Beranda Publikasi Kolom Tradisi Masso’bä’: Ekspresi Iman Kolektif Petani Mamasa

Tradisi Masso’bä’: Ekspresi Iman Kolektif Petani Mamasa

408
0
Petani Mamasa sedang membajak sawah

Jefri Andri Saputra (Alumni Pascasarjana IAKN Toraja)

Sawah adalah bagian integral dari kehidupan masyarakat agraris. Keberhasilan petani memanen padi sangat ditunjang oleh strategi pengolahan sawah. Tidak sedikit dari petani yang kemudian bergantung pada penggunaan pupuk anorganik dan insektisida untuk menunjang pertumbuhan padi. Tidak ketinggalan pula penggunaan berbagai teknologi pertanian untuk mempermudah pembajakan sawah.

Di tengah maraknya ketergantungan petani terhadap teknologi dan penggunaan pupuk pertanian, beberapa masyarakat adat juga masih bergantung pada ketaatan terhadap tradisi pertanian leluhur. Sebut saja tradisi di Mamasa yang disebut tradisi masso’bä.

Sebagian masyarakat Mamasa meyakini bahwa kesuksesan petani tidak lepas dari tradisi masso’bä’. Tradisi ini menjunjung tinggi kolektivitas. Masyarakat juga bergotong-royong membantu pemimpin dalam masyarakat untuk membajak sawah karena dianggap berimplikasi pada kesuksesan panen padi. Beberapa keunikan dalam tradisi ini mendorong saya untuk menganalisisnya.

Konteks Tradisi Masso’bä’

Masyarakat Mamasa hidup dalam kearifan lokal yang dipengaruhi oleh agama lokal di Mamasa. Agama lokal mewariskan sebuah pandangan hidup yang disebut pairan (kadang disebut paiham atau pairam, tergantung dialek setiap daerah). Pairan merupakan sikap hidup masyarakat yang ditandai dengan keadaan hidup tertaut pada Tuhan atau selalu berelasi dengan Tuhan.

Relasi yang disebut di sini diejawantahkan dalam bentuk sikap hidup yang memercayakan kehidupan secara total kepada Tuhan, mengandalkan Tuhan dalam perencanaan, serta menaati setiap aturan dan kesepakatan dalam masyarakat (Saputra, 2023b). Pengertian ini diimplementasikan dalam etika pribadi, aturan hidup rumah tangga, aturan pembuatan rumah, kepemimpinan, dan pelaksanaan pemali appa’ randanna (empat aturan yang mendasari kehidupan masyarakat).

Kondisi ini memperlihatkan bahwa pairan menjiwai kehidupan secara holistik. Menempatkan semua segi kehidupan digerakkan oleh pairan membuat Kees Buijs menyebut masyarakat Mamasa sebagai komunitas yang tidak membedakan kehidupan antara sakral dan profan (Buijs, 2017).

Masyarakat yang menaati pairan akan menikmati berkat Tuhan. Sebaliknya, kehidupan yang melanggar pairan (salah pairan) akan mengalami hukuman seperti bencana alam, gagal panen, penyakit, hingga kematian (Saputra, 2023b). Kondisi ini memperlihatkan bahwa masyarakat Mamasa meyakini bahwa bentuk relasi dengan Tuhan ikut menentukan keberhasilan atau pun kegagalan dalam kehidupan.

Dalam tradisi masso’bä’, pembahasan pairan berkaitan dengan kepemimpinan dan pemali appa’ randanna. Masyarakat yang menganut pairan percaya akan peran to mepairan (baca: pemimpin sekaligus pendoa). To mepairan dalam agama lokal merujuk pada jajaran pimpinan adat. Dalam konteks agama Kristen, to mepairan merujuk kepada pemimpin adat, pelayan gereja, dan juga pemerintah desa. Ketiga jabatan ini tidak sekadar memegang jabatan pemimpin, tetapi juga menjadi pendoa bagi komunitas yang dipimpinnya.

Selain itu, to mepairan juga harus menaati semua tanggung jawab etis yang disematkan kepadanya. Jika to mepairan dapat menjaga relasinya dengan Tuhan, tekun mendoakan komunitas yang dipimpinnya, dan tidak melanggar tanggung jawab etisnya, maka kehidupan masyarakat yang dipimpinnya akan sejahtera. Sebaliknya, jika to mepairan melanggar kewajibannya, maka terjadi bencana, gagal panen, penyakit, hingga kematian (Saputra, 2023a).

Tradisi masso’bä’ juga berkaitan dengan pemali appa’ randanna. Pemali appa’ randanna merupakan empat aturan yang menjadi pedoman hidup masyarakat. Keempat aturan tersebut adalah aturan mengenai ritual dan pekerjaan sawah (pa’totibojongam), ritual yang berkaitan dengan orang mati (pa’tomateam), ritual yang berisi ekspresi pengucapan syukur dan menepati nazar (pa’bisuam), serta ritual yang berkaitan dengan pernikahan (pa’bannetauam) (van der Klis, 2021).

Pelaksanaan pemali appa’ randanna menekankan kolektivitas dan keteraturan. Keempat ritual di atas harus dilaksanakan sesuai urutannya, dan tidak dapat dilaksanakan bersamaan. Urutan ritual harus dimulai dari pa’totibojongam, pa’tomateam, pa’bisuam, dan pa’bannetauam.

Dalam masa pa’totibojongam, ritual pernikahan tidak dapat dilaksanakan. Pengecualian terjadi ketika seseorang meninggal. Ritual yang lain akan dihentikan sementara waktu sampai ritual pemakaman selesai. (Saputra, 2023b). Siklus pemali appa’ randanna dilaksanakan secara kolektif. Masyarakat yang melanggar kolektivitas dan keteraturan ini juga disebut salah pairan, sehingga mendapat hukuman (Saputra, 2023b).

Tempat pelaksanaan tradisi masso’bä dalam keempat aturan di atas adalah pa’totibojongam. Masso’bä’ menjadi ritual pembuka yang menandai dimulainya masa pa’totibojongam (Buijs, 2009). Dengan memahami masso’bä dalam bingkai pemali appa’ randanna, maka tradisi masso’bä’ juga tidak bisa dilepaskan dari kolektivitas dan keteraturan dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini pekerjaan sawah harus dilaksanakan secara kolektif dan serentak.

Tradisi Masso’bä’ dan Perjumpaannya dengan Kekristenan

Masso’bä berasal dari kata so’bä’. So’bä’ adalah imam padi dalam kepercayaan agama lokal yang memiliki kemampuan menafsirkan tanda alam dan peredaran bulan di langit.

Penafsiran ini menjadi acuan bagi so’bä’ untuk menentukan waktu yang tepat memulai pekerjaan sawah (Langi’, 2024). Masyarakat setempat meyakini bahwa pertanian juga ditentukan oleh tanda alam dan peredaran bulan. So’bä mencari petunjuk tentang waktu memulai pekerjaan sawah dengan mempersembahkan sembelihan kepada dewi padi. Ketika so’bä’ melihat bahwa tanda alam dan peredaran bulan menunjukkan waktu yang tepat untuk memulai pekerjaan sawah, maka so’bä’ memberitahukan kepada masyarakat bahwa ritual masso’bä akan dimulai.

So’bä’ membuka pekerjaan sawah secara resmi dengan membajak sawahnya sendiri. Momen ketika so’bä’ mulai membajak sawah disebut masso’bä’ atau ma’batta litä’ (Buijs, 2009).

Kondisi sawah so’bä’ yang sudah dibajak menjadi perintah bagi semua masyarakat untuk membajak sawah. Masyarakat juga mempersembahkan sembelihan kepada dewi padi kemudian membajak sawah secara kolektif (Buijs, 2009). Masyarakat setempat memelihara tradisi ini sebagai pairan untuk kesuksesan dalam panen padi. Tindakan masyarakat yang mengikuti petunjuk dari so’bä’ dan serentak memulai pekerjaan sawah akan menjadi awal kesuksesan bagi petani.

