Beranda Publikasi Kolom Tradisi Cowongan Masyarakat Banyumas

Tradisi Cowongan Masyarakat Banyumas

946
0
Tradisi Cowongan adalah ritual memohon hujan oleh masyarakat Banyumas, Jawa Tengah, saat kemarau panjang
Tradisi Cowongan adalah ritual memohon hujan oleh masyarakat Banyumas, Jawa Tengah, saat kemarau panjang (Sumber foto: Kolom Desa)

Mukhamad Hamid Samiaji (Pegiat Budaya di Lembaga Kajian Nusantara Raya UIN Prof. K.H. Saifudin Zuhri Purwokerto)

Tradisi Cowongan adalah ritual khas masyarakat Banyumas, Jawa Tengah, yang dilakukan untuk memohon turunnya hujan, terutama saat terjadi kemarau panjang.

Ritual ini tidak hanya mencerminkan kearifan lokal dalam menghadapi tantangan alam, tetapi juga menggambarkan kekayaan budaya dan spiritualitas masyarakat setempat. Cowongan menjadi sebuah ritual upacara meminta hujan dengan menggunakan sarana atau media berupa siwur atau gayung atau juga bisa dengan irus (centong sayur) dengan tembang-tembang atau lagu-lagu tertentu yang mengandung doa atau permohonan kepada sang pencipta (Syafril Faizal, 2018).

Secara etimologis, kata “cowongan” berasal dari istilah “cowang-coweng” yang berarti corat-coret pada wajah.

Dalam konteks tradisi ini, “cowong” merujuk pada boneka yang terbuat dari tempurung kelapa yang dihias menyerupai wanita cantik. Boneka ini dipercaya sebagai media bagi roh bidadari, khususnya Dewi Sri, dewi padi yang melambangkan kesuburan dan kesejahteraan.

Melalui ritual ini, masyarakat berharap Dewi Sri akan turun ke bumi dan membawa hujan yang sangat dibutuhkan.

Menurut cerita yang berkembang, pada masa lalu, sepasang suami istri bernama Ki Jayaraga dan Nyi Jayaraga melakukan tirakat selama 40 hari 40 malam untuk memohon hujan.

Setelah tirakat, mereka mendapat petunjuk untuk mengambil siwur (gayung dari tempurung kelapa) dari rumah yang dihuni tiga janda. Siwur tersebut kemudian “berbicara” dan meminta didandani seperti wanita serta dipanggil dengan nama Nini Cowong. Setelah permintaan tersebut dipenuhi dan ritual dilakukan dengan menyanyikan lagu “Siwur Tukung”, hujan pun turun deras selama tujuh hari tujuh malam.

Secara khusus, ritual Cowongan digambarkan sebagai ritual yang dilakukan untuk memanggil bidadari agar turun ke Bumi dan mendatangkan hujan.

Secara harfiah, Cowongan berasal dari kata cowang-coweng yang berarti mencoret-coret wajah cowong. Cowong merupakan boneka yang terbuat dari batok kelapa, diberi pakaian dari jerami, rumput, dedaunan atau kain, lalu didandani menyerupai wanita yang dimaksudkan sebagai simbol wujud bidadari. Boneka cowong ini kemudian dihias menggunakan kapur sirih (Supriyanto, 2023).

Dalam perkembangannya, ritual Cowongan berubah menjadi seni pertunjukan yang tetap menggunakan unsur mistik Islam dengan memadukan budaya Banyumas untuk memanggil hujan.

Meski pertunjukan Cowongan di Banyumas kerap kali berkolaborasi dengan kesenian tradisional lainnya, namun kesan magis dari ritual Cowongan ini tetap kuat dan terjaga eksistensinya. Ritual ini tidak lepas dari persiapan peralatan, tata cara, dan mantra-mantra yang dilafalkan saat ritual berlangsung.

Proses Pelaksanaan Ritual

Ritual Cowongan melibatkan penggunaan boneka yang terbuat dari batok kelapa yang dihias sedemikian rupa menyerupai wajah perempuan.

Boneka ini disebut “cowong“. Prosesi ritual dimulai dengan mengarak cowong keliling desa sambil diiringi doa dan nyanyian. Masyarakat setempat percaya bahwa dengan melakukan ritual ini, hujan akan segera turun dan memberikan berkah bagi mereka.

Ritual Cowongan biasanya dilaksanakan pada malam Jumat, dimulai pada malam Jumat Kliwon. Boneka cowong yang telah didandani ditempatkan di tempat sepi selama tiga hari untuk memudahkan roh bidadari masuk.

Selama ritual, wanita yang terlibat harus dalam keadaan suci (tidak sedang haid atau nifas). Mereka akan menggoyangkan boneka sambil menyanyikan lagu-lagu khusus dan mengucapkan mantra untuk memanggil hujan.

Untuk melaksanakan Cowongan, diperlukan pawang, cowong, penari, bunga, asap, dan kemenyan. Pawang memiliki keterampilan membaca mantra sebagai kunci ritual.

Sementara itu, cowong merupakan medium yang digunakan untuk menghadirkan roh yang diyakini sebagai bidadari pembawa hujan. Sebelum melaksanakan ritual, pawang dan cowong bersemedi di tempat yang sunyi seperti kuburan, di bawah pohon besar, di atas batu, atau tepian sungai (Kamal, Saddhono & Suyitno 2018).

Sementara cowong dibiarkan selama 3 hari untuk bersemedi agar lebih cepat kenyang. Para penari memiliki peran yang berbeda-beda sebagai simbol alam semesta, dan ada yang menjadi bidadari, abdi dalem, atau setan. Bunga, asap, dan kemenyan tidak boleh ditinggalkan karena ketiganya merupakan ‘makanan’ yang dapat mengundang roh untuk melakukan ritual Cowongan (Kamal, 2018).

Selanjutnya pada ritual Cowongan dapat dilihat; pertama, pawang atau dalang membuka upacara Cowongan dengan memanggil nini cowong ke pelataran Cowong Sewu. Dalam ritual pembukaan ini, dalang menjelaskan bahwa cowong berbeda dengan jelangkung.

Menurut para leluhur, Cowongan digunakan untuk memohon kepada Yang Maha Kuasa, yang menggunakan perantara batok kepala (cumplung) yang terbuat dari buah kelapa yang jatuh dari pohonnya karena digigit tupai.

Kedua, jika cumplung sudah jadi, batok cumplung akan dibawa ke tepi sungai dekat persawahan dan dititipkan kepada seorang petapa untuk bermalam. Hal ini dilakukan agar cumplung tersebut diisi atau dihuni oleh makhluk halus. Ketiga, batok cumplung kemudian dibawa kembali ke tempat ritual Cowongan dilakukan.

Dalang kemudian menyebutkan bahwa sesaji bunga dan kemenyan harus lengkap, dan akan digunakan lagu-lagu atau mantra untuk memanggil leluhur (Kamal, 2018).

Nilai Budaya dan Upaya Pelestarian

Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi cowongan yaitu nilai budaya dalam perilaku tradisi cowongan, nilai estetis dalam syair tradisi cowongan, nilai estetis dalam symbol benda tradisi cowongan, nilai religius dalamsayirsyair tradisi cowongan, dan nilai sosial dan nilai religius pelaku tradisi cowongan di Kabupaten Banyumas adalah sikap positif yang dapat dijadikan pembelajaran untuk kehidupan yang lebih baik.

Nilai yang terdapat dalam perilaku dalam tradisi cowongan adalah nilai budaya karena tradisi cowongan Kabupaten Banyumas berusaha membahas dan menyelesaikan (1) masalah hakikat hidup, (2) hakikat kerja atau karya manusia, (3) hakikat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, (4) hakikat hubungan manusia dengan alam sekitar, dan (5) hakikat dari hubungan manusia dengan manusia sesamanya (Kamal, 2018).

Dalam syair-syair yang digunakan untuk ritual cowongan banyak terdapat nilai-nilai keindahan yang tercantum didalamnya.

Keindahan dalam syair-syair tradisi cowongan diartikan sebagai keadaan yang enak didengar, cantik atau elok. Selain itu, tembang (doa-doa) yang diucapkan oleh para pelaku tersebut mengandung arti kasih sayang dari manusia terhadap alam, manusia kepada sesama, dan manusia kepada Tuhannya.

Wujud kasih sayang merupakan wujud syukur terhadap Tuhan yang tercermin dalam tradisi cowongan sebagai harapan agar masyarakat hidup berdampingan dengan alam, hidup sejahtera, dan kehidupan aman bagi masyarakat di Kabupaten Banyumas.

Nilai yang terdapat dalam simbol benda dalam tradisi cowongan adalah nilai estetis yang menyangkut keindahan seni, kreasi, dan hiburan rakyat.

Nilai estetis yang hendak ditanamkan masyarakat Desa Plana yaitu nilai keindahan yang ada pada bentuk cowongan yang dibuat karena dapat mencerminkan keindahan suatu karya seni manusia, sehingga dalam membuat cowongan dapat memberikan hiburan kepada masyarakat.

Nilai yang terdapat dalam syair-syair tradisi cowongan adalah nilai religious berkaitan dengan nilai-nilai ritual keagamaan.

Nilai religius dalam tradisi cowongan yang ditanamkan kepada masyarakat Desa Plana yaitu mengajarkan masyarakat agar selalu beriman dan meminta segala sesuatu kepada Tuhan.

Sehingga tercipta suatu kehidupan yang aman, damai, saling gotong royong, dan rukun dalam kehidupan manusia tanpa sifat kebencian dan sifat saling menjatuhkan mahluk lainnya.

Nilai-nilai sosial dalam pelaku tradisi cowongan memiliki fungsi umum dalam masyarakat. Diantaranya nilai-nilai dapat menyumbangkan seperangkat alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku.

Nilai sosial juga berfungsi sebagai alat pengawas (kontrol) perilaku manusia dengan daya tekan dan daya mengikat tertentu agar orang berprilaku sesuai dengan nilai yang dianutnya

Dari sini maka dapat diketahui bhawa tradisi Cowongan tidak hanya memiliki nilai religius, tetapi juga nilai sosial dan budaya yang tinggi.

Ritual ini menjadi sarana mempererat kebersamaan masyarakat dan sebagai bentuk penghormatan terhadap alam serta leluhur. Meskipun zaman terus berubah, tradisi ini masih dilestarikan melalui pertunjukan seni budaya, lomba membuat cowong, dan melibatkan generasi muda dalam pelaksanaannya.

Pemerintah daerah juga melihat potensi wisata budaya dalam tradisi ini dan berupaya mengembangkannya sebagai daya tarik wisatawan.

Tradisi Cowongan merupakan cerminan kearifan lokal masyarakat Banyumas dalam menghadapi tantangan alam.

Melalui ritual ini, mereka menunjukkan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan kepercayaan spiritual yang telah diwariskan secara turun-temurun. Pelestarian tradisi ini menjadi penting sebagai upaya menjaga identitas budaya dan menghormati warisan leluhur.

Daftar Pustaka

Kamal, SF, 2018, ‘Bentuk dan Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Tradisi Cowongan di Kabupaten Banyumas: Kajian Budaya’, Sutasoma: Jurnal Sastra Jawa 6 (2), 56–62. https://doi.org/10.15294/sutasoma.v6i2.29062.

Kamal, SF, Saddhono, K. & Suyitno, S., 2018, ‘Cowongan sebagai warisan budaya Banyumas: Relevansi ritual sebagai bagian dari pendidikan karakter nilai’, dalam lokakarya ke-2 bahasa, sastra, dan masyarakat untuk pendidikan. hlm. 1–9.

https://doi.org/10.4108/eai.21-12-2018.2282748 Supriyanto, Supriyanto, 2023, ‘Cowongan dalam Mistisisme Islam Jawa: Sebuah Kajian Filsafat Islam dalam Masyarakat Paenginyongan’, HTS Teological Studies, Vol 79 (1), 32-37.

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini