Oleh: Sumanto Al Qurtuby (Co-founder dan Direktur Nusantara Institute)
Sedih mendengar kabar mendadak kalau Ki Manteb Sudarsono (Ki Manteb) telah wafat (konon akibat Covid-19). Dunia pedalangan wayang kulit kembali berduka. Sebagai pecinta dan penggemar kesenian wayang kulit sejak kecil dan hingga kini hobi nonton wayang di YouTube, saya pun turut berduka cita atas wafatnya sang maestro, Ki Manteb Soedarsono.
Setelah beberapa bulan lalu “dalang kondang” Ki Seno Nugroho wafat, kini Ki Manteb pun berpulang ke haribaan-Nya. Ki Seno (dari Yogyakarta) wafat relatif masih muda (belum genap 50 tahun) diduga karena serangan jantung lantaran kecapean menghadiri banyak acara undangan manggung “ndalang” yang nyaris tak berhenti. Sementara Ki Manteb (dari Jawa Tengah – lahir di Sukoharjo tahun 1948 tapi menetap dan dikebumikan di Karanganyar) wafat di usia 72 tahun.
Ki Seno mengakui kalau Ki Manteb adalah salah satu gurunya yang ia hormati, dan memang hubungan keduanya sangat akrab. Tampak saya pernah melihat di YouTube, Ki Manteb pernah menghadiri acara ndalang Ki Seno. Jika Ki Seno sangat menghormati Ki Manteb sebagai guru dan seniornya, Ki Manteb pun sangat bangga dengan popularitas muridnya. Ketika Ki Seno wafat, Ki Manteb juga memberi “pidato pelepasan”. Untuk memperingati 100 hari wafatnya Ki Seno, Ki Manteb juga mendalang di kediamannya.
Ki Manteb pula yang kemudian memotivasi putra Ki Seno yang masih kecil, Gading Pawukir, untuk tabah dan terus melanjutkan seni pewayangan warisan ayahnya. Ia bahkan bersedia menjadi guru bagi Gading, sebagaimana mendiang ayahnya. Ki Manteb pula yang mendorong anaknya, Danang Suseno, yang juga seorang dalang, untuk menganggap Gading sebagai saudaranya dan bersama-sama latihan mendalang.
Semasa hidupnya, Ki Manteb memang dikenal sangat peduli dengan “generasi muda” karena merekalah yang akan menjadi penerus kesenian, khususnya seni pewayangan. Karena itu, ia bukan hanya peduli dengan putranya dan putra almarhum Ki Seno tetapi juga murid-murid sekolah pedalangan. Padepokan rumahnya dijadikan sebagai tempat latihan anak-anak muda yang ingin belajar dan mengasah keterampilan dalam mendalang atau “menyinden”.
Kehebatan seorang tokoh memang bukan hanya diukur dari kesuksesannya selama memimpin atau berkarya tetapi juga dari kesuksesannya dalam menyiapkan generasi penerus. Seorang tokoh saya anggap gagal jika ia tidak mampu menyiapkan kader untuk meneruskannya di masa depan.
Ki Manteb bukan seorang dalang “kaleng rombeng.” Ia seorang dalang senior kaliber nasional yang sudah lama malang-melintang di jagat pewayangan wayang kulit. Ia mengaku pentas mendalang di publik sejak usia masih relatif muda di awal tahun 1960an. Bakat mendalang Ki Manteb didapatkan dari ayahnya, Ki Hardjo Brahim Hardjowijono, seorang dalang dan seniman tulen. Saat sang ayah mendapat undangan mendalang, ia sering mengajak Ki Manteb kecil. Ibu Ki Tanteb juga seorang seniwati dan pesinden, Ni Darti. Jadi wajar jika kelak Ki Manteb tumbuh menjadi seniman tulen dan maestro pedalangan.
Namun kepiawaian mendalang Ki Manteb bukan hanya karena “faktor genetik” (karena mewarisi darah seorang dalang dan seniwati) tetapi juga lantaran usaha kerasnya dalam belajar mendalang dan terus meningkatkan seni pewayangan. Oleh ayahnya, Ki Manteb kecil disuruh belajar mendalang dengan Ki Warseno Kethek, Wonogiri, seorang dalang yang masyhur dengan sabetannya.
Ki Manteb juga belajar mendalang dengan Ki Sudarman Gondhodarsono, Semarang. Dalang lain yang menjadi gurunya adalah Ki Narto Sabdo (lahir 1925, di Klaten, Jawa tengah), seorang seniman musik ternama dan dalang legendaris yang sangat masyhur pada zamannya. Ki Manteb sendiri mengakui kalau Ki Narto Sabdo merupakan dalang wayang kulit terbaik Indonesia yang belum tergantikan oleh siapapun kepiawaian dan kehebatannya.
Meskipun aktivitas mendalang ia lakukan sejak usia dini dan pentas ndalang di publik dilakukan sejak remaja tetapi popularitas dan kepiawaian Ki Manteb dalam mendalang baru diakui “secara nasional” sejak tahun 1987 ketika ia mementaskan lakon Banjaran Bima di Jakarta sebulan sekali selama satu tahun. Jadi 12 kali pentas berturut-turut dengan lakon yang sama. Lakon ini mengisahkan perjalanan Bima (tokoh kedua Pandawa) dari lahir hingga mati. Ki Manteb mengakui, pementasan lakon ini menjadi “tonggak sejarah” bagi karirnya di tingkat nasional.
Apa yang membuat Ki Manteb “spesial” atau “unik” sehingga mampu memikat hati publik Indonesia, khususnya pecinta wayang kulit? Di antara faktor lainnya, dua hal yang sangat mendasar. Pertama, keterampilan sabet atau kecepatan dalam memainkan atau menggerakkan wayang saat berperang. Karena itulah, kelak Ki Manteb kemudian tersohor dengan sebutan “Dalang Setan”. Ki Manteb mengakui keterampilan dan kecepatan dalam “sabetan” wayang itu dipengaruhi oleh seni kung fu melalui aktor legendaris Bruce Lee (juga Jackie Chan).
Kelak, saya melihat kecepatan sabetan dalam memainkan wayang ini muncul di Ki MPP Bayu Aji, putra Ki Anom Suroto yang juga dalam senior tersohor dari Jawa Tengah seangkatan dengan Ki Manteb. Bayu memang mengakui kalau sabetannya itu hasil belajar dari – atau berguru dengan – Ki Manteb yang juga pernah menghadiri acara mendalang Ki Bayu.
Kedua, memadukan instrumen musik modern seperti tambur, biola, atau terompet dengan gamelan dalam pentas pewayangan. Awalnya, upaya ini diprotes oleh para dalang senior tetapi banyak juga yang mendukungnya.
Kalau ingin maju dan menjangkau segmen yang lebih luas, seorang seniman memang harus tampil beda dan berinovasi. Jika tidak, ya akan begitu-begitu saja.
Sejak menampilkan lakon Banjaran Bima tersebut, nama Ki Mateb melambung dan melesat bak meteor, bukan hanya di tingkat nasional tetapi juga internasional. Apalagi sang dalang legendaris yang ahli dalam seni dramatisasi, Ki Narto Sabdo, wafat tahun 1985. Para penggemar setia wayang kulit Ki Narto pun akhirnya “berlabuh” ke Ki Manteb yang mereka anggap sebagai murid dan penerusnya. Sejak itu, Ki Manteb sering pentas di RRI dan stasiun televisi (khususnya TVRI dan Indosiar), selain diundang pentas oleh para elit dan pejabat negara. Ki Manteb juga membintangi iklan Oskadon yang populer itu (“Oskadon Pancen Oye”). Bukan hanya skala nasional, Ki Manteb juga sering tampil di mancanegara seperti di negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Suriname.
Karena kontribusinya yang sangat penting dalam hal pelestarian seni pewayangan, Ki Manteb pada tahun 2010 pernah dianugerahi Nikkei Asia Prize Award, selain berbagai anugerah atau penghargaan lain seperti Satyalancana Kebudayaan dari Pemerintah Republik Indonesia.
Ki Manteb adalah seorang dalang yang menganggap agama dan budaya sebagai dua hal yang sangat penting, saling melengkapi, dan tidak bisa dipisahkan laksana yin-yang. Menurutnya, agama merupakan manifestasi dan jalan dalam membangun hubungan manusia dengan Tuhan Sang Khalik, sedangkan budaya merupakan manifestasi dan jalan membangun relasi antarsesama umat manusia.
Baginya, manusia idealnya harus “beragama dan berbudaya” sekaligus. Keduanya memiliki “ranah” masing-masing yang tidak bisa dibenturkan dan saling menghakimi. Agama tidak bisa menghakimi budaya. Budaya juga tidak bisa menghakimi agama. Jika keduanya dibenturkan, maka akan terjadi konflik, ketegangan, dan kekacauan di masyarakat. Ini merupakan penjelasan filosofis yang menarik untuk dikaji lebih mendalam apalagi di tengah masyarakat agama yang gemar menyesatkan dan memusyrikkan seni-kebudayaan.
Selamat jalan, maestro. Jasadmu boleh tiada tetapi jasamu akan terus dikenang sepanjang masa. [NI]