Janet Aldora Lada (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama, Fakultas Teologi, UKSW)
Daisaku Ikeda adalah presiden organisasi umat awam Budha Soka Gakkai di Jepang dari tahun 1960 hingga 1979.
Dia juga merupakan Presiden Pendiri Soka Gakkai International (SGI), yang merupakan salah satu asosiasi Budha dengan komunitas paling beragam di dunia yang mendukung filosofi pemberdayaan dan keterlibatan sosial untuk perdamaian.
Daisaku Ikeda tergerak memperjuangkan perdamaian karena pengalaman pahitnya saat Perang Dunia II, termasuk kehilangan saudaranya. Ia juga terinspirasi oleh mentornya, Josei Toda, yang menentang perang dan ketidakadilan.
Ikeda meyakini bahwa perdamaian dimulai dari perubahan diri setiap individu. Dengan dasar ajaran Buddhisme Nichiren, ia mempromosikan dialog, pendidikan, dan kerja sama antar budaya untuk menciptakan dunia yang lebih damai dan harmonis.
Ada beberapa hal yang menarik dari pemikiran Ikeda.
Pertama, konsep tentang reformasi manusia. Berdasarkan keyakinan Nichiren Daishonin, khususnya teori Ichinen-Sanzen, yang menekankan hubungan antara budi dan jasad, hubungan manusia dengan lingkungan, dan kesadaran hidup.
Seperti yang ditunjukkan oleh konsep ini, segala sesuatu memiliki jiwa dan saling terhubung. Orang harus sadar bahwa kehidupan dan lingkungan terkait. Untuk mencapai pencerahan, penguasaan diri dan kesadaran jiwa juga penting. Daisaku Ikeda menerapkan prinsip-prinsip ini dalam upayanya untuk mencapai perdamaian global.
Ia percaya bahwa perubahan setiap orang adalah kunci utama untuk masyarakat yang harmonis.
Kedua, dialog peradaban. Ikeda percaya bahwa dialog, terutama yang berfokus pada perdamaian, pendidikan, dan kebudayaan, dapat meningkatkan solidaritas dan meningkatkan pemahaman antar umat manusia.
Ini dicapai melalui percakapan langsung dengan pemimpin negara, intelektual, dan anggota masyarakat dari seluruh dunia.
Ikeda menekankan bahwa dialog harus terbuka, tanpa mempertimbangkan latar belakang atau status seseorang. Dia berpendapat bahwa orang yang menghindari dialog akan kehilangan pemahaman tentang dirinya sendiri dan lingkungannya.
Selain itu, manusia akan lebih mudah terjebak dalam kecurigaan dan perpecahan jika tidak ada dialog.
Ia juga menekankan bahwa keterbukaan dan penghargaan terhadap keberagaman harus menjadi dasar demokrasi yang benar. Oleh karena itu, ia mendukung pertemuan diskusi kecil (zadankai) yang memungkinkan orang dari berbagai latar belakang berbagi pengalaman, kesedihan, dan kegembiraan mereka.
Dengan demikian, demokrasi dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari selain hanya menjadi ide abstrak.
Ketiga, kewarnegaraan global. Pentingnya menjadi warga negara global adalah menjadi orang yang berpikiran terbuka, menghargai perbedaan budaya, dan mampu bekerja sama secara internasional untuk menciptakan perdamaian dunia.
Sebagai contoh, ia dikritik karena mengunjungi Uni Soviet di tengah Perang Dingin (Cold War) untuk melakukan dialog.
***
Menjadi refleksi dari penulis berkaitan dengan beberapa konsep penting yang dikemukakan Ikeda dan pertanyaan refleksi sendiri, yaitu faktor-faktor apa saja yang berkontribusi terhadap globalisasi atau internasionalisasi “agama-agama dunia” (world religions) dan mengapa “agama-agama berskala kecil (local beliefs) sulit menjadi agama global dan dunia?
Faktor-fakor yang berkontribusi terhadap globalisasi agama, antara lain, adalah sebagai berikut.
Pertama, komunikasi dan teknologi. Teknologi informasi menyebabkan globalisasi agama, di mana internet, televisi, dan media sosial mempercepat penyebaran ajaran agama di seluruh dunia.
Kedua, universalisme dalam ajaran. Sebagian besar agama yang mendunia memiliki ajaran universal yang dapat diterima oleh banyak budaya, seperti Islam, Kristen, dan Buddha, yang pesannya dapat melampaui perbedaan suku dan wilayah.
Ketiga, dialog dan adaptasi budaya. Seperti yang dikatakan Ikeda, agama yang memiliki kemampuan untuk berbicara dengan orang lain dan beradaptasi dengan adat istiadat lokal lebih mudah berkembang. Misalnya, Buddhisme mengadopsi praktik lokal di banyak negara, seperti Jepang, Thailand, dan Tibet, tetapi tetap mempertahankan inti ajarannya.
Di sisi lain, agama lokal sulit menjadi global karena beberapa fator, misalnya karena kurangnya struktur organisasi yang kuat.
Dalam hal ini sementara agama lokal sering kali tidak memiliki struktur yang memungkinkan penyebaran luas, agama besar memiliki hierarki kelembagaan yang mendukung penyebaran.
Faktor lainnya adalah minimnya upaya dialog dan inklusi. Ikeda menegaskan bahwa dialog adalah kunci globalisasi, termasuk penyebaran agama. Agama yang eksklusif dan menentang dialog antaragama cenderung tetap terbatas dalam komunitasnya sendiri.
Dari kedua pertanyaan refleksi tersebut, penulis menyimpulkan bahwa untuk memahami perkembangan agama di seluruh dunia, pemikiran Ikeda tentang dialog, keterbukaan, dan adaptasi sangat relevan.
Agama lokal yang eksklusif dan tidak beradaptasi sulit berkembang menjadi agama global, tetapi globalisasi agama dipengaruhi oleh elemen seperti teknologi, migrasi, universalisme, dan keterlibatan sosial.
Dalam hal ini, pendekatan Ikeda menekankan bahwa keterbukaan terhadap perbedaan dan upaya untuk membangun persahabatan lintas budaya adalah kunci untuk menghadapi tantangan globalisasi, baik dalam hal agama maupun aspek lain dari kehidupan manusia.
***
Penulis juga melihat konsep Ikeda ini kaitannya dengan agama, kekerasan, dan pembangunan perdamaian (peacebuilding).
Sarjana dan praktisi perdamaian, Lisa Schirch, menekankan bahwa pembangunan perdamaian harus sistematis dan melibatkan jaringan yang kuat antarindividu, komunitas, organisasi, dan pemerintah.
Upaya perdamaian dapat terpecah-pecah dan tidak berhasil jika tidak ada kerja sama. Jaringan perdamaian ala Schirch bergantung pada konsep reformasi manusia Ikeda.
Reformasi manusia mendorong nilai-nilai kebersamaan, yang selaras dengan kolaborasi yang ditekankan Schirch dalam membangun perdamaian berkelanjutan, serta transformasi individu menghasilkan orang-orang yang berkomitmen pada dialog, toleransi, dan solusi damai.
Saat ini, di mana konflik dan kekerasan sering muncul dari masalah sosial, politik, dan ekonomi, menghubungkan perubahan individu dengan strategi perdamaian menjadi sangat penting.
Masyarakat yang penuh dengan orang-orang yang sadar akan pentingnya percakapan dan empati akan lebih mampu membangun jaringan perdamaian yang kuat dan inklusif. [NI]