Oleh: Stanley Khu (Pengajar antropologi Universitas Diponegoro; alumni Jawaharlal Nehru University, India)
Salah satu jargon iklan paling terkenal dan berkesan di Indonesia barangkali adalah: “bukan basa-basi”. Mendengar frasa ini, kita segera teringat sebuah perusahaan legendaris yang telah malang-melintang di Indonesia selama hampir satu abad. “Bukan basa-basi” menyiratkan bahwa produk yang dijual bukan main-main, tapi sesuatu yang dihasilkan secara serius. Dengan logika yang sama, konsumen produk ini juga secara alamiah diasosiasikan dengan sosok yang serius, berkomitmen, menghargai waktu, dst.
Contoh sederhana di atas menunjukkan bahwa basa-basi cenderung berkonotasi negatif. Tulisan ini hendak membuktikan sebaliknya. Terinspirasi oleh studi Errington (1984) dan Simon (2014) tentang signifikansi basa-basi dalam masyarakat Minangkabau, tulisan ini berargumen bahwa basa-basi adalah praktik yang tidak hanya esensial dalam satu masyarakat, tapi bisa dibilang merupakan sesuatu yang menyusun kebudayaan Indonesia.
Pertimbangkan, misalnya, latar paling umum tempat terjadinya basa-basi, yakni warung kopi. Individu yang baru datang akan disapa oleh orang-orang yang sudah duluan duduk di dalam dan diajak untuk ikut minum kopi (sambil berbincang dan merokok). Meskipun basa-basi dilakukan oleh satu individu, tindakan satu orang ini terhubung secara kolektif dengan orang lain.
Saat seseorang hendak minum, dia punya kewajiban etis untuk mengundang pihak lain agar turut minum sebelum dia sendiri minum. Tidak masalah apakah pihak lain ini diketahui sudah minum, atau menunjukkan raut muka tidak mau minum. Poin pentingnya adalah: basa-basi merupakan ritual inklusif yang menuntut pembayangan kebersamaan dalam melakukan sebuah aktivitas, dan ajakan atau undangan untuk melakukan apa yang kita hendak lakukan adalah titik tolak bagi pembayangan ini.
Latar utama lain tempat berlangsungnya basa-basi adalah rumah. Di rumah mayoritas orang Indonesia, kita bisa menemukan pola interaksi antara tuan rumah dan tamu, yang hampir menyerupai ritual karena alur yang kurang-lebih pasti. Misalnya, pertemuan akan diawali dengan saling bertukar sapa, lalu tawaran untuk makan atau minum oleh tuan rumah, yang pada awalnya akan ditolak dengan sopan oleh tamu, tapi yang akhirnya akan diterima setelah tuan rumah terus mendesak.
Nantinya, setelah kunjungan berakhir, tuan rumah biasanya akan mengungkapkan penyesalan atas betapa singkatnya kunjungan. Lalu tamu akan pamit dan kedua pihak bertukar salam. Dalam semua fase interaksi ini, kedua pihak wajib mempertahankan sikap yang terkendali, tanpa emosi menggebu-gebu, serta tersenyum sesering mungkin tanpa terkesan abnormal.
Apakah dengan demikian basa-basi tidak ada bedanya dengan koreografi yang mekanis dan monoton? Tidak bisa dipungkiri bahwa basa-basi mengandung standar tertentu tentang cara berperilaku. Namun, kita tidak boleh mengabaikan isu agensi dan pemaknaan subjektif. Dari perspektif antropologis, basa-basi bisa dipahami sebagai proses ritualisasi atas pola interaksi yang dianggap tepat dan patut, sehingga orang-orang yang berpartisipasi di dalamnya dapat melampaui individualitas masing-masing. Dalam basa-basi, kehendak dan hasrat individual dikesampingkan untuk sementara waktu, dan sebaliknya, integrasi sosial ditonjolkan secara aktual.
Fungsi lain basa-basi adalah sebagai pengantar untuk menuju obrolan yang lebih serius. Dengan basa-basi sebagai fondasinya, topik yang sensitif atau berisiko menimbulkan kesalahpahaman dapat diredam dampaknya agar tidak benar-benar menimbulkan akibat negatif. Basa-basi memungkinkan obrolan yang serius untuk terlepas dari konotasi individual, meski secara aktual individulah yang menuturkannya. Konotasi individual ini krusial, karena jika sebuah topik dirasa sensitif, penting untuk memastikan bahwa topik ini disampaikan seolah-olah bersifat impersonal, atau dengan kata lain, tidak berasal dari individu manapun. Dengan cara ini, sebuah topik menghasilkan aura objektivitas dan dapat disajikan sebagai fakta, atau setidaknya, kebenaran sementara.
Misalnya, jika tetangga dari seseorang pada suatu hari menghampirinya untuk membicarakan sesuatu yang sensitif tentang ketua RT, si tetangga tak akan langsung menuju pokok masalah, tapi akan berbasa-basi terlebih dulu. Frasa paling umum untuk memulai obrolan semacam ini adalah “dengar-dengar…” Artinya, si penutur hendak menyampaikan sesuatu tanpa ingin dirinya disangkutpautkan secara personal dengan konten pembicaraan; atau dengan kata lain, apa yang hendak disampaikannya adalah sesuatu yang impersonal, bukan rekaan individual.
Dalam hal ini, basa-basi bisa dimaknai sebagai praktik untuk menjelmakan sebuah kolektivitas (sebagai lawan dari personal). Basa-basi bukan sekadar etiket kosong, melainkan – setidaknya menurut perspektif Durkheimian – sebuah cara untuk menghadirkan ‘pribadi’ ke dalam interaksi sosial, di mana nilai-nilai kemanusiaan mesti selalu ditampilkan ke publik agar dapat diamati dan ditanggapi oleh pihak lain dalam hubungan timbal-balik.
Poin inilah yang barangkali juga menjelaskan kenapa mayoritas pelaku terorisme di Indonesia sering dikomentari oleh tetangga mereka – dalam wawancara dengan wartawan – sebagai “jarang bergaul” atau “suka menutup diri”. Komentar semacam ini menunjukkan bahwa bagi orang Indonesia secara umum, moralitas dipahami sebagai kesesuaian dengan standar sosialitas yang diterima secara kolektif. Individu boleh saja eksis secara fisiologis dan psikologis, tapi sebagai “pribadi”, ia hanya bisa ditemukan, ditakar, dan dirangkul dalam aktualitas interaksi sosial.
Tapi, terlepas dari peran sentralnya dalam kehidupan sehari-hari, basa-basi tidak bisa diterapkan secara absolut, karena tidak dalam setiap momen kehidupannya individu berbasa-basi. Misalnya, kemungkinan besar seorang suami tidak akan berbasa-basi dengan istrinya. Dengan kata lain, basa-basi tidak berlaku dalam konteks yang domestik, karena fungsinya lebih kepada pencairan hubungan agar menjadi intim.
Proses pencairan ini bisa dilakukan melalui banyak cara, misalnya dengan bertukar lelucon yang vulgar (atau dalam istilah kekinian: jokes bapak-bapak), menuturkan kisah-kisah luar biasa yang cenderung berupa bualan, mengeluh tentang harga barang yang baik, melaporkan peristiwa mutakhir yang barusan ditonton di televisi, dll. Di sini, basa-basi bisa dibaca sebagai praktik sosial untuk menakar sekaligus menyempitkan jarak sosial antara pelaku basa-basi dan pihak lain, atau dengan kata lain: menciptakan keintiman di antara orang-orang asing dan situasi asing.
Arti penting dari fungsi ini tidak bisa dianggap remeh, karena teknologisasi yang semakin mendominasi seluk-beluk kehidupan manusia sekarang telah dengan gamblang menciptakan alienasi dalam hubungan manusia dengan sesamanya. Kita sering mendengar ujaran bahwa perkembangan teknologi itu sendiri tidaklah baik atau buruk secara inheren, karena apa yang penting adalah cara kita menanggapinya secara konstruktif. Dalam hal ini, kita bisa berargumen bahwa basa-basi adalah salah satu praktik kultural untuk menjembatani gap-gap yang semakin melebar dalam relasi antar manusia.
Kesimpulannya, penampilan yang diproyeksikan secara eksternal, dalam apa yang lazimnya dinamakan formalitas atau basa-basi, bukanlah sesuatu yang remeh-temeh. Basa-basi adalah urusan moral, karena praktik ini adalah medium bagi orang-orang untuk memupuk kecondongan atau sikap moral tertentu. Basa-basi bukanlah upaya untuk menyelubungi sebuah diri yang privat. Dan seperti yang disiratkan oleh frasa “bukan basa-basi”, basa-basi juga bukan sesuatu yang bertentangan dengan integritas. Basa-basi adalah cara diri mengungkapkan kepribadiannya, proyeksi dari jati diri itu sendiri.
Referensi:
Errington, Frederick. 1984. Manners and Meaning in West Sumatra: The Social Context of Consciousness. New Haven: Yale University Press.
Simon, Gregory M. 2014. Caged in on the Outside: Moral Subjectivity, Selfhood, and Islam in Minangkabau, Indonesia. Honolulu: University of Hawai’i Press.