi strategis dalam memperkuat kohesi dan integrasi masyarakat secara menyeluruh. Mereka berperan dalam memperkuat ikatan sosial antar individu, mengajarkan nilai-nilai, serta menjaga kerukunan sosial.

Hal ini sejalan dengan pendapat Syam (2013:201) bahwa slametan hakikatnya merupakan medium untuk menjaga kerukunan sosial. Betapa pun terdapat kesenjangan sosial di antara komunitas di suatu tempat maka wadah yang menyatukan berbagai perbedaan tersebut adalah slametan.

Makna Filosofis Uba Rampe Slametan Suro

Uba rampe seperti yang dikutip dari R. Kresno Aji (2023:116) memiliki makna piranti atau perlengkapan yang dibutuhkan dalam ritual sesajen. 

Uba rampe selamatan Suro tidak hanya sekadar properti, namun juga mengandung makna khusus. Seperti halnya uba rampe yang dibawa pada saat selamatan malam satu Suro yang terdiri atas nasi ambeng dengan lauk pauk seperti sayur, tahu, tempe, dan sejenisnya melambangkan kesederhanaan, hidup apa adanya, menerima ketentuan Allah (Solikhin, 2010:277).

Untuk kenduri selamatan yang dilaksanakan pada tanggal 8 atau hari Jumat dalam bulan Suro uba rampe-nya adalah bubur yang dicampur dengan 9 bahan seperti botor, jagung, kacang, gudhe, biji asam, kemangi, kacang hijau, lada putih dan biji buah delima. Ubo rampe ini dimaksudkan untuk memuliakan Baginda Husain (Giri M.C., 2010:55). M

Dilain pendapat, Solikhin (2009:38) menyebutkan jika kenduri selamatan tanggal 8 Suro tepatnya di siang hari, sajian utama adalah bubur manggul (manggulan) yang memiliki makna untuk memperingati dan mensyukuri selamatnya Nabi Nuh dari bencana banjir.

Selanjutnya ada juga kenduri atau selamatan tanggal 10 bulan Muharram dengan uba rampe utama ialah nasi tumpeng “rasul”, ingkung ayam, pisang raja dan aneka jajanan pasar.  Seperti yang dikutip dari Solikhin (2009:239-240) kata “tumpeng Rasul” memiliki muatan makna “metu dalan sing lempeng manut kanjeng Rasul” (melalui jalan yang lurus, mengikuti ajaran utusan Tuhan).

Sedangkan lauk daging ayam yang dimasak utuh disebut “ingkung” mengandung makna “inggala njungkung” (segeralah bersujud kepada Allah, sebagai ciri khas orang yang mengikuti Nabi atau Rasul Tuhan). Buah pisang, yang dalam bahasa Jawa disebut “gedhang”, merupakan penjawaan dari bahasa Arab, “ghadan” yang artinya besok atau kelak.

Maksudnya adalah visi orang Muslim Jawa yang futuristik, bahwa kehidupan di alam akhirat akan dipenuhi kebahagiaan melalui kedermawanan, senang bersedekah, menolong orang lain dan mencukupi kebutuhan sesama.

Aneka jajanan pasar yang sering ditemukan dalam ritual selamatan, walaupun sering berbeda antara daerah satu dengan daerah lain, esensinya hampir sama yaitu sebagai sedekah untuk keselamatan hidup. Jajan pasar juga lambang dari sesrawungan (hubungan kemanusiaan, silaturahmi), lambang kemakmuran (Solikhin, 2010:37).

Dengan mengenal apa itu slametan bulan Suro, tradisi yang kerap dirayakan masyarakat Jawa di bulan Muharram, tentunya akan menambah pengetahuan kita tentang kearifan lokal budaya bangsa yang sejatinya memiliki nilai-nilai luhur. Dan dengan diadakannya acara peringatan ini, diharapkan masyarakat lebih menghargai dan melestarikan budaya Jawa pada khususnya. [INI]

Daftar Pustaka

Aji, R. Kresno. 2023. Kamus Unggah-Ungguh, Bahasa Jawa-Indonesia, Indonesia-Jawa. Penerbit: Kresno Aji

Ariyadi, Samsul. 2021. Resepsi Al-Qur’an dan Bentuk Spiritualitas Jawa Modern. Serang: Penerbit A-Empat

Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya

Giri M.C., Wahyana. 2010. Sajen dan Ritual Orang Jawa. Yogyakarta: NARASI

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jaw. Jakarta: PN Balai Pustaka

Menyelami Makna Satu Suro, Malam Sakral Masyarakat Jawa. (diunduh dari https://indonesiakaya.com/pustaka-indonesia/perayaan-satu-suro-tradisi-malam-sakral-masyarakat-jawa/ , tanggal akses 1 Juli 2024)

Mu’alifah, Lutfiana. Menelisik Budaya Baritan Sambut Tahun Baru Muharram. Dalam Luthfi Samudro (Ed.). 2021. Mandala Berbudaya: Astha Jathayu, Magelang: Penerbit Pustaka Rumah Cinta

Ridwan, Muannif. (November 2012). Islam Tradisionalis ala Maghribi. Majalah Aula, 43-45

Salam, Solichin. 1988. Butir-Butir Mutiara Hikmah. Jakarta: Penerbit Kuning Mas

Salehudin, Ahmad. 2007. Satu Dusun, Tiga Masjid: Anomali Ideologisasi Agama dalam Agama. Yogyakarta: Pilar Media

Solikhin, Muhammad. 2009. Kanjeng Ratu Kidul dalam Perspektif Islam Jawa. Yogyakarta: Penerbit NARASI

Solikhin, Muhammad. 2010. Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa. Yogyakarta: Penerbit NARASI

Syam, Nur. 2005. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS

Syam, Nur. 2013. Tarekat Petani, Fenomena Tarekkat Syattariyah Lokal. Yogyakarta: LKiS

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini