
Chusnul C
Sejak abad ke-20, kesenian tradisi mulai ditinggalkan para peminatnya, salah satunya karena kemunculan televisi yang menawarkan beragam hiburan baru yang dianggap lebih menarik (Alamsyah, Siti Maziyah, 2021).
Kini sebagian besar kesenian tradisi yang masih eksis, hidup dalam kondisi memprihatinkan. Di berbagai tempat seperti Bali dan Yogyakarta, kesenian tradisi masih cukup terjaga. Hal ini tidak lepas dari ekosistem budaya yang ada; didukung oleh industri pariwisata, menjadi bagian ritual agama seperti di Bali, atau menjadi bagian dari tradisi keraton seperti di Yogyakarta.
Namun demikian, kesenian tradisi di Bali dan Yogya pun tidak luput dari tantangan dan hambatan dalam upaya pelestariannya.
Ketidakadilan Gender Bagi Seniman Tradisi Perempuan
Salah satu hal yang menjadi penghambat terbesar upaya pelestarian kesenian tradisi yakni keamanan perempuan yang bergerak di bidang seni tradisi.
Di berbagai tempat, seniman perempuan seringkali dilabeli sebagai seronok dan karenanya sering mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan. Pelecehan seksual atau sekadar kekerasan simbolik banyak dialami para perempuan dan hal ini yang perlahan menurunkan minat perempuan untuk terjuan di dunia seni tradisi.
Baru-baru ini viral video seorang seniman tradisi, sinden senior bernama Yati Pesek yang mendapatkan perlakuan tidak mengenakan dari seorang pendakwah bernama Miftah Maulana Habiburrahman.
Di atas panggung wayang kulit, Miftah dengan gamblangnya mengatakan jika Yati Pesek cantik maka Ia akan menjadi pekerja seksual. “Saya itu bersyukur Bude Yati ini jelek dan milih jadi sinden, kalau cantik jadi lonte,” ujar Miftah sebagaimana dilansir dari Detik.com (5/12/24).
Video tersebut terjadi dua tahun yang lalu namun baru viral, buntut dari arogansi Miftah yang berkata kasar kepada penjual es teh di depan khalayak jamaah.
Pernyataan Miftah terhadap Yati Pesek dua tahun lalu mengandung unsur kekerasan meski sebagaimana klaimnya, hanya sekadar bercanda. Namun penggunaan diksi ‘jelek’, mengandung unsur body shiming karena Yati Pesek secara tidak langsung dianggap tidak memenuhi standard kecantikan yang ada.
Body shiming merupakan ungkapan yang ditujukan untuk mengomentari tubuh korban dan sebagian besar bernada negatif, bisa terjadi secara verbal maupun non-verbal. Karenanya body shiming biasa digunakan untuk menghina dan bisa berkembang lebih jauh menjadi aksi perundungan (Schlüter at al., 2021).
Sebagaimana kasus-kasus perundungan lainnya, body shiming yang dilakukan Miftah kepada Yati nyatanya membuat korban sakit hati dan memendamnya selama dua tahun (Lip.6, 9/12/24).
Sedangkan diksi ‘lonte’ yang menyertai olok-olokan Miftah merupakan bentuk kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik merupakan komunikasi yang ditandai dengan relasi kekuasaan yang timpang baik dari segi moral, ras, etnis, agama, jenis kelamin, usia dan lain sebagainya (Rosmawati Taherong dkk, 2021).
Dalam konteks Miftah-Yati, posisi Miftah yang merupakan tokoh agama, dan berjenis kelamin laki-laki memiliki kapital sosial yang lebih tinggi di tengah masyarakat dibandingkan dengan Yati, seorang perempuan, senior dan seorang seniman tradisi.
Diksi ‘lonte’ yang dilontarkan oleh mantan pejabat negara tersebut tidak lahir secara tiba-tiba dari ruang kosong. Tuduhan ‘lonte’ merupakan anggapan yang muncul dari rekaman alam bawah sadar Miftah sebagai seorang laki-laki yang menjadi bagian dari masyarakat pada umumnya.
Ungkapan Miftah dua tahun lalu, sayangnya baru viral setelah Miftah melakukan penghinaan terhadap penjual es teh keliling yang memancing tindakan cancel culture masyarakat. Jika tidak ada penghinaan terhadap pedagang es teh, apakah Yati Pesek bisa speak up?
Kalaupun bisa, mungkin tidak akan terdengar, sebab Ia yang bergelut di dunia seni tradisi, akan kalah dengan yang bergelut di dunia agama yang dipuja-puja masyarakat.
Selain Yati Pesek, kekerasan seksual dialami oleh penari tradisi. September lalu, viral di sebuah platform sosial media, seorang seniman tari perempuan yang tengah menarikan tarian tradisi dilecehkan oleh pria. Penari perempuan tersebut, di cium tiba-tiba oleh penonton pria dari belakang dan disawer penonton pria lainnya dengan menggunakan mulut (Detik.com, 26/09).
Hal tersebut menuai kecaman publik. Sayangnya, hal serupa tidak terjadi sekali dua kali, dan tidak saja terjadi pada penari perempuan di Bali.
Pelecehan terhadap seniman tradisi khususnya perempuan, kerap terjadi di berbagai tempat dan dilakukan oleh berbagai pihak dari tokoh agama, pejabat hingga masyarakat akar rumput pada umumnya. Dan hal ini, nampaknya akan terus terulang jika kondisi kesenian tradisi masih sama yakni terstigma negatif, dan dianggap sebelah mata.
Pudarnya Marwah Kesenian Tradisi
Kekerasan termasuk pelecehan yang banyak dialami oleh seniman tradisi perempuan tidak bisa lepas dari kondisi makro kesenian tradisi hari ini. Terlepas dari kuatnya budaya patriarki, kondisi kesenian tradisi sekarang ini juga dalam kondisi hidup segan mati tak mau.
Kesenian tradisi, dalam sejarah panjangnya hingga hari ini, terlabeli dengan berbagai stigma negatif seperti seronok, murahan, kurang estetis, lekat dengan magis, PKI (Moh. Ngizul Irfan 2017), dan miskin. Selain beragam label negatif, kesenian tradisi juga tergopoh-gopoh menghadapi arus modernisme, dan banyak diantaranya gagal beradaptasi. Munculnya beragam instrument modernisme seperti radio dan televisi di awal abad 20 menjadi awal senjakala bagi kesenian tradisi.
Radio dan televisi pada masanya dianggap barang mewah yang menyajikan hiburan menarik. Sementara pada masyarakat akar rumput, mereka menciptakan hiburan mereka untuk menghibur diri mereka sendiri.
Ketika Radio dan Televisi hadir, masyarakat tidak lagi didesak oleh kebutuhan akan hiburan sebagaimana sebelumnya sehingga perlahan kesenian tradisi semakin meredup. Dampaknya, anak-anak muda enggan untuk tergabung dalam kelompok kesenian tradisi karena dianggap kuno dan lebih memilih kesenian modern, atau kesenian tradisional yang telah diaransemen.
Kelompok kesenian tradisi yang tidak diminati anak muda, nampaknya sedang menunggu waktu sampai benar-benar hilang ditelan zaman. Sebaliknya, kelompok kesenian tradisi yang bisa beradaptasi akan tetap diminati, namun diantara sekian banyak kesenian tradisi yang pernah ada hanya sedikit yang bisa beradaptasi.
Selain masuknya instrument modernism, redupnya kesenian tradisi khususnya kesenian di luar keraton, juga dikarenakan adanya tuduhan afiliasi dengan PKI atau Lekra hingga munculnya pelarangan terhadap kelompok kesenian. Ketika pelarangan tersebut tidak lagi berlaku, instrument modernisme seperti televisi dan radio telah masuk ke jantung hati rakyat.
Mereka menjadi medium transformasi yang memfasilitasi pergeseran dan penyeragaman nilai-nilai sosial. Instrument modernisme disusul kemudian dengan internet termasuk sosial media semakin mempercepat terjadinya pergeseran nilai. Pergeseran nilai-nilai yang terjadi, juga berdampak pada penilaian masyarakat secara umum terhadap kesenian tradisi.
Jika di masa sebelumnya, para seniwati seperti sinden, penari, termasuk ledek/ tayub, atau ronggeng masih bisa diterima, hari ini mereka dianggap lebih seronok, dan karenanya semakin menjadi objek pelecehan (Sukari,2009). Untuk itu, sebagian jenis kesenian tradisi terseleksi secara alami dan punah seperti ledek, tayub, atau lengger sebagiannya lagi memilih untuk beradaptasi semisal menggganti kostum tari dengan yang lebih sopan.
Tetapi stigma-stigma negatife yang menempel pada seniman tradisi khususnya seniwati, membuat banyak perempuan memilih untuk tidak terlibat atau bergabung. Tentunya, hal ini membuat sebagian besar kelompok kesenian kesulitan dalam melanjutkan eksistensi kesenian tradisi.
Belum lagi, kesenian-kesenian tradisi banyak ditampilkan di perempatan-perempatan lampu merah seperti misalnya ondel-ondel di Jakarta (Derita Entas dll, 2022), atau jathilan di Jawa, semakin melekatkan kesenian tradisi dengan stigma negative sebab nilai-nilai yang terdegradasi.
Kesenian tradisi dianggap kesenian masyarakat kelas bawah yang miskin dan terpinggirkan serta dianggap kurang estetis khususnya kesenian tradisi di luar keraton. Tak jarang kesenian tradisi juga disebut lekat dengan unsur-unur magis, dan dituduh sebagai pelaku bid’ah.
Kesenian Tradisi di Tengah Masyarakat Mendua dan Pentingnya Pemahaman Lintas Budaya
Namun ketika kesenian tradisi, yang dilihat sebelah mata, akhirnya dilirik oleh masyarakat luar, kita akan dengan begitu bangganya menyebut diri sebagai bangsa yang beragam suku dan agama, serta kaya akan budaya.
Sebaliknya, ketika negara tetangga kemudian mengklaim batik, reog dan beragam kesenian tradisi nusantara lainnya sebagai tradisi mereka, masyarakat akan beramai-ramai menyumpah serapah.
Padahal selama ini, kita abai dan menganggap milik kita tidak begitu berharga sampai negara tetangga mengklaimnya. Fenomena-fenomena demikian, menjadi bukti betapa masyarakat kita naif dan mendua dalam menilai dan bersikap.
Begitupun, dalam dunia pariwisata kita, kesenian tradisi yang seringkali ditampilkan dalam berbagai pertunjukan, muncul sekadar sebagai display atau sekadar hiburan. Padahal Ia, menyimpan kedalaman makna, mengandung ajaran-ajaran moral nenek moyang, dan merupakan rekaman dari berbagai ekspresi lintas zaman.
Dengan kata lain, kesenian tradisi pada dasarnya mengandung kekayaan makna, sebuah tuntunan akan kebijakan, bukan sekadar hiburan yang dipertontonkan. Di Pulau seribu pura, Bali, kesenian tradisi yang mereka miliki merupakan sebuah ritual yang dianggap suci, namun bagi sebagian besar non-Hindu Bali, menyebut tarian mereka lekat dengan magis karena mengalami trans atau kesurupan.
Tuduhan magis yang dialamatkan terhadap kesenian tradisi di Bali, juga merupakan salah satu contoh. Di berbagai tempat lainnya, banyak kesenian tradisi mendapatkan tuduhan serupa. Sialnya, penonton yang menikmatinya, memberikan tuduhan tanpa mau untuk memahaminya.
Masyarakat kita, yang tak rela budayanya direbut bangsa lain, yang mengatakan bangga dengan keragaman budaya, sayangnya enggan untuk belajar memahami konteks lintas budaya ‘cross-culture’.
Referensi:
Alamsyah, A., & Maziyah, S. (2021). Pasang Surut Kesenian Kesenian Emprak Jepara 1950-2020. Anuva: Jurnal Kajian Budaya, Perpustakaan, dan Informasi, 5(1), 151-164.
Di Daerah Kabupaten, P. A. T. I. (2009). Tanggapan Masyarakat Terhadap Sebuah Tari Pertunjukan Rakyat “Tayub” Di Daerah Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Keanekaragaman Budaya, 563.
IRFAN, M. N. (2017). Perkembangan Kesenian Reyog Tulungagung Tahun 1970-2016. Avatara: Jurnal Pendidikan Sejarah, 5(3).
Schlüter, C., Kraag, G., & Schmidt, J. (2021). Body shaming: An exploratory study on its definition and classification. International journal of bullying prevention, 1-12.
Taherong, R., Samsaifil, S., & Wally, I. H. (2021). Kekerasan Simbolik Verbal Pada Lingkungan Pendidikan Di Smp Negeri 3 Baubau. Jec (Jurnal Edukasi Cendekia), 5(1), 9-16.
Nelangsa Penari Joged Bumbung di Bali: Dicium Pengibing, Disawer lewat Mulut (detik.com) diakses pada 27 September 2024, 21.26 WIB
https://www.detik.com/jateng/berita/d-7673616/video-viral-gus-miftah-hina-fisik-yati-pesek-hingga-sebutan-tak-pantas diakses pada 7 Desember 2024, 20.36 WIB
Curhat Yati Pesek Sakit Hati sama Miftah Maulana: Aku Selama Ini Diam Saja – Regional Liputan6.com, diakses pada 09 Desember 24 pukul 21.32 WIB.