Beranda Publikasi Kolom Tradisi Pekuncen di Situs Kraton Kartasura

Tradisi Pekuncen di Situs Kraton Kartasura

1335
0
Sumber foto: https://www.javaheritagetour.com

Oleh: Muhamad Alnoza (Mahasiswa Program Magister Antropologi, Universitas Gadjah Mada)

Nilson & Thorrel (2018, p. 10) mengungkapkan bahwa konsepsi cagar budaya bagi masyarakat kontemporer erat kaitannya dengan upaya pendayagunaan mereka atas gambaran masa lalu yang mereka proyeksikan. Sementara itu pada konsepsi mengenai cagar budaya, urgensinya pada konteks Indonesia dapat dijumpai pada UU No.11 tahun 2010 yang mengatur tentang cagar budaya.

Pada beberapa kasus, aktivitas yang berhubungan dengan “cagar budaya” telah lama dilakukan sejak sebelum perundang-undangan tersebut diterbitkan (red:living heritage) (Wijesuriya 2015, 3–4). Di Indonesia, salah satu bentuk kelompok masyarakat atau aktor yang kerap kali dijumpai pada kasus living heritage adalah juru kunci (selanjutnya disebut kuncen), misalnya pada Situs Cagar Budaya Kraton Kartasura.

Saya ingin lebih jauh mengangkat permasalahan soal bagaimana pandangan seorang kuncen terhadap cagar budaya yang ada di sekitar mereka? Dan apa potensi dari kehadiran kuncen pada cagar budaya atas upaya pelestarian dari cagar budaya itu sendiri?

Gambaran Umum Situs Kraton Kartasura: Dulu dan Kini

Dikisahkan bahwa ketika Amangkurat II naik takhta, Kerajaan Mataram Islam tidaklah memiliki kraton. Kraton sebelumnya yang terletak di Plered, telah dibumihanguskan saat Pemberontakan Trunajaya berlangsung. Atas dasar itulah kemudian Amangkurat II memindahkan kraton Mataram Islam ke Kartasura, sampai kemudian baru ditinggali pada Rabu Pon, 27 Ruwah, tahun 1603 tahun Jawa (11 November 1680) (Ricklefs 2002).

Kraton Kartasura sendiri mengalami keruntuhan akibat adanya peristiwa yang dalam historiografi tradisional Jawa dikenal sebagai Geger Pacina (Gonodiprodjo 2013). Kraton ini baru “diaktifkan” kembali oleh Sunan Pakubuwana IV dari Kasunanan Surakarta pada tahun 1811. Pakubuwana IV di tahun 1816 kemudian men-dhawuh¬-kan agar bekas Kraton Kartasura ditetapkan sebagai hastana (makam) bagi kerabat serta abdi terdekat raja.

Mas Ngabehi Surya Hastana Hadiprajanagara  merupakan orang yang menduduki posisi kuncen di Situs Kraton Kartasura saat ini. Secara umum tugas kuncen adalah membersihkan, menjaga, dan mengelola pemakaman yang memiliki luas 1.5 Ha ini. Secara prinsipil kuncen memiliki tugas yang disebut oleh M.Ng. Surya sebagai “pagersari”.

Mengenai deskripsi dari tugas atau fungsi pagersari ini dapat direpresentasikan dari kutipan wawancara terhadap M. Ng. Surya, yang berbunyi: Sapa sing gelem resiki, sapa sing gelem mageri, pagerna sakuat mu, pen! (Barang siapa yang mau membersihkan, barangsiapa mau memagari, pagarilah!). M. Ng. Surya sendiri merupakan seorang pegawai negeri sipil, yang bertugas sebagai guru sejarah di SMPN 2 Matesih (Karanganyar) dari tahun 1999.

Menurut penuturan M.Ng. Surya, terdapat beberapa aktivitas yang dilakukan oleh ia dan masyarakat umum yang datang ke Hastana Patilasan Kraton Kartasura. Aktivitas yang secara tahunan dilakukan di Hastana Patilasan Kraton Kartasura adalah ritual sadranan. Sadranan dalam hal ini meliputi tahlilan, nyekar dan memberikan sesaji berupa dupa atau wewangian yang lain.Aktivitas lain yang sering dilakukan oleh di Hastana Patilasan Kraton Kartasura adalah jagongan atau berkumpul untuk berdiskusi di replika Balai Pasewakan.

Selama dilakukannya proses observasi dan wawancara di Hastana Patilasan Kraton Kartasura, M. Ng. Surya menyebutkan kepada saya soal tempat wingit (keramat). Khusus pada kasus makam wingit terdapat beberapa makam yang memiliki peringkat wingit yang berbeda-beda. Makam yang memiliki peringkat wingit paling tinggi menurut kepercayaan masyarakat yang mendiami Hastana Patilasan Kraton Kartasura adalah Makam Bandara Raden Ayu Adipati Sedhah Mirah.

