Priscila Andini Ratubanju (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama, Universitas Kristen Satya Wacana)
Indonesia merupakan negara yang dikenal dengan keberagamannya, baik dari segi agama maupun adat istiadat. Indonesia juga menjadi rumah bagi berbagai agama seperti Islam, Kristen (Katolik dan Protestan), Hindu, Buddha, dan Konghucu, yang secara resmi diakui oleh pemerintah.
Selain keberagaman agama, Indonesia juga memiliki adat istiadat yang sangat beragam, yang mencerminkan identitas budaya dari berbagai suku bangsa. Terdapat begitu banyak suku di Indonesia, seperti suku Jawa, Sunda, Batak, Minangkabau, Bugis, suku-suku asli Papua, Rote, Sumba, Sabu dan masih banyak lagi.
Setiap suku memiliki tradisi, bahasa, pakaian adat, tarian, hingga ritual khas yang diwariskan secara turun-temurun.
Salah satu contoh dari sekian banyaknya keberagaman budaya di Indonesia adalah tradisi kenoto, sebuah tradisi pernikahan adat yang dilakukan oleh masyarakat adat Sabu di pulau Sabu, provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Menariknya, meskipun masyarakat Sabu pindah ke kawasan lain, misalnya di Sumba Timur, mereka tetap melaksanakan adat tersebut.
Masyarakat Sabu yang tinggal di Sumba Timur, dalam pelaksanaan upacara adat kenoto juga selalu memiliki keterkaitan dengan agama, khususnya Kristen.
Harmoni Adat-Agama
Harmoni antara agama dan adat memiliki peran yang sangat penting dalam membangun perdamaian sosial, terutama di negara yang kaya akan keberagaman adat dan agama seperti Indonesia. Agama memberikan panduan moral dan spiritual bagi masyarakat, sementara adat-istiadat mencerminkan identitas budaya dan nilai-nilai lokal yang diwariskan turun-temurun.
Ketika agama dan adat berjalan selaras, keduanya dapat saling memperkaya dan memperkuat ikatan sosial antarindividu maupun komunitas. Harmoni ini membantu menciptakan rasa saling menghormati dan toleransi di tengah perbedaan, yang menjadi landasan penting bagi perdamaian dan stabilitas sosial.
Namun demikian, dinamika yang terjadi dalam kehidupan sosial akan selalu memberi ruang untuk terjadinya potensi konflik. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan pandangan mana yang harus didahulukan dan diutamakan antara nilai agama dan nilai adat.
Permasalahan ini muncul karena perbedaan pandangan atau perspektif masyarakat antara proses tradisi yang harus dilakukan secara bertahap atau lebih mementingkan manfaat praktisnya. Meskipun begitu, oleh masyarakat Sabu, agama dan adat tetap dijalankan secara beriringan, tidak terpisahkan. Hal ini tercermin dalam praktik kenoto.
Secara umum, kenoto memiliki tahapan-tahapan sebagai berikut: oro li (peminangan atau perkenalan antara kedua belah pihak keluarga), ihi kenoto (oleh pihak keluarga laki-laki)dan hemata kenoto (oleh pihak keluarga perempuan) dan pemaho kenoto (bertemunya kedua belah pihak keluarga dan pelaksanaan nikah adat).
Secara umum, dalam proses pernikahan adat masyarakat Sabu, setelah kenoto dilakukan, maka akan dilaksanakan pemberkatan nikah di gereja, dan setelah itu pengantin terkait akan melaksanakan pencatatan sipil atau legalisasi pernikahan. Setelah seluruh rangkaian prosesi tersebut dilaksanakan, biasanya kemudian dilangsungkan acara resepsi pernikahan bagi pengantin tersebut.
Di Sumba Timur, agama dan adat kenoto merupakan dua elemen penting yang membentuk identitas masyarakat Sabu. Adat kenoto merupakan tradisi turun-temurun yang mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk ritual adat, hubungan sosial, hingga pernikahan. Sementara itu, agama, terutama Kristen, memiliki pengaruh kuat sejak masuknya misionaris ke wilayah ini.
Keduanya sering kali hidup berdampingan, namun ada momen di mana perbedaan nilai atau praktik antara agama dan adat memicu potensi konflik, terutama dalam tradisi pernikahan.
Salah satu permasalahan yang sering muncul adalah benturan antara nilai agama yang mengutamakan kesederhanaan dan spiritualitas dengan adat pernikahan yang melibatkan proses ritual dan aturan yang kompleks, seperti pembayaran mahar (mas kawin) yang kadang dianggap memberatkan secara ekonomi.
Beberapa pihak melihat adat kenoto sebagai bagian penting dari identitas budaya yang harus dijaga, sementara pihak lain mengutamakan ajaran agama yang mengajarkan kesederhanaan dan kemudahan dalam menjalani kehidupan berumah tangga.
Dari penjelasan di atas mengenai prosesi pelaksanaan kenoto yang secara umum dilakukan yakni dari ori li, ihi kenoto, hemata kenoto dan pemaho kenoto, dilanjutkan dengan pemberkatan nikah pada keesokan harinya, lalu pencatatan sipil serta resepsi pernikahan.
Di masa sekarang terdapat perbedaan pandangan mengenai urutan pelaksanaan pernikahan tersebut. Jika didasarkan pada proses secara berurutan, seharusnya yang dilakukan adalah seperti susunan di atas. Namun, masyarakat modern saat ini cenderung melihat manfaat praktis jika dilakukan dalam satu hari yang bersamaan.
Maksudnya adalah yang didahulukan bukan lagi upacara kenoto tetapi pemberkatan nikah, pencatatan sipil, setelah itu barulah upacara kenoto dan resepsi pernikahan dilakukan.
Hal ini terlihat bahwa terdapat kurangnya pemahaman dari sebagian masyarakat yang memiliki pandangan demikian tentang peran dan tugas dari setiap individu yang terlibat dalam proses pernikahan. Tentu saja hal ini menjadi tantangan tersendiri untuk membangun harmoni sosial dalam masyarakat terkhususnya di konteks komunitas Sabu di Sumba Timur.
Sejumlah Tantangan
Tantangan ini terletak pada tiga aspek, yakni, pertama, perbedaan pandangan nilai antara agama dan adat yang mana tidak semua orang lebih mementingkan adat atau agama. Ada individu yang melihat adat sebagai entitas yang lebih penting dibandingkan agama, dan sebaliknya.
Kedua, kurangnya pemahaman tentang peran dan tugas dari setiap tokoh masyarakat dan agama. Artinya dalam konteks ini, sesungguhnya bukan pendeta yang bertugas menikahkan kedua mempelai, tetapi keluarga. Keluarga yang menikahkan kedua mempelai, sementara tugas dan peran pendeta adalah memberkati. Setelah itu kemudian disahkan oleh pemerintah.
Ketiga, pengaruh modernisasi dan globalisasi terhadap tradisi masyarakat adat Sabu mengakibatkan proses atau susunan upacara pernikahan yang lebih mementingkan manfaat praktis dibandingkan manfaat spiritual.
Oleh karena itu, saya melihat bahwa agama dan adat memiliki potensi untuk saling melengkapi jika masyarakat mampu menjunjung tinggi nilai toleransi, dialog, dan saling menghormati. Harmoni yang terwujud dari hubungan ini sangat penting, tidak hanya untuk menjaga kedamaian, tetapi juga untuk mempertahankan identitas kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya di Sumba Timur.
Di Sumba Timur, agama dan adat kenoto menjadi elemen kunci dalam membentuk identitas masyarakat, namun perbedaan nilai antara keduanya kerap memicu konflik, terutama dalam tradisi pernikahan.
Adat kenoto dengan ritual dan aturan yang cukup kompleks seperti pembayaran nilai mahar yang cukup memberatkan tetapi dianggap penting untuk menjaga identitas budaya. Sementara agama Kristen menekankan kesederhanaan dan spiritualitas.
Selain itu, terdapat perbedaan pandangan mengenai manfaat secara praktis dan spiritual terhadap prosesi pelaksanaan pernikahan. Meski demikian, tantangan ini mencerminkan kebutuhan untuk mencari titik keseimbangan antara menjaga tradisi dan mengadaptasi ajaran agama, agar harmoni sosial tetap terjaga di masyarakat.
Dengan mengintegrasikan nilai-nilai agama seperti kasih dan adat secara bijaksana, masyarakat dapat menciptakan keberlanjutan tradisi lokal sambil tetap berkembang dalam keragaman iman. [NI]