Tradisi ini mengalami perubahan setelah kedatangan agama Kristen. Orang Kristen sudah tidak lagi percaya kepada dewi padi dan tidak memiliki imam padi. Meski demikian, orang Kristen memiliki to mepairan yaitu majelis gereja (pendeta, penatua, dan diaken), pemuka adat dan pemerintah desa. Waktu pekerjaan sawah akan ditetapkan oleh to mepairan.

Pekerjaan sawah selalu diawali dengan doa pekerjaan sawah di gereja dan dipimpin majelis gereja (Bintang, 2024; Langi’, 2024).  Masyarakat meyakini bahwa sekalipun praktik masso’bä’ dalam gereja sudah tidak mengenal dewi padi maupun imam padi, tetapi keberhasilan pekerjaan sawah masih tetap bergantung pada kuasa Tuhan. Oleh karena itu, pekerjaan sawah juga perlu diawali dengan doa bersama di gereja.

Setelah itu, masyarakat bergotong-royong membajak sawah to mepairan (Bintang, 2024; Langi’, 2024). Kegiatan ini dijadikan sebagai masso’bä’ dalam versi Kristen. Agar pelaksanaan masso’bä’ serentak, masyarakat akan dibagi ke dalam beberapa kelompok kerja berdasarkan jumlah to mepairan dalam sebuah daerah. Kelompok tersebut kemudian membajak sawah secara serentak.

Reumer menyatakan bahwa gereja sudah tidak memiliki jabatan seperti peran imam padi yang membajak sawahnya sendiri untuk menjadi komando dimulainya pekerjaan sawah. Oleh karena itu, warga masyarakatlah yang akan membantu to mepairan membajak sawah setelah doa pekerjaan sawah (Langi’, 2024).

Yeri Narko dkk. menyebut tindakan ini sebagai bentuk penghormatan kepada to mepairan dalam jabatan mereka sebagai pendoa bagi kehidupan masyarakat, termasuk mendoakan pekerjaan masyarakat sebagai petani (Narko, Saputra, Prie, dan Grace, 2023). Kehadiran berkat Tuhan dalam kehidupan masyarakat juga ikut dipengaruhi oleh doa dan cara hidup to mepairan (Saputra, 2023b). Hal inilah yang membuat mereka layak diberi penghormatan. Dengan kata lain, tindakan membantu to mepairan adalah bagian integral dari sikap percaya kepada Tuhan.

Tradisi masso’bä’ menunjukkan sikap masyarakat yang percaya kepada Tuhan, sekaligus menghormati pemimpin yang telah mendoakan pekerjaan mereka.

Sebagaimana perintah dalam masso’bä’ versi agama lokal, kondisi sawah to mepairan yang sudah dibajak akan menjadi tanda datangnya waktu yang tepat, sekaligus perintah bagi masyarakat untuk memulai pekerjaan sawah. Selain sebagai bentuk penghargaan, sawah pemuka agama dan pemimpin adat yang telah dikerja bersama-sama adalah komando untuk memulai pembajakan sawah secara kolektif. Setelah itu, masyarakat dapat memulai pekerjaan sawah bersama-sama (Bintang, 2024; Langi’, 2024).

Refleksi Tradisi Masso’bä: Relasionalitas, Kolektivitas, dan Berkat

Konteks dan perkembangan tradisi masso’bä’ mengindikasikan bahwa tradisi ini berada dalam bingkai relasionalitas dan kolektivitas masyarakat Mamasa. Masso’bä’ dalam bingkai pairan memperlihatkan urgensi relasi dengan Tuhan dalam rangka menuju kehidupan yang terberkati.

Tradisi masso’bä’ tidak lepas dari sikap percaya kepada petunjuk dari Tuhan melalui tanda alam dan peredaran bulan (agama lokal) atau sikap percaya melalui doa pekerjaan sawah serta penghargaan terhadap to mepairan yang mendoakan pekerjaan (agama Kristen). Beberapa tindakan ini menunjukkan bahwa di balik tradisi masso’bä’ terdapat usaha untuk terus membangun relasi dan kepercayaan pada Tuhan sebagai sumber berkat kehidupan, termasuk dalam pertanian.