Tempat-tempat yang selama ini dipandang wingit lainnya antara lain, replika tempat tidur raja, jebolan Raden Mas Garendi (bagian tembok cepuri yang dilubangi oleh pemberontak Geger Pacina dengan meriam), regol (bekas pintu gerbang kraton yang sekarang sudah tidak ada wujud fisiknya), dan gedong putih (gedung berwarna putih tempat meletakan pusaka).

Kisruh Wacana: Antara Cagar Budaya dan Tempat Wingit

Setelah dilakukannya pengamatan, saya memposisikan dua wacana mengenai Situs Kraton Kartasura. Wacana tersebut di antaranya wacana pelesarian cagar budaya dan wacana kuncen. Kedua wacana ini telah menimbulkan perilaku yang berbeda di masyarakat. Wacana cagar budaya di satu sisi menimbulkan semacam kontrol terhadap perilaku yang sekiranya merusak situs, yang mana hal ini timbul karena adanya aspek pelestarian.

Wacana kuncen di sisi lain menimbulkan kontrol agar masyarakat tidak berperilaku tabu, karena Hastana Kraton Patilasan Kartasura memiliki nilai wingit bagi kuncen yang menetap di sana. Namun demikian, pada akhirnya bisa ditekankan bahwasannya kesamaan kepentingan di antara wacana tersebut tentunya dapat dielaborasikan sebagai suatu wacana tunggal.

Adapun potensi pengelaborasian kedua wacana, misalnya dapat ditinjau dari cakupan pelestarian sesuai dengan UU No. 11 tahun 2010, yaitu pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Di ranah pelindungan misalnya, secara tradisional peran kuncen di Situs Kraton Kartasura pada dasarnya  merupakan seorang pelindung. Ia memiliki beban moral (terkait dengan kepercayaannya akan wingit-nya situs) untuk melindungi dan merawat tinggalan-tinggalan cagar budaya di Situs Kraton Kartasura.

Tentu dengan adanya pengelaborasian wacana, pengetahuan kuncen yang sebelumnya telah mapan untuk melindungi situs, akan lebih diperkuat lagi dengan pengetahuan konservasi situs secara ilmiah yang ditularkan oleh pihak BPCB atau institusi pemerintah terkait.

Di ranah pengembangan, beberapa narasi tradisional yang telah dideskripsikan di bagian sebelumnya, menunjukan adanya potensi pengayaan nilai-nilai dari Situs Kraton Kartasura. Selama ini penetapan nilai penting, selalu diarahkan pada pertimbangan keilmuan tim ahli cagar budaya yang posisinya merupakan pihak luar. Padahal, sebagaimana disebut oleh D. Kaplan dan R.A. Manners 2012), perspektif peneliti (etik) dan subjek lokal (emik) yang mendiami situs bisa saja berbeda.

Untuk mendapatkan suatu interpretasi yang utuh akan suatu fenomena kebudayaan, diperlukan sinkronisasi antara perspektif etik dan emik. Oleh karena itulah, beberapa kepercayaan kuncen soal tempat dan makam-makam wingit serta ritual-ritual yang ia lakukan, perlu dipertimbangkan dan dikembangkan pula dalam kegiatan pelestarian cagar budaya.

Pada bagian pemanfaatan, beberapa kegiatan yang dilakukan secara kolektif atas inisiasi oleh kuncen perlu lah diperhatikan lebih lanjut. Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa kuncen memiliki massa-nya sendiri, yang secara berkala ia ajak untuk hadir ke Situs Kraton Kartasura dan melakukan suatu kegiatan tertentu. Di balik fenomena ini, terdapat dua kemungkinan yang dapat mempengaruhi upaya pelestarian Situs Kraton Kartasura. Pertama, kehadiran banyak orang justru dapat memperbesar kemungkinan rusaknya situs yang cenderung rapuh. Kedua, kehadiran banyak orang juga dapat membantu program-program pemanfaatan yang dirancang oleh BPCB atau institusi terkait.

DAFTAR PUSTAKA

Gonodiprodjo, Daradjati. 2013. Geger Pacinan 1740-1743: Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Kaplan, David, and Robert A. Manners. 2012. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nilson, Tomas, and Kristina Thorrel. 2018. Cultural Heritage Preservation: The Past, the Present and the Future. Halmstad: Halmstad University Press.

Ricklefs, Merle Calvin. 2002. Yogyakarta Di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792. Yogyakarta: Matabangsa.

Wijesuriya, Gamini. 2015. Living Heritage: A Summary. Rome: ICCROM.

 

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini