
Imanuel Teguh Harisantoso (Pengajar Fakultas Teologi dan Mahasiswa Program Doktor Sosiologi Agama, Universitas Kristen Satya Wacana)
Persaudaraan sejati adalah sebuah konsep yang dikembangkan oleh Sri Wismoady Wahono dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dua tokoh ini merepresentasikan kekuatan besar di bumi Jawa Timur.
Pada tahun 1990-an, Wismoady adalah ketua sinode sebuah gereja besar di Jawa Timur, yaitu Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW), sebuah persekutuan gereja-gereja berbasis daerah yang berpusat di Jawa Timur yang dideklarasikan pertama kali di Jombang tahun 1931.
Sedangkan Gus Dur yang kelahiran Jombang saat itu adalah Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), ormas umat Islam terbesar di Indonesia dan bahkan di dunia.
Sebenarnya konsep “persaudaraan sejati” sudah menjadi pergumulan teologis dan sosiologis bagi GKJW di Jawa Timur.
Tidak dapat dipungkiri bahwa secara sosiologis warga jemaat GKJW juga tidak sedikit yang mempunyai anggota keluarga yang beragama Islam, Hindu atau Budha.
Warga GKJW juga melakukan praktik kawin-mawin dengan masyarakat di luar Kristen, terlepas setelah itu mereka melakukan konversi agama atau tidak.
Dengan kata lain, anggota keluarga warga GKJW juga ada yang Islam, Hindu, atau bahkan Budha. Artinya ikatan persaudaraan ini menumbuhkan perasaan emosional sebagai saudara.
Hal ini dibuktikan dengan upaya pembangunan perdamaian (peacebuilding) yang dikembangkan oleh GKJW. Misalnya, sejak tahun 1930-an, GKJW menawarkan konsep “Aku Saudaramu”.
Kemudian, sejak tahun 1970-an, di Institut Teologia Balewiyata (IPTh Balewiyata), lembaga pendidikan calon pendeta millik GKJW membuka program Studi Agama-Agama (SAA).
Program studi SAA ini dimaksudkan membekali para calon pendeta di lingkungan GKJW khususnya dalam pelayanan gereja dan perjumpaan sosialnya dengan masyarakat.
Pada tahun 1970-an inilah konsep “Aku Saudaramu” mendapatkan warna baru dari dari sisi agama Islam yang dibawakan oleh tokoh penting NU, yaitu Gus Dur.
Almarhum Salahudin Wahid (adik kandung mendiang Gus Dur) pernah menulis di Kompas, 25 September 2012 dalam rangka menyambut acara Seribu Hari Gus Dur, sebagai berikut: “Pendeta Dr. Wismoady Wahono pada tahun 1974 mendapat tamu.
Memperkenalkan diri sebagai Abdurrahman Wahid dari Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Tamu itu minta diperkenalkan dengan para tokoh GKJW”.
Seperti tumbu ketemu tutup, Wismoady dengan senang hati menyambut Gus Dur untuk nyambung paseduluran (lebih dari sekedar menghubungkan persaudaraan) di antara keduanya.
Sejak itu, Gus Dur juga diminta oleh Wismoady untuk mengajar calon pendeta GKJW di IPTh Balewiyata Malang.
Upaya untuk memunculkan gerakan kesadaran peacebuilding tidak berhenti sampai di ruang-ruang kelas Balewiyata tetapi juga hadir di masyarakat. Kristalisasi konsep “persaudaraan sejati” menjadi lebih hidup dan tampak dalam kehidupan nyata masyarakat.
Sebagai sebuah gerakan penyadaran kehidupan bersama dengan umat beragama lain dan berkebudayaan lain, tahun 1988 dilaksanakan kegiatan Studi Intensif Tentang Islam (SITI).
Kegiatan ini tidak hanya memberikan pemahaman kognitif soal Islam dan atau Kristen, tetapi pesertanya diajak untuk mengalami langsung bagaimana mereka hidup dengan komunitas yang beragama lain.
Program SITI dilaksanakan dalam berbagai bentuk kegiatan: seminar, diskusi, berbagi ide, dan live in (tinggal bersama komunitas/keluarga dari penganut agama lain).
Live in inilah yang memberikan pengalaman mendalam bagi peserta.
Bagi yang beragama Kristen mereka diajak tinggal di pondok pesantren. Mereka menikmati makan, minum, tidur, dan hidup sebagai mana kebiasaan para santri di pondok pesantren.
Sebaliknya, bagi yang beragama Islam (muslim) mereka tinggal di rumah orang Kristen.
Mereka mengikuti tradisi khas kehidupan kekristenan seperti ibadah keluarga, ibadah minggu ataupun kegiatan liturgis yang lain.
Kampanye peacebuilding bersama dengan komunitas Islam-Kristen mengalami penajaman yang intensif. Atas dasar inilah, sekitar tahun 1990an, program SITI kemudian diubah menjadi SIKI (Studi Intensif Kristen Islam).
Ketik terjadi peristiwa “Minggu kelabu” di Surabaya dan kerusuhan Situbondo tahun 1996, persaudaraan sejati mendapatkan ujian berat . Gus Dur, selaku Ketua Umum PBNU, langsung menemui Wismoady Wahono selaku Ketua Sinode GKJW, menyampaikan belasungkawa atas gereja saudaranya yang menjadi korban.
Mereka berdua mengajak tokoh-tokoh agama lain untuk bertemu sebagai saudara, sekaligus menyatakan kepada masyarakat Indonesia bahwa “persaudaraan sejati tidak dapat dipecah belah begitu saja”.
Untuk mendapatkan daya ungkit yang lebih besar dari bumi Jawa Timur, GKJW bersama dengan Balewiyata membawa diskusi aplikatif “persadaraan sejati” tidak hanya pada level kebijakan di pengurus pusat, melainkan mendaratkan secara langsung pada level gereja lokal.
Alhasil, di setiap jemaat GKJW sekarang memiliki Komisi Antar Umat (KAUM), sebuah wadah yang menjadi motor bagi relasi kemanusiaan. Komisi yang terus menghidupi semangat paseduluran sejati.
Semoga cita-cita dan perjuangan Wismoady Wahono bersama dengan Gus Dur untuk menghadirkan persaudaraan sejati terwujud dalam sanubari setiap insan, dan nyata dalam kata dan karya. Jadilah “pro-eksistensi,” kata Wismoady.