Kolektivitas tradisi masso’bä’ ditemukan dalam bingkai pa’totibojongam. Pa’totibojongam mengonstruksikan pertanian secara kolektif. Semua orang membajak sawahnya di saat yang bersamaan. Masyarakat setempat meyakini bahwa implikasi dari cara kerja kolektif dalam tradisi masso’bä’ adalah keberhasilan dalam pekerjaan sawah. Selain karena diawali oleh doa secara kolektif, strategi ini juga menjadi cara untuk meminimalisir dampak dari hama padi (Tore dan Novian, 2022).

Aturan pa’totibojongam, khususnya masso’bä, membuat petani membajak sawah dan menanam padi secara serempak. Praktis tindakan ini membuat hama padi, misalnya burung pipit, tidak terfokus kepada satu petak sawah saja, melainkan tersebar karena semua padi serentak berbuah. Hal ini akan lebih memudahkan para petani mengatasi gangguan hama. Secara tidak langsung masso’bä’ juga mengonstruksikan solusi praktis bagi permasalahan petani.

Berdasarkan uraian di atas, saya menyimpulkan bahwa tradisi masso’bä’ adalah ekspresi iman kolektif masyarakat Mamasa terhadap berkat Tuhan dalam pekerjaan sawah. Masyarakat Mamasa juga menggunakan alat pertanian modern dan bantuan pupuk dan insektisida dalam pertanian. Akan tetapi, menjaga relasi dengan Tuhan dan bekerja secara kolektif adalah strategi pertanian yang lebih tepat untuk mengalami kesuksesan sebagai petani Mamasa. Keyakinan ini terus dilestarikan dan diekspresikan melalui tradisi masso’bä’.

Referensi

Bintang, A. R. (15 Agustus 2024). Wawancara oleh Penulis.

Buijs, K. (2009). Kuasa Berkat dari Belantara dan Langit: Struktur dan Transformasi Agama Orang Toraja di Mamasa, Sulawesi Barat. Makassar: Ininnawa.

Buijs, K. (2017). Agama Pribadi dan Magi di Mamasa Sulawesi Barat: Mencari Kuasa Berkat dari Dunia Dewa-dewa. Makassar: Ininnawa.

Langi’, R. T. ( 15 Agustus 2024). Wawancara oleh Penulis.

Narko, Y., Saputra, J. A., Prie, H., and Grace, A. (2023). Penghormatan Pelayan Gereja dalam Konstruksi Teologi Lokal Tradisi Masso’bä’ dan Teks 1 Timotius 5:17-18. Jurnal Danum Pambelum, 3(1), 1–14. https://doi.org/10.54170/dp.v3i1.130

Saputra, J. A. (2023a). Imam Eli Salah Pairan. Track, 2(1), 134–149. https://ejurnal.stepsmg.ac.id/home/article/view/52/63

Saputra, J. A. (2023b). Spiritualitas Pairan: Konstruksi Teologi Lokal Manusia Baru Konteks Mamasa dalam Dialektika Pairan dan Kolose 2:16-4:1. Tumou Tou, 10(2), 125–140. https://doi.org/10.51667/tt.v10i2.1225

Tore, M., dan Novian, R. (2022). Kajian Teologis Kontekstual terhadap Tradisi Masso’be’ sebagai Suatu Ritual Menandai Permulaan Pekerjaan Sawah di Jemaat Solagratia Saludadeko. Loko Kada, 2(2), 114–125. http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=3271977&val=28718&title=Kajian Teologis Kontekstual Terhadap Tradisi Massobe Sebagai Suatu Ritual Menandai Permulaan Pekerjaan Sawah di Jemaat Solagratia Saludadeko

van der Klis, W. A. (2021). Datanglah Kerajaan-Mu: Limapuluh Tahun Pekabaran Injil di Toraja Barat, 1913-1963. Rantepao: SULO.

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini