Oleh: Munawir Aziz (Alumnus CRCS UGM, Wakil Sekretaris LTN Pengurus Besar Nahdlatul Ulama)
Dalam catatan Lontara yang diwariskan kerajaan Gowa-Tallo, disarikan data bahwa Syaikh Yusuf lahir pada 3 Juli 1628 M, tepat pada 8 Syawal 1036 H. Dengan demikian, Syaikh Yusuf lahir setelah dua dekade pengisalaman kerajaan kembar Gowa-Tallo oleh ulama Minangkabau, yakni Syaikh Abdul Makmur, disebut Datuk Ri Bandang.
Catatan Lontara Riwayat Tuanta Salamaka ri Gowa, menyatakan bahwa ayah Syaikh Yusuf bernama Gallarang Moncongloe, yang merupakan saudara dari Raja Gowa Sultan Alauddin Imang’rang’ Daeng Marabbia, Raja Gowa yang beragama Islam. Sultan Alauddin menetapkan Islam sebagai agama resmi kerajaan pada 1603 M. Ibu kandung Syaikh Yusuf, tak lain adalah Aminah binti Dampang Ko’mara, keturunan bangsawan kerajaan Tallo, kerajaan kembar yang berdampingan dengan kerajaan Tallo.
Kisah perjuangan Syaikh Yusuf dalam mempertahankan kedaulatan di bumi Nusantara menjadikan dirinya diasingkan di Ceylon (Srilangka) dan Afrika Selatan. Syaikh Yusuf tidak hanya milik masyarakat Bugis, namun juga warga muslim Nusantara, Ceylon dan Afrika.
Presiden Afrika Selatan, pada 1994, menetapkan Syaikh Yusuf sebagai pejuang kemanusiaan. Sementara, di negeri ini, Syaikh Yusuf dianggap sebagai waliyullah yang menyambungkan sanad keilmuan, menggerakkan perjuangan melawan kolonialisme hingga mewariskan jejaring tarekat yang dianut keluarga dan muridnya hingga kini.
Pada masa hidupnya, Syaikh Yusuf membawa perubahan penting dalam perjuangan dakwah yang diembannya. Syaikh Yusuf dikenal di Kesultanan Banten, Tanah Bugis (Sulawesi Selatan), Ceylon (Sri Langka), dan Cape Town (Afrika Selatan). Dalam pengasingan di Ceylon dan Capetown, Syaikh Yusuf mengembangkan Islam dengan mengajar warga, hingga menjadi komunitas muslim di negeri tersebut. Jejak komunitas muslim dan keturunan Syaikh Yusuf di Ceylon dan Capetown masih dapat dilacak hingga kini.
Pada 2009, Syaikh Yusuf mendapatkan penghargaan Oliver Thambo, penghargaan sebagai Pahlawan Nasional Afrika Selatan. Penghargaan ini penting untuk mengenang sosok Syaikh Yusuf di dataran Afrika, atas jasa besarnya dan menjadi inspirasi warga. Presiden Afrika Selatan, Thabo Mbeki, menyerahkan penghargaan langsung kepada tiga ahli warisnya, di antaranya Andi Makmun dan Syachib Sulton. Wapres Jusuf Kalla menyaksikan langsung prosesi penyerahan penghargaan ini, di Union Building, Pretoria, Afrika Utara.
Dari bumi Bugis
Lahir di tanah Bugis, Syaikh Yusuf mendapat tempaan pendidikan Islam dari keluarga dan ulama di kampungnya. Beliau mengaji al-Qur’an kepada Daeng ri Tamassang. Setelah itu, ia berkelana ke pesantren Bontoala untuk mengaji ilmu-ilmu bahasa, semisal Nahwu, Sharaf, Balaghah, dan mantiq. Pada waktu itu, Syaikh Yusuf mengaji kepada ulama asal Yaman, Syed Ba’alawi bin Abdullah, yang dikenal sebagai al-allamah Tahir, pengasuh pesantren Bontoala. Setelah menamatkan belajar di Bontoala, Syaikh Yusuf melanjutkan mengaji kepada Syaikh Jalaluddin Aidit, ulama asal Aceh yang mengembara ke Bugis. Di bawah asuhan Syaikh Jalaluddin, di pesantren Cikoang, belajar selama beberapa tahun. Syaikh Jalaluddin kemudian mengutus Syaikh Yusuf untuk belajar ke tanah Hijaz, untuk mengaji lebih intens kepada ulama-ulama Haramain.
Tak lama berselang, pada 22 September 1644, Syaikh Yusuf berangkat menuju Hijaz, dengan menggunakan kapal penumpang. Pada waktu itu, transportasi laut dari kawasan timur Nusantara melalui Banten untuk menyusuri selat Malaka, hingga menembus ke kawasan pesisir Arab. Ketika singgah di Banten, Syaikh Yusuf berkenalan dengan putra mahkota kerajaan Banten, Abdul Fattah, yang merupakan putra Sultan Abu al-Mafakhir Abdul Kadir (1598-1650), penguasa kerajaan Banten.
Selain Banten, dalam perjalanannya, Syaikh Yusuf singgah di Aceh. Di kawasan Serambi Makkah ini, Syaikh Yusuf melakukan komunikasi dengan ulama dan pemimpin thariqah al-Qadiriyah di Aceh, Syaikh Muhammad Jilani bin Hasan bin Muhammad Hamid al-Raniry. Ketika singgah di Banten dan Aceh, Syaikh Yusuf menghabiskan waktu selama sekitar 5 tahun, untuk melakukan interaksi dengan ulama setempat.
Syaikh Ahmad al-Qusysyi (w. 1661), Mullah Ibrahim al-Kawrany (w. 1690), dan Hassan al-Ajamy (w. 1701). Tiga ulama inilah, yang menjadi referensi keilmuan dan tradisi tasawuf yang menyambungkan jaringan ulama Nusantara dengan ulama Haramain.
Dalam perjalanan panjangnya, Syaikh Yusuf singgah di Yaman, atas saran dari gurunya selama di Aceh, Syaikh Muhammad Jilani. Di Yaman, Syaikh Yusuf berguru kepada Syaikh Abu Abdillah Muhammad Abdul Baqi (w. 1664), ulama terkenal di Yaman, khalifah tarekat an-Naqsyabandiyah. Syaikh Yusuf tidak berhenti di satu titik, di satu guru. Ia terus berupaya menyegarkan dahaga spritual, dahaga pengetahuannya. Dalam pengembaraannya, Syaikh Yusuf meneruskan perjalanan ke Bandara al-Zubaid, berguru ke Syed Ali al-Zubaidy (w. 1084), seorang muhaddits dan sufi. Dengan Syed Ali, Syaikh Yusuf mendapatkan ijazah thariqah dari silsilah keluarga al-Sadah al-Ba’alawiyah.
Perjalanan panjang di Yaman, diteruskan menembus Makkah untuk menunaikan ibadah Haji. Kemudian, Syaikh Yusuf menuju Madinah untuk ziarah ke makam Rasulullah Saw. Di kota ini, Syaikh Yusuf berguru kepada Syaikh Ahmad al-Qusysyi (w. 1661), Mullah Ibrahim al-Kawrany (w. 1690), dan Hassan al-Ajamy (w. 1701). Tiga ulama inilah, yang menjadi referensi keilmuan dan tradisi tasawuf yang menyambungkan jaringan ulama Nusantara dengan ulama Haramain.
Syaikh Yusuf masih belum puas dengan dahaga pengetahuan, dan kehausan akan guru yang mencerahkan. Ia terus berjalan menuju Syam (Damaskus) dan Turki. Di Syam, Syaikh Yusuf memperdalam pengetahuan, dan mengasah kepekaan bathin, kepada beberapa guru. Di antaranya, Syaikh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad al-Khalwaty al-Quraishi. Setelah berkelana Syam dan Turki, Syaikh Yusuf kembali ke Makkah, untuk mengaji dan mengajar. Ketika musim haji tiba, Syaikh Yusuf mengajar santri-santri Nusantara, terutama yang berasal dari kawasan Bugis. Di antara murid-muridnya, ialah Syaikh Abu al-Fath Abdul Basir al-Darir (Tuan Rappang), Abdul Hamid Karaeng Karunrung dan Abdul Kadir Majeneng, merekalah yang kemudian meneruskan ajaran tarekat Khalwatiyyah Syaikh Yusuf di tanah Bugis.
Sufisme Syaikh Yusuf
Bagaimana sufisme Syaikh Yusuf, yang diwariskan kepada keturunan dan pengikutnya? Dalam pandangan Syaikh Yusuf, Allah tidak ada yang menyerupai, tidak ada yang menandingi.
إنه تعالى هو الموصوف بأية : ليس كمثله شىء وسورة الأخلاص
“Sesungguhnya, Allah Ta’ala disifati dengan ayat al-Qur’an al-Shura ayat II, yang bermaksud: Tiada Tuhan apapun yang menyerupai-Nya”.
Konsep tauhid Syaikh Yusuf tidak lepas dari konsep tauhid ahl as-sunnah wal-jama’ah yang menetapkan zat dan sifat bagi Allah, sebagaimana yang terkandung dalam al-Qur’an. Syaikh Yusuf menyebutnya sebagai um al-i’tiqad, induk dari keimanan. Baginya, ayat tersebut menegaskan bahwa dasar Tauhid yang sebenarnya mesti dipegangi dan diyakini. Bahwa, unsur-unsur ketauhidan yang mesti diyakini orang yang menjalani suluk (pendekatan), di antaranya:
(1) Tauhid al-Ahad, meyakini bahwa sesungguhnya Allah adalah wujud Qadim (tidak berpemulaan), qadim bi-nafsih (berdiri sendiri), muqawwim lighairih (mengadakan selain-Nya). Allah Maha Tunggal, tidak bermula wujud-Nya, tiada ujung-Nya, dan tiada serupa-Nya.
(2) Tauhid al-Af’al, meyakini bahwa sesungguhnya Allah, pencipta segala sesuatu. Dialah yang memberi daya dan kekuatan dalam melaksanakan segala urusan. Allah berkehendak, dan semua kehendak manusia berada dalam kehendak Allah.
(3) Tauhid al-Ma’iyyah, meyakini bahwa sesungguhnya Allah bersama hamba-Nya, di manapun berada.
(4) Tauhid al-Ihatah, meyakini bahwa sesungguhnya Allah meliputi segala sesuatu.
Dimensi tasawuf Syaikh Yusuf bergerak dalam konsep keyakinan terhadap Allah, mengelaborasi konsep tauhid sebagai pintu masuk untuk mengenal dzat yang Maha Besar, Allah Maha Agung.
Inilah jalan pembuka, yang disadari Syaikh Yusuf sebagai pelajaran awal bagi pengikutnya untuk mengenal Allah, mengenal Sang Pencipta.
Dalam risalah al-Futuhah al-Ilahiyyah, Syaikh Yusuf merinci rukun tasawuf dalam sepuluh perkara. Bagi Syaikh Yusuf rukun tasawuf ini, menjadi penting bagi salik untuk berada dalam garis perjalanan mendekat menuju-Nya. Sepuluh rukun tasawuf, yakni:
Pertama, Tahrid al-Tauhid, memurnikan ketauhidan kepada Allah, dengan memahami makna keesaan Allah, yang disarikan dari kandungan surat al-Ikhlas. Selain itu, meyakini Allah dengan menjauhi sifat tasybih dan tajsim.
Kedua, faham al-Sima’i, bermaksud memahami tata cara menyimak petunjuk dan bimbingan Syaikh Mursyid dalam menjalani pendekatan diri, kepada Allah. Ketiga, Husn al-Ishra, bermaksud memperbaiki hubungan silaturahmi dan pergaulan. Keempat, Ithar al-Ithar, bermaksud mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri demi mewujudkan persaudaraan yang kukuh.
Kelima, tark al-ikhtiyar, bermaksud berserah diri kepada Allah tanpa i’timad kepada ikhtiar sendiri. Keenam, surat al-wujd, memahami secara jernih hati nurani yang seiring kehendak al-Haq. Ketujuh, al-kahf an al-khawatir, bermaksud membedakan yang benar dan salah.
Kedelapan, khatrat al-safar, bermaksud melalukan perjalanan untuk mengambil i’tibar dan melatih ketahanan jiwa. Kesembilan, tark al-iktisab, bermaksud mengandalkan usaha sendiri, akan tetapi lebih bertawakkal kepada Allah setelah berusaha. Kesepuluh, tahrim al-iddihar, bermaksud tidak mengandalkan pada amal yang telah dilakukan, melainkan tumpuan harapannya kepada Allah.
Bagi Syaikh Yusuf, manusia yang sempurna (al-insan al-kamil) merupakan manusia yang sampai ke makam ma’rifat. Bukan hanya manusia biasa yang berislam secara dangkal.
Syaikh Yusuf memberi penekanan tentang hakikat ma’rifat dalam kekhususan tingkatan manusia sebagai al-insan al-kamil. Manusia sempurna akan ingat Allah dalam segala urusan, kapanpun dan di manapun berada.
Syaikh Yusuf lahir pada 3 Juli 1628 M, di Gowa Sulawesi Selatan, dan wafat pada 23 Mei 1699 di Capetown, Afrika Selatan. Beliau sebagai pejuang, jembatan Ulama Nusantara dan Timur Tengah, serta sufi yang mengajarkan lautan ilmu kepada murid-muridnya.
Sumber: nu.or.id