Beranda Publikasi Kolom Sistem Kepercayaan dan Kesenian di Bali

Sistem Kepercayaan dan Kesenian di Bali

3453
0

Oleh: Moch. Anil Syidqi (Pelaku Seni)

Bali atau biasa dikenal sebagai Pulau Dewata Bali adalah satu provinsi di Indonesia yang terletak di sebelah timur Pulau Jawa. Menurut penelitian Lili Somantri berjudul “Keunggulan Bali Sebagai Daerah Tujuan Wisata Andalan Indonesia” (UGM, Yogyakarta: 2005), Bali dianugerahi memiliki alam yang indah dan bervariatif, mulai dari pantai, laut, sungai, danau, gunung, dan hutan. Semua objek alam ini sangat potensial untuk dijadikan objek wisata.

Objek wisata alam yang menarik di Bali, yaitu pantai. Bali sangat terkenal dengan estetika pantainya. Merujuk data dari google jelajah, lokasi pantai yang terkenal dan sering menjadi tujuan wisata di Bali antara lain Sanur, Kuta, Jimbaran, Nusa Lembongan, Canggu, Nusa Penida, dan masih banyak lagi. Selain keindahan alamnya, keberadaan kesenian Bali juga tidak luput dari perhatian khalayak. Keindahan alam dan estetika kesenian Bali tersebut seakan menjadi bagian dari penawaran paket wisata menarik di sana.

Menengok keberadaan kesenian di Bali, perkembangannya begitu signifikan. Namun demikian, upaya-upaya regenerasi masih terus digemakan oleh berbagai kalangan, termasuk para akademisi. Nyoman Mariyana misalnya, melalui tulisannya berjudul “Tantangan dan Upaya Pelestarian Gamelan Gambang di Masa Depan” (Bali-Dwipantara Waskita 1: 2021), ia menggemakan seruan pentingnya tindak regenerasi.

Sebelum itu, Mariyana mengakui bahwa perkembangan kesenian Bali khususnya gamelan memang sudah luar biasa, tersebar dari pelosok daerah hingga manca negara. Menurut Mariyana produksi gamelan setiap tahunnya pun semakin meningkat, apalagi dengan meluasnya bantuan sosial yang dihibahkan ke masyarakat. Secara kuantitas, jumlahnya kian tak terhingga, demikian juga dengan antusiasme generasi muda dalam memainkannya.

Namun sangat disayangkan, antusiasme itu tidak lantas merata ke jenis gamelan Gambang. Padahal, itu merupakan salah satu gamelan tua di Bali. Karena itu, Nyoman Mariana dalam tulisannya berusaha menggemakan seruan upaya regenerasi yang merata.

Berbicara gamelan, pada 15 Desember (2021) lalu Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO), meresmikan gamelan sebagai warisan budaya tak benda ke-12 asal Indonesia (Kemendikbud.go.id, 16 Desember 2021).

Merujuk Kemendikbud.go.id, gamelan merupakan jenis kesenian musik tradisional yang sering dijumpai di berbagai daerah di Indonesia, misalnya Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Dalam penggunaannya, gamelan tidak hanya dimainkan untuk pertunjukan seni, tetapi juga dalam berbagai kegiatan tradisional dan ritual keagamaan.

Di Bali, beberapa ansambel Gamelan berfungsi sebagai media ritual keagamaan. Gamelan bebarongan misalnya, sebagai salah satu bentuk karawitan Bali yang sangat popular saat ini. Salah satu fungsinya adalah untuk mengiringi upacara keagaman di pura-pura. Menurut Indonesiakaya.com, upacara ritual dan pertunjukan seni di Bali tidak lengkap tanpa adanya alunan gamelan. Pernyataan tersebut menyiratkan betapa pentingnya gamelan dalam ritual keagamaan di Bali.

Mayoritas masyarakat Bali merupakan penganut kepercayaan Hindu terbesar di Indonesia. Menurut hasil sensus penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) Prov. Bali 2018, sebanyak 3.247.283 jiwa menganut kepercayaan Hindu.

Terkait hal itu, sistem kepercayaan Hindu di Bali memiliki kaitan erat dengan kesenian. Jadi, kesenian merupakan satu media penting dalam ritual keagamaan mereka. Barangkali hampir setiap ritual keagamaan mereka turut merlibatkan kesenian di dalamnya. Faktor itu kiranya membuat kesenian begitu melekat dalam diri masyarakat Hindu Bali.

Tentu keadaan semacam itu tidak terjadi di banyak daerah di Indonesia. Apa yang terjadi apabila Bali tidak dikelilingi faktor-faktor di atas? Tentu banyak kemungkinan yang akan terjadi. Namun, coba kita uraikan bersama inti dan probabilitas terbesarnya.

Persoalan yang Terjadi

Telah disinggung di awal bahwa Bali merupakan satu destinasi terdepan yang sering dikunjungi, baik oleh turis lokal maupun asing. Tidak hanya itu, banyak penduduk dari daerah-daerah lain di luar Bali berdatangan untuk mengadu nasibnya dengan bekerja dan menetap di sana.

Sisi negatif kemudahan akses dunia maya boleh disebut salah satunya, yaitu memudahkan masuknya pengaruh budaya luar ke suatu daerah. Fenomena K-pop misalnya, yang banyak mempengaruhi kebudayaan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

Permasalahan terbesarnya dirasa muncul menghampiri kebudayaan setempat. Layaknya kota metropolitan pada umumnya, sebut saja Jakarta, akulturasi terjadi secara besar-besaran dan terus-menerus. Hasilnya, eksistensi kebudayaan lokal menjadi “terancam” oleh pengaruh kebudayaan lain yang berdatangan.

Begitu halnya di Bali, barangkali pemerintah, seniman, budayawan, pelaku seni, dan pihak terkait tidak membangun kesenian Bali secara fundamental, serta tidak didukung oleh faktor internal yang telah disebutkan di awal, maka sangat mungkin seni budaya di sana akan tergeser oleh budaya pendatang, bahkan menjadi tamu di negeri sendiri. Sangat ironis.

Namun pada faktanya, dengan keterkaitan antara kepercayaan yang dianut oleh mayoritas masyarakat Bali dan kesenian setempat, kekhawatiran tergesernya seni budaya Bali dari kandang sendiri tampaknya tidak akan benar-benar terjadi. Kendatipun hingga kini banyak budaya lain berdatangan bersamaan dengan turis dan para perantau, dapat disaksikan bersama eksistensi dan popularitas seni budaya lokal tetap luar biasa.

Mengingat masih sering terlihat alunan Bale Ganjur mengiringi Perayaan Hari Raya Nyepi setiap tahunnya. Terlebih, dalam perhelatan yang sama (setiap tahunnya) juga selalu melahirkan kreasi ogoh-ogoh inovatif yang memancing decak kagum, bahkan menjadi role model di tempat lain. Kemudian, menengok gelaran Festival Kesenian Bali, ada satu penampil yang menarik perhatian, yaitu Gong Kebyar Wanita.

Kelompok pemusik wanita jarang ditemui di banyak tempat di Indonesia. Apalagi memainkan instrumen seperti kendang, saron, dan reong yang identik dengan maskulinitas pria. Itu membuktikan bahwa kesenian di Bali tidak pandang bulu, baik pria maupun wanita berkedudukan sama.

Faktor-Faktor Pendukung

Berpijak pada pemaparan di atas, agaknya ada empat faktor yang menjadikan kesenian Bali tetap eksis sampai kini.

Pertama, faktor regenerasi. Banyak sumber di Youtube dan sosial media lainnya, mempertontonkan video bocah bermain gamelan Bali menjadi viral. Kiranya itu bukti regenerasi yang diterapkan menjadi salah satu indikator eksistensi kesenian Bali tetap terjaga.

Kedua, sistem kepercayaan. Berpijak pada pemaparan sebelumnya, tentang kesenian yang menjadi media penting dalam upacara keagamaan di Bali, agaknya menjadi bukti bahwa sistem kepercayaan sebagai satu indikator penting stabilnya eksistensi kesenian di Bali.

Ketiga, tingginya kebanggaan masyarakat terkait. Masyarakat memiliki peranan penting terhadap keberadaan seni budaya setempat. Melalui berbagai cara mereka berusaha menjalankan kebudayaannya, salah satunya dengan menumbuhkan rasa kebanggaan diri. Tingginya rasa bangga masyarakat Bali terhadap seni budayanya menjadikan kesenian lokal tetap eksis dan bersaing dengan budaya lain yang berdatangan.

Terakhir, barangkali dengan penanganan yang tepat, juga adanya faktor-faktor pendukungnya, keberadaan seni budaya Bali menjadi semakin kukuh, berintegritas, dan mendunia. [NI]

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini